Bab 39 - Kejutan

186 21 5
                                    

"Sial!" Margaret berlari secepat yang dia bisa menuju gerbang sekolah yang akan ditutup dalam beberapa detik lagi oleh guru. Langkah kakinya terdengar seperti detakan hati yang berdegup kencang, penuh kekhawatiran akan mendapatkan hukuman.

Gerbang itu semakin dekat, namun waktu semakin sempit. Rambut coklatnya berkibar di udara, mata hazel yang memancarkan keteguhan dan tekad. Dia mencoba menguatkan langkahnya, seolah-olah berharap waktu akan memperlambat langkahnya, memberinya kesempatan terakhir.

"Tunggu! Pak, tunggu!!!!"

Namun, ketika ia hampir mencapai gerbang, lonceng berdentang dengan keras, menandakan bahwa waktu telah habis. Gerbang itu tertutup, seakan menciptakan kesan bahwa harapan Margaret ikut tertutup bersamanya. Kekecewaan terembus dari helaan napas lelah dari bibirnya.

Margaret terlambat bersama beberapa murid lain yang tertahan di luar gerbang sekolah. Meski ini bukan kali pertama dia terlambat dalam dua tahun sekolah, namun ini kali pertama dia terlambat sendirian tanpa Morgan.

"Kalian, tahu jam berapa sekarang!" Guru menyuarakan ketidakpuasannya, memelototi mereka satu per satu. Wajah-wajah yang terlambat menjadi objek perhatiannya, sebelum akhirnya menyuruh mereka masuk dan berbaris. Secara berurutan, murid-murid yang terlambat pun diabsen oleh guru, nama dan kelas mereka disebutkan dengan tegas.

Tiba-tiba, nama yang akrab terdengar, dari kelas yang sama dengan Margaret. Margaret terkejut karena sebelumnya tidak ada yang terlambat dari teman sekelasnya. Namun, kejutannya semakin memuncak saat suara itu menyebutkan namanya sebagai Ronald. Langsung saja, Margaret menoleh dan menemukan Ronald berdiri di antara barisan murid terlambat.

Ronald meliriknya dengan tatapan genit, mengedipkan mata pada Margaret dengan isyarat nakal. Namun, Margaret hanya mendengus singkat, lalu memalingkan wajahnya dengan sikap cuek.

"Nama kalian saya serahkan pada wali kelas kalian masing-masing, bersiaplah dengan pengurangan nilai," ancam guru kedisiplinan. Margaret merasa menyesal terlambat hari ini, walau sebenarnya dia murid yang rajin.

"Sekarang, kalian harus berlari keliling lapangan sebanyak tiga kali, baru boleh masuk kelas!" Perintah guru lantas dilaksanakan mereka dengan setengah hati.

Setelah menyelesaikan hukuman yang membuat mereka hampir kehabisan napas, Margaret terduduk lelah di bangku pinggir lapangan dengan terengah-engah untuk istirahat. Butiran keringat menetes dari pelipisnya. Mendadak sebuah kaleng dingin menempel di pipinya, membuat Margaret menengok dan mendapati Ronald yang melakukannya.

"Untukmu. Capek begini enaknya minum minuman dingin," kata Ronald. Margaret mengambil kaleng softdrink itu lalu membukanya dan meneguk dengan singkat. Lagi, Ronald menyodorkan barang lain pada Margaret. Sebuah sapu tangan, mengisyaratkan Margaret untuk menyeka keringat di dahi.

Margaret terima sapu tangan bersih itu sambil menggumamkan kata terima kasih. "Akan aku kembalikan besok dalam kondisi bersih dan wangi," janji Margaret. Dia melempar pandangan ke lapangan luas di depan mata mereka. "Kenapa kau terlambat?" Tanya Margaret. Karena dia tahu kalau Ronald bukan tipe murid yang sering datang terlambat ke sekolah.

"Aku tidak bisa tidur karena saking senangnya berkencan denganmu kemarin. Tapi aku merasa belum puas. Bagaimana kalau hari minggu kita kencan seharian?"

Margaret menghela napas dalam-dalam. "Baiklah," gumamnya dalam hati. Dia menyadari bahwa mungkin Ronald bisa menjadi pengalih perhatiannya dari Morgan. Dia memutuskan untuk mengikuti apa pun yang diminta Ronald, dengan harapan bahwa dengan begitu, perasaannya terhadap Morgan akan terkikis perlahan-lahan.

Dengan langkah tegap, Margaret bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan datang, berusaha keras untuk membebaskan dirinya dari belenggu perasaan yang mengganggu pikirannya.

***

Margaret duduk dengan tegang. Meskipun kini dirinya dan Ronald berada di sudut kafe yang nyaman, tapi dia tidak pernah menyangka rencana kencannya tidak hanya berdua saja. Ternyata pasangan lain yang merupakan Jessica dan Morgan datang ke hadapan mereka, menciptakan suasana tak nyaman yang hanya dirasakan Margaret dan Morgan.

