Bab 43 - Pulang

305 33 9
                                    

Saat kegiatan mereka berakhir, Margaret merasakan kelelahan menyelimuti tubuhnya, dia langsung tidur dengan tenang. Morgan, yang tak bisa lepas dari pesona gadis yang terlelap di sisinya, memandanginya dengan penuh kasih. Wajah lembut Margaret menjadi fokus pandangannya, dan dengan lembut, Morgan mendekapnya erat-erat.

Dalam keheningan malam yang hening, Morgan tidak henti-hentinya mengucap syukur atas keberadaan Margaret dalam hidupnya. Namun, cahaya rembulan menyoroti ekspresi duka di wajah Morgan ketika menyadari bahwa cinta mereka telah mempertaruhkan segalanya, bahkan nilai dan norma yang mereka junjung tinggi.

Di balik beban rasa bersalah, Morgan juga merasakan getaran hangat cinta yang memenuhi hatinya. Meskipun terlarang, cinta mereka tetaplah indah, seperti bunga mawar yang mekar di tengah hujan lebat. Lantas mau bagaimana lagi? Dirinya sudah jatuh cinta mendalam pada adik perempuannya sendiri, sedangkan dia tidak memiliki keinginan untuk melupakan perasaan terlarang ini sampai kapan pun.

Morgan menepuk lembut pipi Margaret untuk membangunkannya. Meskipun hati Morgan penuh dengan keraguan, tapi cinta yang mereka miliki tetaplah memancarkan kehangatan.

"Margaret, bangun sayang," bisik Morgan lembut sambil memberikan kecupan ringan pada bibir Margaret. Gadis itu segera membuka matanya, menatap Morgan dengan lemah.

"Orang tua kita pasti sudah pulang ke rumah sekarang. Kalau kita terlalu lama di sini, mereka pasti akan banyak bertanya," ucap Morgan dengan nada penuh kasih, memberikan pengertian pada Margaret. "Apakah kamu mau diwawancarai dan mengatakan kita tidur bersama di hotel, hm?"

Mendengar perkataan Morgan, Margaret menggeliat pelan. Meski seluruh tubuhnya terasa lemas dan bagian sensitifnya masih terasa nyeri, dia tahu sudah waktunya untuk pulang. Dengan berat hati, dia mempersiapkan diri untuk meninggalkan tempat itu.

***

Mereka pulang ke rumah naik taksi, dan selama perjalanan, Morgan memeluk Margaret, membiarkannya bersandar pada bahunya. Taksi berhenti di depan rumah mereka, dan Morgan memberikan beberapa lembar uang pada supir taksi sebelum mereka berdua turun.

Saat mereka memasuki rumah, lampu sudah menyala, menandakan kedatangan orang tua mereka lebih dulu tiba. Dengan langkah mantap, Morgan dan Margaret masuk ke dalam rumah keluarga.

Mereka sudah siap dengan alasan-alasan bohong karena pulang larut malam. Namun, semua rencana itu lenyap begitu mereka mendengar suara ribut dari dalam rumah. Orang tua mereka tampaknya tengah bertengkar di ruangan lain, tidak tahu kedatangan Morgan dan Margaret.

Tanpa bicara banyak, mereka langsung masuk ke dalam kamar, menutup pintu rapat di belakang mereka. Margaret bingung dan takut, ini pertama kalinya mereka mendengar orang tua yang biasanya harmonis dan penuh kasih berbicara dengan nada keras.

"Kenapa mereka?" gumam Margaret.

"Entahlah. Kita tidur saja. Besok mungkin kita akan tahu," jawab Morgan dengan tenang.

"Bagaimana dengan hubungan kita besok? Apa kau akan kembali pada temanku atau kita akan bersama?" tanya Margaret, membutuhkan kepastian.

"Kau harus putus dari lelaki itu. Aku juga akan mengakhiri hubunganku dengan Jessica," pungkas Morgan tegas. Dia melepas bajunya untuk diganti dengan kaos polos. Sesaat membuat tubuh kotaknya kembali terlihat dengan penampilan sexy di bawah penerangan lampu kamar. Mengundang debaran kencang di dalam dada Margaret yang melihat itu dengan wajah merona, namun dia langsung menahan napas, sementara pandangannya berpaling cepat ke arah lain. Berpura-pura tidak melihat apapun, padahal sebenarnya sedang salah tingkah, sambil sibuk mengganti bajunya dengan gaun tidur.

Margaret meringis samar ketika tiba-tiba nyeri di pusat tubuhnya muncul lagi. Morgan melihat ekspresi itu kemudian bertanya dengan khawatir. "Apa kau baik-baik saja?" Kekhawatiran Morgan tidak lepas dari sedikit rasa bersalah atas tindakannya pada Margaret tadi, memaksa gadis itu untuk bermain dua ronde karena tongkatnya belum melemas meski sudah pelepasan saat pertama.

