Bab 10 - Kecelakaan

406 31 6
                                    


Dari semua tempat di sini, hanya jendela dipojok ballroom yang sepi. Semua orang lebih menyukai berada di tengah keramaian acara. Margaret hanya terlalu malas serta lelah seharian belajar dibawah pengawasan kakaknya. Tapi ia bukan seorang introvert yang suka menyendiri dan menghindari interaksi.

Pandangan Margaret memindai ke luar jendela kaca besar. Dari ketinggian lantai lima hotel, Margaret bisa menikmati pemandangan kota di malam hari. Semua terlihat berkilau oleh lampu-lampu kota. Walau sayangnya ia tidak bisa melihat bintang di sini.

"Minum." Morgan menyodorkan gelas sirup. Tahu kalau usia mereka belum boleh untuk minum amer yang tampak menggoda di meja sana.

"Terima kasih," gumam Margaret. Dia meminumnya sedikit.

"Kira-kira berapa tahun lagi kita yang akan menjadi pemilik pesta ini?" gumam Margaret, bicara dengan kakaknya yang mendengar. "Menurutmu siapa yang akan menikah duluan? Kau atau aku nanti?" Dia menoleh. Menatap polos ke mata Morgan.

"Aku tidak tahu," jawab Morgan datar. "Jangan memikirkan hal yang belum kita lalui. Nikmati saja masa-masa ini yang mungkin tidak akan pernah terulang lagi di masa depan." Morgan bicara dengan santai lalu meminum minumannya.

"Ya, aku setuju. Dan aku sangat bersyukur dapat menghabiskan banyak waktu dengan kakak," ucap Margaret tulus.

Morgan meliriknya. "Apa kau mau pulang saja?"

Margaret menggeleng. "Ayah dan ibu belum ingin pulang. Maka aku juga akan ada di sini dan pulang bersama mereka."

"Margaret," panggil seseorang, menarik perhatian mereka ke sumber suara. Betapa tidak disangka mereka bertemu dengan Ronald di sini. Tangannya memegang gelas kaca berisi minuman soda.

"Ronald?" kaget Margaret, melihat penampilan rapi Ronald yang berbeda dari biasanya. Pemuda itu mengenakan jas dengan rambut disisir ke belakang, memperlihatkan dahinya yang mulus. Secara visual, dia terlihat lebih segar dan dewasa, cukup mengesankan Margaret yang merasa terpukau.

"Kenapa kau di sini?" sinis Morgan. Jelas ia tidak menyukai Ronald, terutama setelah insiden mencium adiknya.

"Aku tamu di sini," jawab Ronald sambil tersenyum percaya diri.

"Ini dunia yang sempit," gumam Morgan gerah.

"Kenapa kalian berdua mojok di sini? Apa kalian datang sendiri?" tanya Ronald sambil meneguk minuman sodanya, tatapannya tetap pada Margaret.

"Kami datang bersama keluarga. Orang tua kami sedang sibuk dengan tamu lain," ujar Margaret. "Bagaimana denganmu?"

"Aku bersama ayah. Kami di sini untuk pernikahan teman ayah. Aku sebenarnya tidak ingin datang, tapi ayah memaksa," ungkap Ronald.

"Ternyata ada keuntungan juga, aku bisa bertemu denganmu malam ini." Bibirnya tersenyum, matanya melihat Margaret dengan penuh kagum, meskipun sudah sering ditolak.

Cara Ronald memandang Margaret membuat Morgan tidak nyaman. Alisnya berkerut, keningnya sedikit mengerut. Dia heran pada sikap Ronald yang masih tetap memperlihatkan ketertarikan pada Margaret, meskipun sudah jelas ditolak sebelumnya, bahkan ia tonjok wajahnya hari itu. Tentu saja, sebagai lelaki, Morgan memahami tindakan Ronald dengan baik.

"Permisi," potong Morgan menahan geram. Dia menggeser tubuhnya menutupi Margaret dari pandangan Ronald. "Apa pukulanku tidak cukup untuk membuatmu menjauh dari adikku?" Morgan tidak hanya bertanya tapi juga memberi sinyal intimidasi pada lawan bicara.

"Kau memukulku karena aku sudah lancang menciumnya," sahut Ronald menanggapi dengan santai. Entah darimana ia mendapatkan kepercayaan diri, tidak ada lagi rasa takut pada Morgan. Namun tampaknya Ronald memiliki rencana dibalik sikap confidence-nya ini.

"Kau sadar itu, lalu kenapa masih muncul di depannya?" sungut Morgan.

"Apa yang salah? Kami teman sekelas. Apa tidak boleh menyapa teman sekelas?" balas Ronald menaikkan sebelah alisnya. Telak menusuk Morgan.

Tapi Morgan tidak mau kalah dari ucapan tersebut. "Kau menyukai bogeman ya?" sindir Morgan kesal. Menghadapi Ronald membuatnya hampir naik darah, kendati masih dapat terkontrol dengan sabar.

"Sudahlah, kak. Ayo kita pergi," lerai Margaret, tahu jika dibiarkan saja maka dua lelaki itu akan terus beradu kata. "Ayah menelepon kita. Sebaiknya kita temui mereka," ajaknya kemudian. Pamit pada Ronald dengan ramah, sementara tatapan Morgan menajam sambil berlalu pergi digandeng Margaret.

***

Mereka dalam perjalanan pulang di jam sebelas malam. Margaret tertidur di pundak kakaknya. Diam-diam Morgan menyelipkan jemarinya ke tangan gadis itu, menggenggam Margaret dengan erat, sementara ekspresi wajahnya nampak datar memandang ke luar jendela.

Cahaya menyilaukan tiba-tiba muncul dari depan. Sebuah truk dikemudikan supir yang mengantuk tampak meluncur cepat, dan tanpa ampun menabrak mobil keluarga Morgan, membuatnya terguling di aspal yang licin. Morgan, yang tersadar lebih dulu dari keadaan mencekam itu, menatap wajah-wajah pucat dan berlumuran darah dari anggota keluarganya yang tidak berdaya. Dalam keadaan pingsan atau mungkin telah tiada.

Dengan tenaga yang tersisa, Morgan melepaskan sabuk pengamannya, dan menemukan diri Margaret juga terluka dan berdarah. "Margaret," gumamnya dengan suara serak, berusaha membangunkan adiknya yang tak membuka mata sejak kecelakaan ini terjadi.

Namun, walaupun Morgan berharap dengan segala daya, mata Margaret tetap terpejam erat, tak kunjung memberi tanda-tanda kesadaran. Morgan merasa hancur melihat keadaan adiknya yang lemah tak berdaya. "Margaret, bukalah matamu... aku tak sanggup jika kau pergi," pintanya dengan lirih, seraya meraih tangan adiknya yang lemas, mencoba menyalurkan kehangatan dan kekuatan melalui sentuhan itu.

Sementara sirien ambulan semakin mendekat, paramedis bergerak cepat mengevakuasi mereka. Ditaruh di tandu, Morgan mencoba menjangkau Margaret, tapi jauh sebelum tangan mereka bersatu, petugas medis sudah membawa gadis itu pergi, memisahkan mereka dalam kegelapan yang menakutkan. Dan saat itulah, Morgan merasakan dirinya terhanyut oleh gelapnya kesadaran, lantas kehilangan kekuatan dan harapan.

***


Cinta Tabu Si KembarOn viuen les histories. Descobreix ara