Bab 40 - Segenap Hati

213 22 6
                                    

Suasana perpustakaan sekolah tampak tenang seperti biasa. Sekelompok gadis duduk semeja dengan tumpukan buku tugas di meja. Awalnya mereka membahas tentang pelajaran di mana dalam beberapa hari lagi akan ada ujian akhir, namun mendadak berubah ketika mereka menanyakan sesuatu yang lebih pribadi pada Jessica.

"Kau kan pacaran dengan Morgan, apa kalian sudah melakukan tidur bersama? Bagaimana rasanya dengan Morgan? Aku yakin dia pasti memiliki... senjata yang besar," ujar salah satu dari mereka dengan nada yang direndahkan.

Fokus Margaret terpecah setelah suara itu terdengar berasal dari meja sebelah. Jaraknya sangat dekat di mana dia duduk tepat memunggungi Jessica, jadi kemungkinan mereka tidak menyadari keberadaannya di sini.

Jessica menjawab dengan senyum. "Aku sangat bahagia. Seperti yang kalian bayangkan, dia luar biasa. Pengalaman bersama Morgan tak akan terlupakan bagiku. Dia begitu panas dan bersemangat. Dia adalah segalanya bagiku."

Hati Margaret sesak, sangat sesak nyaris tidak bisa bernapas. Tanpa ingin mendengarkan lebih jauh lagi, Margaret langsung berlari keluar perpustakaan, meninggalkan buku bacaannya berserakan di meja. Dia tidak menyangka hubungan kakaknya dan Jessica sudah sejauh itu.

Margaret merasa tersesat walau hanya berlari di koridor sekolah yang sudah biasa dilalui. Langkah kakinya terus dipacu sekuat tenaga mencari udara segar, yang sayangnya tidak ditemukan di mana pun, kecuali pada sosok Morgan yang kini dia temukan di dalam kelas.

Dia berhenti sejenak dengan napas memburu, dan tenggorokan yang tercekat sambil menatap kakaknya yang sedang bercanda tawa. Kemudian dengan segenap keyakinan di dada, gadis itu menerobos masuk tanpa memedulikan tatapan-tatapan penasaran mereka, lalu menarik tangan Morgan yang sedang asyik mengobrol bersama teman-temannya. Morgan kaget, tapi melihat mata merah Margaret, akhirnya dia bangkit dan mengikuti langkah Margaret yang menarik tangannya pergi.

Margaret membawanya ke atas atap ruang laboratorium kimia yang kosong dan sepi. Kemudian dia melepaskan genggaman tangannya dari Morgan, kepalanya menunduk menatap lantai. Morgan yang keheranan dengan sikap aneh Margaret lantas bertanya.

"Siapa yang menyakitimu?" Morgan khawatir. Dia masih peduli pada adiknya terlepas dari suasana batin yang belum membaik.

"Kau!" Jawab Margaret tanpa ragu. Dia tunjukkan matanya yang berkaca-kaca pada Morgan. Lelaki itu terdiam karena kaget sekaligus bingung.

"Aku tidak bisa... aku pikir aku tidak bisa menahan diriku lagi. Aku terlanjur jatuh cinta padamu tapi aku terus membohongi diriku. Apa kau tahu betapa aku menderita karena mencintaimu?" Margaret menumpahkan semua hal yang selama ini tertampung di dalam pikirannya. Matanya menangis, tapi di balik kesedihan itu terlihat keberanian yang luar biasa. Dia telah membuka hatinya.

Morgan terdiam, matanya memperlihatkan campuran antara kekagetan dan kebingungan yang mendalam. Dia merasakan getaran emosi yang kuat dari kata-kata Margaret, dan seolah-olah satu-satunya suara di tempat itu adalah detak jantung mereka yang saling beradu.

Morgan merasa kegembiraan membanjiri hatinya, seperti mendengar gemuruh air terjun dari surga. Namun, ia tidak bisa langsung mempercayai perkataan Margaret, merasa ragu dengan seriusitasnya. Kecemasan itu menahan euforia yang berkecamuk di dalam batinnya, karena ia takut bahwa perasaan Margaret hanya sementara dan bukan berakar pada cinta yang sejati.

"Dengan Ronald bagaimana?" tanya Morgan dengan hati-hati. "Kalian terlihat saling mencintai."

"Kami hanya berpura-pura menjadi pasangan," jawab Margaret tanpa ragu. "Aku sama sekali tidak mencintainya."

Mendengar pengakuan itu, Morgan merasa lega sekaligus sedikit terkejut. Dia menatap Margaret, mencari kepastian dalam mata gadis itu. Dalam keheningan yang membebani, Morgan merasakan hatinya berdegup lebih cepat, mencoba memahami semua yang telah terjadi di antara mereka.

