Bab 32 - Oh My!

239 27 5
                                    

Ketika dokter mengizinkan ibu boleh pulang, mereka mulai berkemas. Ayah membereskan barang-barang ibu ke dalam tas seperti pakaian untuk dibawa kembali ke rumah.  Perlakuan mereka berdua berubah menjadi lebih perhatian terhadap wanita paruh baya itu. Mereka berbagi tugas rumah tangga dan memberikan kesempatan kepada ibu untuk beristirahat yang cukup. Sesekali, ayah juga memberikan pijatan lembut kepada istrinya.

Namun, setelah dua hari diperlakukan demikian, dan membiarkan ayah mengurus masakan sehari-hari, ibu mulai merasa tidak nyaman dengan masakan ayah yang terasa asing baginya. Terkadang, masakan itu bahkan terlalu matang atau gosong. Ayah memang tidak terampil dalam memasak hidangan berat, kecuali makanan tanpa banyak olahan maupun bumbu.

Dibantu dengan Margaret yang berada di dapur. Secara tidak langsung pula mengajarkan step by step dalam mengolah makanan pada anak gadisnya. Khususnya saat ini mereka sedang membuat bolu. Namun, Margaret tidak cukup cekatan dengan urusan dapur. Daripada membantu, gadis itu lebih memusingkan ibunya. Sehingga dia diusir dari dapur.

"Tapi, Bu. Aku ingin bermain dengan tepung." Margaret malah merengek manja.

"Sudahlah sana pergi! Belajar saja di kamar!" Ibu mengibaskan tangannya yang kotor dengan tepung, sementara Margaret hanya bisa manyun kemudian berbalik ke kamar.

Begitu membuka pintu kamar, dia agak kaget melihat kakaknya sudah ada di dalam kamar. Setahunya, lelaki itu beberapa jam lalu pamit pada ibu untuk ke perpustakaan kota. Ternyata Morgan tidak pergi terlalu lama seperti yang dipikirkannya.

Kemudian, dengan perasaan canggung, Margaret melangkah masuk ke dalam kamar. Memakai headphone ke telinga lalu berbaring di kasur seraya memejamkan mata untuk menikmati lagu sampai tertidur, seolah tidak menyadari keberadaan Morgan yang sedang duduk di depan laptop.

Sejak ungkapan terlarang di festival makanan dua hari lalu, Margaret puasa bicara pada Morgan. Dia mengabaikan kakaknya, menjaga jarak di antara mereka seperti orang asing.

Kendati demikian, Morgan membiarkan. Morgan mengerti kalau Margaret butuh waktu untuk menerima fakta tentang perasaannya. Pun Morgan tidak terlalu berharap Margaret membalas perasaan ini, tapi sejujurnya, di dalam hati Morgan tidak baik-baik saja. Tidak hanya Margaret yang terluka batin, Morgan juga menahan rasa sakit mencintai saudara kandung sendiri.

Tiba-tiba, notifikasi email muncul dipojok layar laptop Morgan. Morgan segera membukanya dan teringat bahwa alamat email di laptopnya adalah milik Margaret, di mana dia pernah meminjam akun email adiknya untuk kepentingan tugas sekolah.

Setelah dibuka, rupanya pesan datang dari Devon. Morgan mengerucutkan matanya membaca nama lelaki itu dua kali, memastikan tidak salah baca. Tapi, alamat emailnya sangat dikenali Morgan, bahwa benar pesan ini dari temannya alias Devon. Dia merasa aneh, sejak kapan Devon dan Margaret sedekat itu untuk berkirim surat?

Lalu Morgan membaca kata per kata di body email tersebut.

Apa kau baik-baik saja? Ini dari Devon. Aku mendapatkan alamat email ini dari seseorang karena tak mendapat nomor teleponmu. Morgan sepertinya marah padaku sejak hari itu. Dia menjadi dingin padaku. Tapi itu tidak apa-apa, karena aku menyadari tindakanku telah salah. Maafkan aku, aku terbawa suasana saat itu. Aku harap kau baik-baik saja, Margaret.

Selesai membaca semua kalimat itu, perasaan Morgan menjadi marah. Dia mengepalkan tangannya. Kalau saja Devon ada di hadapannya sekarang, sudah Morgan pukul wajah berkacamata itu. Sebab aksi yang dilakukan Devon yang mencium Margaret ternyata tidak benar-benar tulus.

Singkatnya, Devon telah mempermainkan perasaan gadis kesayangannya. Morgan kesal dan memaki dalam hati. Ekspresinya mengerut masam, menahan amarah yang mendadak bergejolak di dalam dada.

Kalau Margaret sampai tahu hal ini, kemungkinan terjadi adalah adiknya akan kecewa dan bersedih. Morgan tidak ingin melihat kesedihan menempel di wajah gadis itu. Karena baginya, cukup dirinya saja yang boleh membuat Margaret bersedih.

