Bab 58 - Wanita Misterius

182 19 6
                                    

Satu tahun kemudian.

Margaret mengunjungi kamar rawat ibunya. Beberapa hari lalu datang kabar dari Ronald kalau ibunya masuk rumah sakit karena penyakit yang semakin parah. Seketika membuat Margaret memesan tiket pesawat dan pulang ke negaranya.

Namun dia sangat berhati-hati untuk tidak terlihat di depan mata Morgan. Terutama setelah tahu di rumah sakit mana ibunya dirawat. Adalah tempat kerja Morgan sebagai dokter di sana. Dunia semakin sempit lagi begitu mendengar bahwa dokter yang menangani ibunya adalah Morgan sendiri.

Margaret kesulitan untuk bertemu ibu secara langsung. Tapi dia juga tidak ingin ibu tahu kalau dirinya datang menjenguk. Karena jika sampai ibunya tahu Margaret di sini, pasti beliau akan membicarakan dirinya pada Morgan.

Alhasil Margaret memilih jam malam, dini hari, menyelinap ke rumah sakit dan melihat ibunya sedang tidur. Sebelum pergi, Margaret meletakkan buket bunga di nakas sebagai tanda bukti dirinya masih peduli. Juga, dia belum siap untuk bertemu langsung dengan kakaknya.

"Aku harap ibu segera sembuh," gumam Margaret mengusap tangan kurus sang ibu dengan haru. Margaret pun pergi seperti bayangan. Tidak ada yang menyadarinya.

Esok paginya, Morgan datang ke kamar rawat sang ibu. Lagi-lagi perhatiannya tertarik pada buket bunga di sana. Ini sudah kali ketiga dia melihat bunga di nakas itu. Dan sekali lagi, Morgan bertanya pada ibunya tentang siapa yang membawa bunga itu padanya. Namun, jawaban wanita baya tersebut sama terherannya dan membuat mereka berdua terdiam bingung.

"Apa kau sudah menghubungi Margaret?" tanya ibu. "Aku merindukannya." Semenjak puterinya pamit, mereka hanya berkomunikasi melalui surat pos. Hampir sering Margaret mengirim surat pada ibunya, mungkin setiap seminggu sekali dan diterima ibu tepat di hari minggu.

Dalam surat itu juga Margaret memberi penjelasan tentang alasannya tidak bisa menggunakan perangkat elektronik. Bahwa sambungan telepon luar negeri dari sana terbilang sangat mahal.

Tentu Margaret sebenarnya mampu untuk melakukan panggilan internasional. Tapi dia urungkan untuk memutus hubungan dari Morgan. Khawatir jika dirinya menelpon ibu, Morgan ada di dekat beliau dan mendengar percakapannya, atau merebut ponsel itu untuk bicara.

"Aku juga merindukannya, ibu. Aku harap dia baik-baik saja," balas Morgan. Sejauh ini usahanya mencari Margaret belum membuahkan hasil.

Begitu jam kerjanya sudah selesai, Morgan segera pulang ke apartemen. Di apartemen itu dia melihat Jessica sedang menata makan malam di meja.

"Kau sudah pulang? Ayo makan dulu," ajaknya bersemangat menghampiri Morgan, lalu membantunya melepas mantel dan membawakan tasnya ke kamar.

Morgan membiarkan itu dengan sikap datar. Sedatar ekspresinya. Dia menatap makanan di meja. Setelah mereka menikah, Jessica memperlakukannya dengan sangat baik. Wanita itu bertugas sebagai istri yang patuh dan lembut. Bahkan dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan karena ingin fokus mengurus Morgan.

Awalnya Morgan tidak setuju Jessica melepaskan pekerjaan bagus itu, tapi dia menyerahkan semuanya pada wanita itu tanpa ingin ikut campur. Di samping itu juga, Morgan telah perlahan-lahan mendapatkan kehidupan layak atas pekerjaannya di rumah sakit London. Punya apartemen dan mobil mewah.

"Apakah kau suka menu makan malam kali ini?" Jessica bertanya ceria saat Morgan makan dengan tenang.

"Tidak ada masalah apapun." Morgan bukan pemilih makanan. Dia mengakui kemampuan memasak Jessica. Hasil masakannya terasa normal meskipun wanita itu tumbuh dengan dimanjakan kekayaan sejak kecil.

Mereka makan malam dengan tenang dan berlalu begitu saja. Pukul sepuluh malam, Morgan belum bisa tidur. Dia duduk di ruang tengah dengan televisi menyala. Tapi pandangannya kosong. Tak peduli acara tv apa yang sedang berlangsung. Pikirannya berkelana jauh memikirkan Margaret yang dia rindukan diam-diam.

"Apa kau mau anggur?" Jessica tiba-tiba menyodorkan gelas anggur merah padanya. Dia tampak duduk di samping.

Morgan menerima gelas berisi anggur merah itu lalu meminumnya sedikit. Suasana terasa hening. Kecuali suara berisik dari televisi yang sedang menampilkan berita.

Morgan ketagihan minum. Dia mengambil botol amernya dan menuangkan sendiri minuman itu ke gelas. Sementara Jessica hanya memperhatikan dengan keheranan.

"Apa kau ada masalah di pekerjaan?" tanya Jessica menunjukkan perhatiannya. Morgan menggeleng tanpa bicara.

Satu botol anggur Morgan habiskan sendiri sampai pusing. Morgan akhirnya mabuk. Dan saat menuangkan botol kedua, dicegah Jessica.

"Kau sudah mabuk. Sebaiknya kau istirahat. Besok kau harus bekerja lagi," kata Jessica.

