Bab 30 - Frustasi

236 23 14
                                    

"Kenapa kita harus menunggu mereka? Tidak bisakah kita pergi berdua saja?" Morgan mengeluh. Tapi Margaret kekeh menunggu Jessica di depan pintu masuk festival makanan sore ini. Sebab Jessica sudah meminta Margaret melalui pesan singkat untuk bertemu di tempat ini.

"Apa salahnya menunggu dia? Dia juga temanku. Terlebih dia sudah mengajakmu kan?" bela Margaret. Morgan hanya mendengus sebal.

Lima menit kemudian wajah Jessica mulai terlihat. Rupanya yang datang tidak hanya Jessica seorang, melainkan ada Lua, Ribella serta Ronald.

"Loh, katanya teman-temanmu sibuk, Jessica?" heran Morgan saat masih ingat percakapan gadis itu kemarin sore.

"Butuh perjuangan untuk memaksa mereka keluar dari rumah dan bersenang-senang di festival tahunan ini," jawab Jessica enteng.

"Hei, kalian!" Seseorang berseru dengan suara familiar. Perhatian mereka langsung menoleh ke sumber suara ceria tersebut, lalu melihat Rocky dan Devon menghampiri.

"Kebetulan sekali kita bertemu di sini," kata Rocky. "Ingin memborong makanan?" Dia tersenyum lebar.

"Tentu saja! Ada banyak macam makanan di sini, tidak mungkin tidak kami cicipi!" sahut Lua membalas dengan semangat.

"Ayo masuk, nanti keburu habis diborong orang lain," ajak Margaret.

Mereka berjalan-jalan melewati tenda-tenda, menikmati ragam hidangan dari berbagai belahan dunia. Terdapat tenda dengan aroma rempah khas India, tenda dengan sajian lezat dari negara-negara Asia Tenggara, dan bahkan tenda-tenda yang menawarkan makanan ala barat yang mewah.

Sesekali, mereka terhenti di depan tenda-tenda untuk mencicipi hidangan favorit mereka. Di tengah sorot matahari yang terbenam, suasana festival semakin meriah. Lampu-lampu berwarna-warni mulai menyala, menciptakan atmosfer yang magis di sekitar mereka. Para pengunjung mulai menari-nari di antara tenda-tenda sambil menikmati hidangan lezat yang disediakan.

Di tengah kerumunan yang riuh, Morgan dan Margaret berdiri di depan sebuah tenda makanan, sementara hidangan-hidangan yang lezat terpampang di depan mereka. Margaret tengah tertawa riang, masih tersisa sedikit saus di bibirnya dari hidangan yang baru saja ia nikmati.

Tanpa ragu, Morgan dengan lembut mengulurkan tangannya. Dengan gerakan lembut, ia mengelap bekas saus di bibir Margaret, sorot matanya penuh dengan kelembutan saat ia melakukannya.

Sementara Ronald memperhatikan adegan itu dengan perasaan campuran. Matanya memandang dengan curiga, hatinya berdebar-debar dalam kegelisahan yang sulit diungkapkan. "Sialan," gumam Ronald pelan, meskipun tidak jelas apakah dia lebih kesal pada dirinya sendiri atau pada Morgan.

Ronald berusaha mengendalikan perasaannya yang campur aduk, tetapi keraguan itu tetap mengganggunya. Meskipun dia mencoba untuk tetap tersenyum dan terlibat dalam obrolan, pikirannya tidak bisa lepas dari sepasang saudara tersebut. Nalurinya merasa ada sesuatu yang janggal pada mereka. Dan, sepertinya yang memperhatikan detail mereka hanya Ronald saja, sedangkan teman-teman lain asik dengan atensi mereka.

Kerumunan semakin padat di festival makanan, Margaret dan Morgan terpisah tanpa sengaja. Morgan mencoba mencari jalan kembali ke arah Margaret, tetapi terhalang oleh kerumunan yang semakin membesar.

Sementara itu, Margaret tidak sengaja bertemu dengan Devon. Mereka berjalan ke tempat yang lebih sepi di belakang tenda-tenda, di mana keramaian festival tidak begitu terasa.

Devon tersenyum ramah ke arah Margaret. "Menyenangkan bertemu denganmu di sini, Margaret. Sepertinya kita semua terpisah oleh arus kerumunan."

"Kau benar. Festival makanan tahun ini membludak." Margaret menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Senyuman di wajahnya terlihat semakin indah ketika cahaya matahari senja menyinari Margaret. Devon tersihir.

"Kau lebih cantik hari ini," puji Devon. Sekarang Devon merasa setuju pada para lelaki di sekolah yang jatuh cinta pada Margaret. Karena memang secantik itu. Devon baru menyadarinya hari ini.

Margaret tersenyum malu. "Kau juga terlihat tampan, Devon."

Tiba-tiba, Devon mengubah nada obrolan mereka. "Kau tahu, Margaret, aku merasa ada sesuatu yang berbeda denganmu hari ini. Apakah mungkin kau menyukaiku?"

Margaret terkejut mendengar pertanyaan itu. "Eh, Devon, aku tidak yakin..."

Sebelum Margaret bisa melanjutkan kata-katanya, Devon tiba-tiba mendekat. Margaret menarik diri dengan cepat, terkejut oleh tindakan tiba-tiba itu.

Pada saat yang sama, Morgan terjebak di antara kerumunan dengan Jessica yang melekat padanya.

Morgan berusaha menyingkirkan Jessica dengan sopan. "Maaf, Jessica. Aku harus mencari Margaret." Morgan melepaskan tangan Jessica dari lengannya.

Tapi Jessica mengapit lengannya lagi dengan cepat. "Kenapa? Adikmu bukan anak kecil lagi. Dia tidak akan hilang dan tahu arah jalan pulang." Sambil bicara, dia sengaja menekan lengan Morgan ke dadanya, dan membuat Morgan tersipu secara alamiah.

"Aku tidak bisa berpisah darinya." Morgan tegas melepaskan tangan Jessica, dan pergi dengan terburu-buru.

"Morgan! Aku belum selesai bicara!" Jessica ingin mengikutinya tapi terhalau kerumunan orang, sementara Morgan sudah menghilang dari jarak pandangnya.

Rasa cemas Morgan seperti ibu yang kehilangan anaknya di tengah keramaian. Dia terus mencari keberadaan Margaret, meski yang dikatakan Jessica tadi benar, tetap tidak meredakan kegelisahan hatinya.

Bagi Morgan, selama Margaret tidak terlihat dalam jangkauan matanya, dia akan merasa takut. Takut adiknya tidak kembali untuk selamanya, seperti luka trauma yang sulit disembuhkan.

Namun, keadaan Morgan semakin kacau ketika dia melihat Margaret dan Devon hampir berciuman di tempat yang sepi. Kemarahan menyala di matanya, dan dia menyeret dirinya melewati kerumunan menuju tempat Margaret berada.

  "Margaret!"

"Morgan?" Margaret memandang dengan kaget saat Morgan muncul, ekspresi campuran kejutan dan kebingungan terpampang di wajahnya.

  "Demi Tuhan, apa yang kalian lakukan berdua di sini?" Morgan berseru, suaranya penuh dengan kebingungan dan kemarahan.

Margaret dan Devon menengok dengan terkejut, wajah mereka terpancing oleh ekspresi kejutan. Devon bersiap untuk berdiri, tetapi Morgan sudah di depan mereka, ekspresi tegas di wajahnya.

"Devon, tinggalkan kami di sini," ujar Margaret. Devon kemudian pergi dengan kebingungan.

"Jangan kira aku tidak melihat apa yang kalian lakukan," desis Morgan, matanya menyala dengan emosi yang membara.

Kening Margaret mengeryit. "Apa maksudmu?" Margaret tidak mengerti.

"Kau duduk di sini dengan dia, tertawa, berbicara, bahkan berciuman! Bagaimana aku tidak boleh berpikir apa yang sedang terjadi?"

Margaret semakin merasa heran setelah mendengar alasan tersebut. "Memangnya apa yang salah kalau kami berciuman? Dia lelaki yang kusukai." Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Siapa yang mengizinkanmu berciuman?"

"Aku tidak perlu izin dari siapapun selama aku menyukainya." Perdebatan mereka semakin tegang. Suara mereka saling berbalas dengan nada tinggi. Untungnya tidak ada orang lain di sini, jadi tidak ada yang menonton adegan pertengkaran sepasang kekasih. Ralat, sepasang kakak beradik.

"Tidak boleh!" Morgan membentak frustasi.

Margaret kaget, seketika merasa takut. Morgan tersadar, kemudian dia menurunkan tensi kemarahannya sejenak. "Kenapa?" Tanya Margaret dengan suara bergetar. "Kenapa aku tidak boleh berciuman dengan orang yang menjadi cinta pertamaku, sedangkan dirimu bisa bebas melakukannya dengan cinta pertamamu itu!" Mata Margaret berkaca-kaca menatap terluka pada Morgan.

Morgan merasa hatinya berdebar kencang. "Itu karena kau cinta pertamaku!" 

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now