Margaret gugup, tapi tampaknya Ronald begitu tenang dan percaya diri. Margaret juga berbisik pada Ronald yang mengatakan, "kenapa kau mengundang mereka ke sini?" Sungguh rencana ini di luar dugaan Margaret. Karena ada Morgan di depan matanya, membuat Margaret merasa sangat kikuk. Atau sebenarnya yang canggung di sini hanya dirinya saja, sedangkan Morgan tidak merasakan hal serupa?

"Mereka juga teman baik kita. Tidak ada salahnya double date dengan pasangan yang sedang hangat-hangatnya itu," jawab Ronald membalas dengan suara pelan tanpa menggerakkan bibirnya.

Mereka memesan makanan sambil mengobrol dengan santai. Jessica dan Ronald mendominasi percakapan di meja mereka, sedangkan Margaret hanya bicara ketika ditanya, bahkan Morgan lebih irit bicara.

"Kalian berdua sudah cocok sejak awal. Seperti yang aku duga, akhirnya kalian berpacaran," komentar Jessica mengulas senyum manisnya menatap Margaret dan Ronald.

"Jadi, bagaimana kau memutuskan untuk menerima Ronald, Margaret? Bukankah dulu kau sudah menolaknya?" Tanya Jessica, rasa penasarannya menggelitik. Meskipun begitu, tatapan matanya menyiratkan keingintahuan yang lebih dalam di balik senyumnya yang anggun.

Margaret terdiam sejenak, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba dari Jessica, yang seorang tetangga meja di kelas. "Ah, itu..." ucapnya, mencari kata-kata yang tepat. "Karena... karena keteguhannya, aku terkesan dengan usahanya untuk merebut hatiku," lanjutnya, menemukan jawaban dalam kebimbangannya.

"Kurasa aku setuju denganmu. Dia adalah tipe lelaki yang tidak pernah menyerah dalam meraih apa yang diinginkannya," tanggap Jessica.

Ronald tersenyum, tersipu malu saat dipuji oleh Margaret. Namun, Margaret merotasikan matanya dengan jengah, menilai sikap kepura-puraan Ronald. Sebabnya dia berada di posisi seperti ini bukanlah karena pilihan bebas, melainkan dipaksa keadaan demi merahasiakan foto tabu itu dan menjaga nama baik Morgan yang dikenal sebagai kakak atau murid teladan di sekolah.

Terlebih Margaret mengenal Ronald bukan tipikal orang yang hanya bisa gertak sambal. Jika dia tak mengindahkan ancamannya hari itu, mungkin sekarang dirinya dan Morgan sudah dapat masalah serius, lebih buruk lagi guru pasti memanggil orang tua mereka akibat foto amatir Ronald waktu itu.

"Aku merasa sangat beruntung mendapatkan gadis tercantik di sekolah," kata Ronald memegang tangan Margaret di atas meja, jelas saja memancing lirikan tajam Morgan yang menatap itu dengan alis berkedut.

Kemudian, pesanan mereka datang. Mereka mulai makan siang bersama dalam suasana yang hangat, meskipun kehangatan itu tampaknya hanya dirasakan oleh Jessica dan Ronald. Jessica mencoba menyuapi Morgan dengan sesendok makanan, namun lelaki itu menolaknya dengan halus. "Aku tak ingin kau kelaparan. Jadi, makanlah bagianmu sendiri," ujar Morgan sambil menjauhkan wajahnya dari sendok makanan Jessica.

"Tapi, aku ingin berbagi apa yang kumiliki denganmu. Makanlah sedikit, ini enak," desak Jessica, agak memaksa. Morgan menghela napas, terlihat mencoba untuk sabar.

Tiba-tiba, Margaret angkat suara pada pasangan yang duduk berhadapan dengannya. "Kakakku tidak suka acar," potong gadis itu, memberitahu Jessica dengan tegas. Jessica terdiam, sedangkan Morgan menatapnya dengan terkejut. Margaret tak memperdulikan tatapan itu dan langsung menunduk, seolah menikmati makanan di piringnya.

"Oh, ya ampun," gumam Jessica sambil menurunkan sendoknya dari wajah Morgan. "Maaf, aku tidak berpikir sampai ke sana. Seharusnya aku lebih banyak bertanya padamu, Margaret, karena hanya kau yang paling mengerti tentang kakakmu yang tercinta." Meskipun ucapan Jessica terdengar sebagai pujian, Margaret merasa agak tersindir. Mungkin karena hubungannya dengan Morgan masih dalam kondisi dingin.

"Apa kau tahu makanan yang tidak disukai kakakmu?" tanya Jessica.

"Mengapa kau tidak langsung tanyakan pada kekasihmu?" balas Margaret, mendadak merasa tenggorokannya kering entah karena sikap Jessica atau karena rasa haus yang muncul secara tiba-tiba. Dia meraih gelas airnya dan meneguk setengahnya habis.