Morgan berjalan sempoyongan. Jessica membantunya masuk ke kamar mereka. Namun karena Morgan yang terlalu berat, Jessica terjatuh ke kasur dan membuat Morgan seketika menahan tubuhnya dengan siku.

Morgan menatap wajah Jessica yang berada di bawahnya, tiba-tiba berubah menjadi wajah Margaret. "Aku merindukanmu," gumam Morgan sebelum mencium Jessica tanpa sadar.

Jessica menyambut ciuman itu dengan senang hati. Tak tahu jika dirinya sedang menjadi pelampiasan hasrat terlarang Morgan untuk Margaret. Maka, malam itu Jessica merasa sangat bahagia bisa berbagi kehangatan dengan Morgan untuk kedua kali dalam satu tahun pernikahan.

***

"Margaret, mau sampai kapan kau bersembunyi dari keluargamu? Mereka sangat mengkhawatirkanmu, tahu." Ronald bicara dengan lembut pada Margaret. Dia melihat, gadis itu masih rapuh tapi tatapan matanya telah berubah lebih tangguh.

"Aku akan datang di hadapan mereka setelah aku siap. Sebentar lagi... Aku akan datang sekaligus memberi ucapan selamat dengan layak pada kakakku atas pernikahannya." Margaret menguatkan hati. Satu tahun sudah berlalu dengan tinggal di luar negeri, Margaret berpikir dirinya sudah siap mental untuk bertemu langsung dengan Morgan nanti.

"Aku harap masalahmu segera terselesaikan," kata Ronald.

"Terima kasih Ronald. Kau masih saja peduli padaku walau aku," ujar Margaret tersentuh.

"Aku pada dasarnya orang yang baik, tahu." Ronald tersenyum bangga. Margaret mendengus.

"Apa kau masih berteman dekat dengan Jessica?" tanya Margaret.

"Tidak. Sudah lama sekali kami tidak berkontak lagi," jawab Ronald.

Margaret mengangguk. Ronald menatapnya dengan tatapan penuh makna. Ada rahasia yang dia sembunyikan tentang masa lalu dirinya dan Jessica, yang tidak diberitahukan pada Margaret. Rahasia dimana dia pernah bekerja sama dengan Jessica untuk mendapatkan tujuannya masing-masing.

Tapi semua itu sudah berlalu, dan kini Jessica telah menikahi lelaki yang sangat dia cintai. Bagi Ronald, janji maupun taruhan di antara mereka sudah tidak berlaku lagi. Sekarang dia hanya ingin fokus pada diri sendiri juga pada Margaret. Kendati demikian, sikap Ronald tidak pemaksa seperti dulu. Dia telah melunak dan menjadi sahabat baik bagi Margaret di saat masalah seperti ini.

"Aku mengantuk, aku akan tidur." Margaret beranjak. Dia masuk ke salah satu kamar apartemen Ronald. Kurang dari seminggu Margaret menginap di apartemen lelaki itu yang bersedia menampungnya. Demi menghemat pengeluaran sebelum memutuskan akan kembali ke rumah nanti.

***

"Kau melihat seorang wanita masuk ke kamar rawat ini tengah malam?" Morgan bertanya dengan nada terkejut begitu mendengar percakapan dari perawat.

"Ya. Kami sering melihatnya masuk setiap larut malam. Dia selalu membawa bunga. Apa dokter tidak tahu?"

Morgan berdebar-debar. Dia langsung pergi dengan tergesa-gesa. Lalu masuk ke ruang monitor. Dia meminta petugas di dalam untuk memutar rekaman cctv pada jam larut malam sehari lalu.

Morgan menatap layar komputer itu dengan tajam. Memperhatikan dengan cermat setiap orang yang berlalu lalang di bangsal rumah sakit tempat ibunya dirawat.

"Stop!" perintah Morgan tiba-tiba. "Coba ulangi beberapa detik lalu."

Rekaman memperlihatkan seorang wanita tinggi dengan rambut pendek membuka pintu kamar rawat. Persis yang dikatakan perawat tadi, wanita itu membawa buket bunga. "Bisa kau perbesar layarnya?" tanya Morgan meminta dengan sopan. Kemudian tampilan layar diperbesar oleh petugas.

Morgan menyipitkan mata. Dia merasa janggal pada wanita itu. Namun karena posisinya membelakangi cctv, membuat dia hanya bisa melihat bagian belakang tubuhnya. "Apa tidak ada cctv dari arah berlawanan?" tanya Morgan.

"Tidak ada. Cctv di bangsal itu hanya ada satu. Kenapa dokter?" tanya petugas itu.

Morgan menarik napas dalam. Dia kemudian melangkah pergi dengan rasa penasaran di dalam benaknya. Memikirkan sekali lagi sosok wanita itu dan mencoba mengingat-ingat apakah dia mengenalnya atau tidak. Tapi, Morgan sadar bahwa dia tidak pernah dekat dengan wanita mana pun kecuali sebatas teman kerja.

Lantas siapa wanita yang rajin menjenguk ibunya itu dengan buket bunga tiap tengah malam?

Morgan kembali ke ruang kerjanya. Dia sana sudah duduk Jessica di sofa. "Kenapa kau ke sini?" tanya Morgan.

"Aku datang untuk membawakan bekal makan siang. Tadi pagi kau berangkat terburu-buru tanpa membawa bekal," kata Jessica. "Sekalian menjenguk ibu," tambahnya tersenyum manis.

Morgan menghela napas. Dia tampak lemas dan bingung memikirkan wanita misterius itu. Perasaannya seakan tidak membolehkan dia untuk melupakan wanita misterius tersebut.

***


Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now