"Aku senang mendengarnya darimu, tapi mengapa aku merasa tidak percaya pada ucapanmu. Padahal sebelumnya kau selalu mendorongku menjauh dan terus menjauh. Apa sekarang kau sedang demam, huh?"

Margaret mengepalkan kedua tangannya, mengumpulkan sisa keberanian untuk kemudian melangkah maju dan berjinjit mencium bibir Morgan. Morgan yang kaget hanya terdiam mematung.

Tiba-tiba suara bel sekolah berbunyi, menandakan jam istirahat berakhir, dan mereka harus berpisah dengan berat hati walau mereka butuh waktu lebih untuk membicarakan ini.

"Pulang sekolah, tunggu aku di depan," ujar Margaret. "Aku akan buktikan cintaku padamu itu serius." Setelah mengatakan itu dia menghilang pergi dari ruangan, menyisakan Morgan yang masih membeku dengan perasaan bingung tapi juga sangat senang.

***

Ketika jam pulang sekolah tiba, Jessica menghampiri Morgan yang berdiri menunggu di depan gedung. Tetapi Morgan menolak Jessica untuk pulang bersama. "Maaf Jessica, aku akan pulang bersama adikku," kata Morgan, persis mengikuti permintaan Margaret tadi siang, karena rasa penasarannya.

Jessica kecewa, tapi dia tidak bisa memaksa Morgan. Akhirnya dia pergi sendirian keluar dari sekolah. Sementara itu Margaret baru muncul dari persimpangan koridor. Saat akan berbelok ke halte, Margaret menarik tangan Morgan ke arah lain.

"Apa kita tidak pulang?" tanya Morgan.

"Ada tempat yang ingin aku datangi bersamamu," kata Margaret. Mereka menyetop taksi. Taksi segera membawa mereka tiba di depan gedung hotel mewah. Morgan yang membayar biaya taksi kemudian mereka turun di sini.

Morgan bingung. "Mengapa kita ke sini?" tanya lelaki itu.

"Tidurlah denganku malam ini," pungkas Margaret penuh keyakinan.

Morgan tersentak. Kata-kata itu mengguncang dunia Morgan. Kebingungan tercermin di matanya dengan ketidakpercayaan pada ucapan Margaret barusan. Morgan terdiam melamun memikirkan kemungkinan dirinya salah dengar atau hanya berhalusinasi, sebab menyadari bahwa Margaret menjadi pusat obsesinya yang terpendam selama bertahun-tahun ini.

"A-apa katamu? Aku yakin telingaku bermasalah." Dia berkata dengan suara bergetar, berharap itu bukan halusinasi.

"Pendengaranmu baik-baik saja. Ayo masuk!" Gadis itu meraih tangan Morgan, menarik kakaknya memasuki lobi hotel yang bercahaya terang.

"Margaret." Morgan berhenti tiba-tiba, menahan tarikan tangan Margaret yang hampir mencapai meja resepsionis. Margaret memutar tubuhnya untuk menatap ke mata Morgan.

"Pikirkanlah dengan matang. Apa kau lupa kalau kau hanya akan memberikan itu pada calon suamimu kelak?" Morgan khawatir. Keraguan menggantungi hatinya terhadap keputusan sang adik tercinta. Dia tidak ingin Margaret menyesal setelah mereka melakukan semua itu bersama.

"Aku sudah berkali-kali memikirkan hal ini sebelum memutuskan membawamu ke tempat ini," ucap Margaret dengan tegas. Lalu Morgan menatapnya serius. Tatapan Margaret menunjukkan keteguhan hati yang kuat, tanpa menyisakan keragu-raguan di dalam sorot matanya. Sehingga Morgan tidak menemukan kebohongan maupun candaan pada mata Margaret.

Namun, Morgan sedikit melihat adanya percikan kemarahan pada seraut wajah Margaret. Morgan tidak tahu bahwa keputusan besar ini Margaret ambil karena tingkat kecemburuannya sudah meledak, mengacaukan seluruh isi hatinya menjadi serpihan kapal pecah yang berantakan tak terbentuk lagi setelah mendengar cerita Jessica di perpustakaan tadi siang. Margaret merasa tidak bisa membendung cintanya pada sang kakak kali ini.

Dia tidak ingin kehilangan Morgan dengan seluruh cinta lelaki ini pada dirinya. "Aku ingin memilikimu," tegas Margaret penuh keberanian. Cukup mengesankan di mata Morgan yang akhirnya mengikuti kata hati untuk mewujudkan cinta terlarang mereka.

Setelah mendapatkan kunci kamar, mereka naik ke lantai sepuluh, masuk ke kamar tujuan. Pintu yang ditutup kembali, menyembunyikan rahasia di antara mereka.

***

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now