Tapi Morgan paham bahwa hampir setiap wanita akan merasa sakit setelah mereka bercinta. Terlebih itu adalah pengalaman pertama adiknya. "Pakai ini. Kuharap sakitnya bisa berkurang," ucap Morgan menyodorkan salep seukuran jari kelingking.

"Dari mana kau mendapatkannya?" Margaret menatap salep itu heran.

"Tadi saat klta mampir ke apotek sebelum naik taksi," jawab Morgan. Dia lelaki yang sangat pengertian.

Margaret tersenyum lembut, terharu dengan kepedulian Morgan. "Terima kasih. Tapi, bagaimana cara memakainya?" Dia terlihat kebingungan sambil mencari bacaan penggunaan pemakaian. Sayangnya, tulisan itu berbahasa mandarin, Margaret tidak mengerti.

"Kau olesi di vaginamu yang perih," ucap Morgan gamblang.

"Apakah kandungan benda ini aman?" Margaret ragu.

"Tentu saja aman, aku sudah memastikannya lewat internet," sahut Morgan. Dia sempat mencari singkat obat yang aman di internet untuk masalah kewanitaan, sebelum membelinya.

"Apa aku perlu membantumu mengolesinya?"

Margaret tersentak, seketika merona. "Tidak perlu!" Dia langsung menutup pintu kamar mandi dengan keras, sementara Morgan hanya tersenyum tipis melihat tingkah malu gadis itu.

Tidak lama kemudian Margaret keluar dari kamar mandi dengan perasaan tidak nyaman.

"Apa kau yakin baik-baik saja?" tanya Morgan, sungguh dirinya khawatir. "Kemarikan salepnya." Dia menengadahkan telapak tangan, lalu Margaret memberikannya.

"Kau sudah memakainya?" Morgan bertanya curiga.

"Aku mengolesinya di luar. Aku pikir itu sudah cukup mengobatiku." Dia naik ke kasur dan berbaring. Sebenarnya Margaret tidak punya keberanian untuk memasukkan jarinya ke dalam vaginanya sendiri. Dia takut. Bahkan belum pernah menyentuh tubuhnya sendiri.

"Kau harus memakainya dengan benar. Menurut internet, obat ini bisa menyembuhkan dalam semalam. Jika besok pagi kau masih sakit, itu akan merugikanmu," desak Morgan. Kemudian secara tiba-tiba dia menarik kaki Margaret. Margaret terkejut.

"Kau mau apa?" Jantungnya berdetak kencang.

"Aku akan membuatmu merasa nyaman." Morgan membuka kaki adiknya lebih lebar. Tapi Margaret langsung merapatkan pahanya dan berkata malu-malu. "Setidaknya matikan lampunya, aku malu dilihat."

Morgan menghela napas, dia beranjak dari kasur untuk mematikan lampu kamar. Morgan kembali ke posisi semula. Tapi mengambil ponselnya lalu cahaya terang menyala dari senter hp.

"Kenapa kau menyalakan senter?" tanya Margaret resah.

"Kalau gelap begini aku tidak bisa mengolesi krim salepnya dengan tepat, karena aku tidak bisa melihatnya," jawab Morgan.

Margaret menggigit bibir bawah, malu masih menyergap hatinya. Namun dia tidak menolak perawatan yang diberikan Morgan kepadanya. Dia menutup wajah dengan telapak tangan, saat Morgan menyingkap celana dalamnya lalu mengarahkan cahaya senter ke tempat rahasia itu.

"Jangan hanya dilihat!" tegur Margaret, melihat lelaki itu hanya menatap bagian itu tanpa melakukan apapun.

Morgan kemudian tersenyum lembut. "Aku baru pertama melihat milikmu setelah kita tidur," ucapnya dengan jujur. Sontak saja Margaret malu kian parah mendengarnya. Bagaimana tidak, selama mereka bermain tadi, ruangan begitu gelap tanpa bisa melihat satu sama lain, hanya mengandalkan indra perasa yang saling terkoneksi.

Segera Margaret merasakan dingin menyentuh lipatan dalam vaginanya bersamaan dengan satu jari Morgan yang juga turut masuk. Morgan benar-benar memperlakukannya dengan sangat lembut dan hati-hati pada tubuh Margaret, seolah-olah gadis itu adalah kaca yang mudah pecah.

Setelah selesai dengan cepat, mereka berdua berbaring di tempat tidur, menyelimuti diri dengan selimut yang hangat. Morgan dan Margaret akhirnya menemukan kedamaian dalam pelukan satu sama lain, membiarkan tubuh mereka saling bersentuhan yang menyentuh hati.

Mereka saling berbisik kata-kata cinta, menguatkan satu sama lain dengan janji-janji dan harapan-harapan masa depan yang cerah, hingga jatuh dalam tidur lelap yang damai. Mimpi indah pun menyertai mereka, membawa pesan-pesan cinta yang tak terungkapkan di dunia nyata, mengisi hati mereka dengan kebahagiaan yang tak terkira.

***



Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now