Rasanya dia ingin pindah ke planet lain saja.

"Apa tidak ada yang ingin bertanya padaku? Aku siap ditanya apapun," sahut Ronald penuh percaya diri.

"Apa tujuanmu memacari adikku?" tanya Morgan akhirnya, dengan tatapan tajam yang diarahkan pada Ronald, disertai dengan penekanan pada ucapannya. Caranya menatap tajam Ronald seolah-olah menambahkan kata brengsek pada kalimatnya.

Ronald peka, dan dia hanya tersenyum dengan manis pada Morgan.

"Aku bertanggung jawab sebagai kakaknya sebelum dia punya pacar. Tapi kini dia bersamamu, jadi kaulah yang akan mengambil tanggung jawabku. Jika kau melakukan sesuatu yang menyakitinya, aku takkan segan melakukan hal sama padamu." Morgan tampak bicara sebagai seorang kakak yang protektif secara wajar.

"Maaf, aku tidak mengerti maksudmu..." Ronald meringis bingung.

"Jika kau cium dia, aku akan menciummu juga," telak Morgan, membuat sekujur tubuh Ronald merinding seketika. Ronald bergidik bahkan tak mau membayangkan adegan dirinya dicium Morgan. Hey! Ronald masih menyukai wanita, dan akan selalu berdiri karena wanita. Mendadak saja dia merasa ingin memuntahkan makanan yang baru masuk. Ronald berusaha bersikap normal dan tenang, walau dirinya mulai terintimidasi oleh aura gelap dari Morgan.

"Kakak! Jangan begitu!" Sergah Margaret.

"Aku begini karena aku kakakmu. Jika ayah di posisiku juga pasti akan mengatakan hal yang sama pada dia," bela Morgan berkata dengan tegas, tapi nadanya sedikit ngegas, seolah-olah menahan emosi yang akan lepas.

Margaret diam, kembali menunduk dan terpaku pada makanannya yang belum habis.

Hari itu berlalu begitu cepat, mereka berdua menghabiskannya bersama, menjelajahi mall hingga taman kota, tak menyadari waktu berjalan dengan cepat hingga langit mulai tergelap. Mereka jalan berpasang-pasangan.

Namun, perhatian Morgan tak bisa lepas dari pasangan yang berjalan di depannya, meski Jessica di sampingnya terus menggelayuti lengannya dengan manja. Saat itu, tiba-tiba, dia melihat Ronald merangkul pundak Margaret dan gadis itu membalas dengan pelukan ke pingggang Ronald.

Sehingga dari sudut pandang Morgan, pasangan itu seakan menciptakan keintiman yang tak terbantahkan di antara mereka, seperti dunia di sekitar mereka terhenti sejenak untuk memberi tempat pada ikatan yang tumbuh di antara dua jiwa yang saling terhubung.

"Mereka seperti lem yang tak bisa dipisahkan, ya," komentar Jessica. Begitu dia mendongakkan wajahnya untuk melihat ekspresi Morgan, Jessica merasa bingung dengan raut wajah lelaki ini yang terlihat kaku dan tegang. Lalu Jessica mengikuti arah pandang Morgan dan dia hanya menemukan pasangan Ronald dan Margaret di depan mereka, tampak mesra dan erat satu sama lain.

Di persimpangan jalan, saat mereka harus berpisah di mana Morgan akan mengantar pulang Jessica, kesedihan menyelimuti hati Margaret. Kedua orang itu pergi duluan, meninggalkan Margaret sendirian di sani walau ada Ronald menemani. Dia hanya bisa memandangi punggung Morgan dengan sorot kerinduan yang dalam, namun dengan cepat, dia mengalihkan pandangannya ke objek lain, seakan-akan melihat Morgan hanya akan membangunkan perasaan terlarang yang sedang berusaha dimatikan.

Hati Margaret hancur saat menyadari bahwa kenyatan mereka bersaudara kandung hanya akan berakhir dengan perpisahan menyakitkan, meninggalkan rasa kosong yang tak terlupakan di hatinya. Yang dilakukan Margaret saat ini tidak hanya menyiksa Morgan, tapi juga memaksakan dirinya sendiri untuk merelakan kakaknya, menghentikan perasaan kakaknya pada dirinya, agar mereka tidak terjerumus lebih dalam kelak.

Inilah cara terbaik menurut Margaret. Margaret tidak punya pilihan lain lagi.

"Margaret, apa kau baik-baik saja?" Tanya Ronald. Margaret tersentak sadar dari lamunan, dan dia langsung mengusap matanya yang berkaca-kaca.

"Aku hanya mengantuk sekali. Aku akan pulang naik taksi, sampai ketemu besok di sekolah," pamit Margaret. Taksi berhenti di depan mereka. Dia masuk ke dalamnya kemudian taksi pergi, dan Ronald masih berdiri mematung menatap kepergian taksi itu yang semakin jauh.

***

Cinta Tabu Si KembarOn viuen les histories. Descobreix ara