Tanpa ragu, Morgan langsung menghapus pesan masuk itu dari email.

***

Margaret terbangun dari tidur singkatnya. Dia melepas headphonenya kemudian turun dari kasur sambil mengucek matanya. Panggilan alam membawa langkahnya menuju ke kamar mandi dengan separuh nyawa, sehingga ketika pintu kamar mandi dia buka, Margaret mematung kaget dan tatapannya terpaku pada Morgan yang sedang buang air kecil.

Seketika Margaret berteriak panik, sama kagetnya dengan Morgan yang terperanjat. Margaret langsung menutup matanya dan berbalik, selangkah maju, wajahnya membentur tembok. Bruk. Memalukan, dan Margaret cepat-cepat pergi dengan menutup pintu kamar mandi itu cukup keras, berlari keluar kamar.

Duduk di sofa ruang tengah dengan engap-engapan sambil memegangi dada bagian kirinya, terasa seperti senam jantung setelah melihat sesuatu yang tak seharusnya dilihat dari tubuh Morgan tadi. Sialnya, adegan Morgan memegang kelaminnya terlintas di pikiran lagi. Dalam sekejap tubuh Margaret mendidih, darahnya seakan naik cepat ke wajah hingga membuat mukanya merah padam.

"Margaret, bolunya sudah jadi tuh!" Suara ibunya membuyarkan pikiran kotor itu dari kepala Margaret. Margaret sontak beranjak ke dapur. Dia mengambil sepotong kue di piring kecil, duduk di meja bar dan berharap manisnya kue ini bisa melenyapkan gambaran mesum barusan dari memori otaknya.

Sesekali dia menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir kepingan ingatan itu, sambil melahap bolu secara terburu-buru. Kemudian gadis itu menopang kepalanya dengan tangan di meja, persis seperti orang stress.

Jika orang lain stres karena masalah keuangan atau asmara, berbeda dengan Margaret saat ini yang stres gara-gara bentuk milik Morgan tidak kunjung hilang dari pikirannya. Karena ini aneh bagi Margaret, bahwa dia menyadari seharusnya timbul rasa jijik melihat kepunyaan Morgan yang notabene kakak kandung, bukan malah merasakan hal lain terhadap kelamin kakaknya!

Sinting, kau Margaret!

Margaret memukul-mukul kepalanya sendiri seraya terus memaki diri. Ketika dia melirik ke wadah potato chips yang berbentuk silinder di meja, mendadak dirinya membatin bahwa kira-kira wadah potato chips itu mungkin seukuran dengan milik kakaknya. Panjang.

Astaga!

Margaret terpengarah. Sadar, dirinya sudah gila, saat segala sesuatu yang berukuran panjang malah disamakan dengan ukuran Morgan.

Tidak bisa... Tidak bisa begini terus. Margaret pikir dia akan semakin gila jika berada di rumah. Jadi dia putuskan untuk pergi ke luar rumah untuk mencari udara segar. Setidaknya menikmati pemandangan musim semi yang indah di sepanjang jalan kota.

Langit masih sore ketika Margaret jalan-jalan sendirian. Dia menyusuri trotoar menuju taman kota yang ramai. Tak sengaja melihat seekor anak kucing berada di atas dahan pohon yang tinggi. Anak kucing itu terus mengeong seolah meminta bantuan untuk turun, sementara di sekitar, orang-orang terlihat acuh dan hanya berlalu begitu saja dengan kesibukan mereka.

Margaret berinisiatif untuk menolong anak kucing kecil itu. Dia tidak pandai memanjat, tapi diusahakan penuh demi hewan lucu kesukaannya tersebut. Dengan berbekal keberanian dan sedikit pengalaman memanjat pohon sewaktu kecil, Margaret berhasil berada di atas pohon, kemudian merayap ke dahan kokoh, mengulurkan tangannya untuk menggapai anak kucing di depan matanya.

"Tenanglah di sana kucing kecil... Aku akan menyelamatkanmu," gumam Margaret. Perlahan-lahan dia mendekat hingga akhirnya berhasil mendapatkan kucing kecil itu ke dekapan. Namun, kesialan seakan menimpa Margaret berkali-kali hari ini, ketika kakinya terpeleset dari dahan pohon lalu magnet bumi menariknya kuat ke tanah.

Margaret yang terjun dari atas pohon sambil memeluk erat anak kucing, memejamkan mata dan siap menerima rasa sakit. Selang beberapa saat, apa yang dipikirkannya justru tidak terjadi di mana dia tidak merasakan sakit menabrak tanah dengan keras.

Penasaran dengan apa yang terjadi, Margaret membuka matanya. Mata hazelnya pun langsung bertemu tatap dengan hazel cemerlang milik Morgan. Lelaki itu telah lebih dulu menangkap tubuh Margaret sebelum jatuh.

"Ka--kak?" Margaret menjadi kikuk, sementara Morgan menghela napas lega.

***

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now