Bab 37 - Marah

146 19 1
                                    

Margaret tak menceritakan tentang Ronald di sekolah pada Morgan. Anehnya Morgan tidak bereaksi apapun seperti yang dibayangkan Margaret. Sebab seharusnya kabar miring tentang dirinya dan Ronald berpacaran sudah terdengar ke telinga Morgan. Tapi, lelaki itu tampak tenang tanpa banyak bicara selama mereka pulang bersama menuju rumah.

Tiba di depan rumah, Morgan mendial kode sandi pintu rumah kemudian melangkah masuk lebih dulu seraya membukakan pintu untuk gadis itu. Setelah Margaret masuk, dan pintu ditutup dengan suara kunci terdengar, tubuhnya langsung terhuyung dengan cepat hingga tasnya jatuh dan punggungnya membentur pintu.

Begitu tersadar, dia mendapati Morgan telah mengurungnya dengan tubuh besar yang tinggi. Saat Margaret membuka bibir untuk bicara, tiba-tiba saja Morgan melahap bibirnya dengan kasar, masuk ke dalam mulutnya yang terbuka dan meredam segala kata yang hampir diucapkan Margaret.

Margaret tersentak. Dia tidak bisa mengeluarkan suara selama lidahnya menjadi tawanan lidah panas Morgan. Sejauh pengalamannya bersama Morgan, kakaknya tidak pernah menciumnya sekasar ini. Ini ciuman yang menuntut dan memaksa. Sampai-sampai Margaret mulai kehabisan napas.

Dia mengkode kakaknya untuk berhenti. Tapi erangannya tidak dipedulikan Morgan. Maka cara lain dia gunakan dengan memukul dada Morgan dengan sisa tenaga.

Setelah Morgan melepaskan ciumannya, benang saliva terputus antara bibir mereka, sementara Margaret masih mencoba menarik napas dalam-dalam. Tanpa menunggu, Morgan mengangkat tubuhnya seperti seekor koala.

"Turunkan aku!" teriak Margaret dengan keras. Morgan membawanya ke dalam kamar, lalu menjatuhkan Margaret dengan kasar ke atas kasur. "Apa yang kau lakukan---hmup!" Morgan memotong ucapan Margaret dengan ciuman yang bernapsu, menekan tubuh gadis itu ke kasur sambil menahan kedua tangan Margaret di samping kepalanya, sementara Margaret berusaha memberontak sekuat tenaga.

Akhirnya Margaret menangis. Air matanya yang keluar pun mengejutkan Morgan, dia seakan tersadar dari aksi gilanya, kemudian bangun dari atas tubuh adiknya dan duduk dengan perasaan campur aduk.

"Kenapa kau jadi begini, kak? Kenapa kau terus menciumku padahal kau tahu hal itu tabu dilakukan dengan saudara kandung!" Margaret berteriak dengan derai air mata.

"Aku rasanya menjadi gila," ujar Morgan sambil memegang wajah Margaret. Ekspresi matanya mencampurkan kemarahan dengan kehangatan. Namun, mata Margaret berlinang air mata akibat perlakuan brutal Morgan.

"Mengapa setiap kali aku melihatmu bersama lelaki lain, aku merasa begitu terganggu? Aku begitu cemburu, Maggie. Aku tak ingin melihatmu bersama siapapun selain aku. Apakah aku harus mengurungmu hanya untuk diriku?"

"Kau sungguh egois! Kau melarangku dekat dengan lelaki lain, sedangkan dirimu bebas berciuman dengan gadis lain! Kau bahkan menjalin hubungan rahasia dengan teman sekelasku, Jessica!" Balas Margaret mengeluarkan semua unek-uneknya. Tapi itu belum selesai. Masih banyak hal yang ingin Margaret katakan pada Morgan.

"Memang sejak awal Jessica sangat menyukaimu, dia berusaha keras untuk mendekatimu, dan sekarang impiannya sudah terwujud." Lalu Margaret menyedot ingusnya. "Selamat atas hubungan kalian yang tidak aku ketahui secara langsung. Ini lebih baik daripada mencintai saudara kandung."

Morgan diam saja. Dia menyimak ocehan Margaret dan memahaminya. "Aku tidak seperti yang kau sangka." Morgan merasa tidak ada gunanya membela diri sekarang, karena emosi masih menyelimuti mereka. Bisa-bisa kalimat tak diinginkan akan keluar dan saling menyakiti nanti.

Morgan mengalah dengan tidak membalasnya dengan ucapan bernada tinggi, tetapi amarah di dalam dadanya belum sepenuhnya lenyap. Kecemburuan Morgan masih membakar isi hati, sedikit hembusan angin saja akan menghanguskan segala yang tersisa. Namun, Morgan bisa mengendalikan emosi ini dengan menahannya selama masih bisa ditolerir.

"Aku tidak peduli kau punya kekasih atau tidak, itu tidak ada kaitannya denganku. Begitu juga denganmu, jangan campuri kehidupan pribadiku. Mau aku bertemu dengan siapa atau mempunyai pacar dengan siapa pun, kau tidak berhak ikut campur apalagi sampai mengitimidasi mereka!" Margaret frutasi, matanya menyiratkan hal lain pada Morgan, tapi tidak sanggup dia katakan perasaannya. "Jadi, tolong... berhentilah mencintai adik kandungmu secara tidak wajar." Margaret tertunduk, memejamkan mata saat meminta kakaknya untuk berhenti.

"Aku mengerti."

Hanya dua suku kata yang diucapkan Morgan. Suaranya datar dan tatapannya jelas menyimpan kekecewaan untuk dirinya sendiri. Morgan sebenarnya tahu kalau perasaannya pada Margaret sangat terlarang, Morgan juga tahu kalau seharusnya perasaan terlarang ini tidak dia pupuk dan mencegahnya tumbuh subur.

***

Esok harinya ketika di sekolah, Margaret merasa ada yang berbeda dari suasana di sekolah. Saat berjalan di koridor dia tidak sengaja mendengar nama kakaknya disebut dalam pembicaraan orang-orang. Seperti déjà vu, Margaret pikir akan ada sesuatu yang mengejutkan.

Ketika dia masuk ke kelas, dia melihat teman-teman mengerubungi Jessica lalu mendengar kebahagiaan dari mereka. "Selamat, Jessica! Kau gadis paling beruntung yang berhasil menaklukan Morgan!"

Seketika Margaret membeku. Kenapa nama kakaknya disebut dalam pembicaraan dengan Jessica? Seolah-olah mereka berdua saling berkaitan. Akhirnya dia menguping mereka karena sangat penasaran.

"Bagaimana awalnya kalian bisa pacaran? Siapa yang nembak duluan?"

"Tentu saja Morgan. Dia bilang, dia sudah lama memperhatikan aku lalu memintaku untuk menjadi pacaranya," jawab Jessica dengan wajah berseri-seri.

"Kau beruntung sekali! Tidak heran dia jatuh cinta padamu, karena kau cantik dan juara olimpiade kimia pula! Bahkan kalian berdua sama-sama murid berprestasi. Cocok! Kalian pasangan yang cocok!" Temannya bertepuk tangan, kemudian mereka terus melempar pujian bertubi-tubi pada Jessica sampai gadis itu melayang dibuatnya. Jessica tersenyum malu.

Sedangkan Margaret yang mendengar semua itu lalu dapat menyimpulkannya, hanya terduduk diam melamun. Wajahnya suram seperti ada awan mendung di atas kepalanya. Selama jam pelajaran pun dia tidak bisa fokus pada penjelasan guru, untungnya tidak sampai ditegur untuk menjawab pertanyaan di papan tulis.

Ketika istirahat tiba, Margaret terkejut melihat Morgan berdiri di depan pintu kelas. Awalnya, hatinya bersemangat hampir membuatnya bangkit dari tempat duduknya untuk menyambutnya dengan senang. Namun, kegembiraannya langsung hancur ketika Jessica keluar dari kelas dan disambut dengan senyum manis dari Morgan, yang menggandengnya pergi.

Margaret merasakan kesedihan tiba-tiba melanda. Seperti dihempaskan oleh kekasihnya, dia merasa kehilangan. Biasanya, Morgan hanya datang ke kelasnya untuk bertemu dengannya, namun kali ini dia tampaknya hanya datang untuk Jessica, yang menyakitinya lebih dalam karena Jessica adalah kekasih dari kakaknya.

Dalam sekejap, Margaret kehilangan nafsu makan saat perasaannya terganggu. Meskipun awalnya berencana untuk pergi ke kantin, dia merasa malas setelah melihat kakaknya pergi bersama Jessica. Seharian itu, dia hanya duduk lemas di mejanya, tak bergerak hingga Ronald menarik tangannya.

"Ada apa?" tanya Margaret bernada malas.

"Ikut aku. Aku tidak ingin pacarku sakit," jawab Ronald.

Margaret terkejut. "Apa?" Dia bertanya, tetapi sebelum dia bisa menyanggah, Ronald sudah menariknya keluar dari kelas. Dengan enggan, Margaret mengikutinya dengan tangan yang digandeng erat. "Sejak kapan kita berpacaran? Kau akan membawaku ke mana?" Tanya gadis itu sambil berusaha menyeimbangkan langkah cepat Ronald di koridor.

Ronald tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tindakannya menyeret Margaret sudah menjadi jawaban ketika mereka berhenti di kantin. Margaret menolak dengan alasan tidak lapar, tetapi Ronald tetap menggenggam tangannya kuat, tidak ingin melepaskannya pergi.

"Kamu harus makan. Ikuti saja kata-kata pacarmu," ucap Ronald memaksa. Margaret menghela napas pasrah, kemudian dengan hati yang berat mengikuti langkah Ronald sambil membawa baki makanan lalu duduk di meja kosong.

Setelah Margaret duduk di bangku kantin, pandangannya tiba-tiba terpaku kaget saat melihat Morgan dan Jessica berada tepat di meja sebelah mereka. Margaret terkejut, pura-pura tidak menyadari keberadaan mereka di sana, dan merasa gelisah ingin pindah tempat duduk. Namun, Ronald tampaknya dengan sengaja memilih duduk di dekat pasangan baru itu.

"Semua meja sudah penuh. Duduk, dan makan," perintah Ronald.

Margaret menarik napas. Lagipula kantin sedang ramai saat ini, akan sulit menemukan meja kosong. Maka tidak ada pilihan lain, Margaret makan di meja ini dengan terus menundukkan pandangannya, seakan-akan fokus pada makanan. Padahal isi pikirannya tertuju pada Morgan dan Jessica di meja seberang yang hanya sejauh dua meter.

"Makan pelan-pelan. Kau jadi belepotan," kata Ronald, mengulurkan tangannya lalu mengelap sudut bibir Margaret dengan tisu. Margaret tersentak dengan perlakuan tiba-tiba itu seraya menunduk malu mengusap sekitar bibirnya dengan punggung tangan.

Morgan memperhatikan mereka diam-diam dengan tatapan tajam yang menyimpan amarah. Dalam imajinasinya, dia mengusir Ronald dan duduk di hadapan Margaret untuk makan bersama. Namun, semua itu hanyalah khayalan Morgan yang tidak nyata. Dia menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran tersebut, kemudian menatap bosan pada Jessica yang terus bercerita dengan semangat.

***

Cinta Tabu Si KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang