Bab 35 - Masakan Morgan

170 21 3
                                    

Pagi itu Margaret terbangun, berjalan lunglai menuju dapur. Mulutnya yang menguap mendadak terhenti ketika melihat punggung lebar Morgan sedang berdiri di dapur. Morgan sedang memotong daun bawang di talenan. Ekspresinya datar tetapi sorot matanya kosong, seakan banyak hal rumit bersarang di pikirannya saat ini. Dan, dari semua hal yang memenuhi pikirannya, gambaran Margaret selalu mendominasi isi kepala Morgan.

Kemudian, dia tersadar cepat dari lamunan ketika suara lembut Margaret melintas di telinga, "Kau sedang apa?" Morgan menoleh sekilas lalu menjawab, "membuat sarapan. Bagaimana kondisimu? Apa perutmu masih sakit?"

"Sudah lebih baik."

"Minumlah." Morgan meletakkan secangkir teh hangat ke meja. Margaret duduk, mengangkat cangkir itu di tangannya. Masih terlihat panas dan dia meniupnya sebelum diminum secara perlahan. Seketika rasa hangat memasuki tenggorokannya. Margaret jadi merasa rileks seakan semua beban di kepalanya menguap.

"Pergilah mandi sambil menunggu sarapan selesai dibuat."

Beberapa saat pun berlalu. Margaret dan Morgan duduk berhadapan, menyantap hidangan mereka dengan perasaan yang campur aduk. Suasana hening dan canggung menggantung di udara, hanya terpotong oleh suara lembut piring dan sendok yang bersentuhan.

Mata Morgan terus-menerus terpaku pada Margaret, seolah-olah dia menemukan sesuatu yang begitu sulit dalam kedalaman matanya. Namun ekspresi tanpa kata yang terukir di wajahnya memancarkan kasih sayang yang lain.

Margaret merasa tidak nyaman dengan tatapan intens Morgan, akhirnya mengangkat mata dari makanannya. "Kenapa makanannya tidak dimakan?" tegur Margaret. Senyum kecil diukir di bibir Morgan seraya menjawabnya dengan tenang.

"Aku bersyukur melihatmu makan dengan lahap. Apakah masakanku sungguh enak?" timpal lelaki itu. Karena dia sadar kemampuan memasaknya tidak sepandai ibu mereka.

"Setidaknya ini layak untuk dimakan," balas Margaret.

"Kau lebih suka masakan ibu atau aku?" tanya Morgan lagi.

Margaret berhenti mengunyah dan berpikir sebentar. "Dari pengalaman, tentu ibu lebih jago memasak, dan semua yang dimasak ibu selalu terasa enak. Jadi, jangan bandingkan dirimu dengan seseorang yang punya pengalaman lebih, kak. Meskipun makananmu enak," ujar Margaret memberi nilai.

"Akan aku ingat pelajaran darimu." Morgan tersenyum lembut.

***

Sejak sore festival itu Margaret sulit menemukan Devon sekalipun di sekolah. Setiap kali mencarinya di sekolah, selalu saja lelaki itu tidak ada di kelas atau di mana pun. Dia ingin memastikan hubungan mereka setelah mengungkapkan perasaannya. Terlebih dia tidak memiliki kontak Devon. Devon seolah menghilang setelah mereka berciuman.

Hari ini juga, pencarian terhadap Devon tidak membuahkan hasil. Semua teman-teman lelaki itu tidak ada yang tahu kemana perginya Devon. Jangan berpikir untuk bertanya pada Morgan. Bisa menambah masalah baru lagi. Tapi, di kelas tiga tadi Margaret tidak menemukan kakaknya di dalam kelas. Kemana perginya Morgan sekarang? Apa sedang bersama Devon?

Ketika ekor matanya menangkap siluet familiar, langkah cepat Margaret terhenti tiba-tiba. Dia mundur selangkah dan melihat sepasang murid sedang berdiri berhadapan di tempat sepi, tepat dibawah pohon rindang taman sekolah.

Margaret bersembunyi sambil memperhatikan dua orang itu, hingga akhirnya dia mengenali mereka berdua sebagai Jessica dan Morgan. Apa yang mereka bicarakan berduaan di sana? Karena jarak yang tidak dekat, membuat Margaret tidak bisa mendengarkan pembicaraan mereka.

Dia hanya bisa mengamati gestur tubuh mereka sampai secara tak terduga, Morgan menunduk ke arah Jessica. Dan posisi Margaret yang berada di belakang lelaki itu tidak dapat melihat jelas apa yang sedang dilakukan kakaknya pada Jessica. Tetapi gesturnya mengingatkan Margaret pada adegan di drama saat tokoh laki-laki membungkukkan badannya pada tokoh perempuan untuk berciuman.

Persis. Margaret tercekat seketika. Dadanya terasa sesak, hampir sulit bernapas dengan rasa sakit luar biasa seolah dipanah tepat di bagian jantung. Margaret lantas berlari pergi dengan segala perasaan yang berkecamuk.

Dia duduk di toilet sekolah. Menepuk-nepuk dadanya dan sadar merasa aneh atas reaksi ini. Kenapa rasanya seperti orang cemburu melihat kekasih selingkuh? Margaret pusing, tidak mengerti dengan dirinya sendiri.

"Tidak... Aku tidak boleh memiliki perasaan ini pada kakakku," gumam Margaret setelah tahu alasan hatinya sakit menyaksikan adegan mesra kakaknya. Margaret menyadari dirinya telah menyukai Morgan bukan sebagai kakaknya tapi seorang lelaki, tetapi dia selalu menolak perasaan yang ada di dalam dadanya.

Margaret mengusap pipinya. Dia menarik napas dan memaksakan tersenyum. "Tapi... kenapa dia mengatakan mencintaiku, sedangkan sekarang dia justru mencium gadis lain. Apa dia sama seperti lelaki lain yang mengobral cinta? Hah! Dasar laki-laki. Aku kira dia berbeda dari lelaki lain. Oh, astaga Margaret, apa yang kau pikirkan selama ini?" Margaret terus bermonolog dengan semua asumsinya yang belum pasti benar atau salah. Yang jelas, Margaret merasa seperti orang bodoh gara-gara Morgan.

***

Pulang sekolah mereka tidak dijemput seperti biasanya setelah ayah memberhentikan supir pribadi. Sehingga sekarang Margaret dan kakaknya harus pulang menggunakan bus umum yang berhenti di halte. Mereka duduk bersama di dalam bus yang lumayan penuh.

Kegiatan sibuk di sekolah membuat Margaret langsung tertidur di dalam bus, kepalanya mengangguk-angguk tanpa sadar, hingga nyaris membentur kaca jendela yang berada di sampingnya. Namun Morgan sigap menahan kepala Margaret dari benturan ringan yang akan membangunkannya. Tak disangka aksinya justru membuat Margaret kembali tersadar dengan membuka matanya. Tepat mata mereka saling bertemu begitu dekat.

Mereka bertatapan dalam diam, seolah tidak ada yang akan memutuskan kontak mata. Tapi Margaret yang mendadak gugup pun langsung mengalihkan tatapannya, lalu menegakkan posisi duduknya dengan sikap canggung. Morgan tidak mengatakan apapun sampai mereka tiba di rumah. Orang tua mereka belum pulang, suasana terasa sangat sepi di dalam selain hanya ada mereka berdua.

Margaret meletakkan tasnya, kemudian berbaring lelah di kasur, sementara lirikan matanya memperhatikan Morgan yang sedang mengganti pakainnya dengan lebih kasual. "Bagaimana rasanya mencium seorang gadis selain aku?" Tiba-tiba Margaret membahas hal yang dilihatnya.

"Maksudmu?" Timpal Morgan saat memakai kaos polos berwarna abu-abu.

"Apakah tidak ada cerita hari ini di sekolah? Aku penasaran mengapa keseharian kakakku sangat damai padahal dia cukup tampan untuk digemari banyak gadis. Bukankah seharusnya ada cerita dari salah satu gadis cantik itu?" Margaret berusaha memancing agar Morgan membuka ceritanya sendiri.

"Tumben sekali kau menanyakan hal itu." Morgan duduk di kasur Margaret, menatap adiknya yang berbaring. "Tidak ada yang lebih menarik dibanding dirimu. Kau tahu, aku tidak pernah menaruh minat pada mereka."

"Apakah kau menyembunyikan sesuatu dariku?" Margaret mempertanyakan, ketidakpercayaan merayap dalam dirinya. Hatinya semakin terikat dalam keraguan terhadap Morgan, memohon agar kakaknya membuka diri dan mengakui hubungannya yang dengan Jessica.

Morgan menghela napas, ekspresi tegang menyeretnya. Dia maju mendekat, wajahnya hampir menyentuh Margaret. Mata mereka bertemu, sebuah pertarungan tak terucapkan terjadi di dalam pandangan itu. "Lihatlah dalam-dalam ke dalam mataku, dan beritahukan apa yang kau temukan di sana," desis Morgan.

Tapi Margaret merasa tersesat dalam keindahan mata Morgan, tidak mampu menemukan keberanian untuk melihat lebih jauh, terperangkap dalam pesona yang membingungkan. Mata Morgan, seakan menyimpan rahasia yang tak terucapkan, menghipnotis Margaret dengan tatapan lembutnya yang melemahkan.

Namun, ketika Margaret mencoba untuk memahami arti di balik tatapan itu, dia merasa dirinya tenggelam dalam lautan kebingungan. Apakah yang sebenarnya tersirat di balik kedalaman mata Morgan? Apakah itu kebenaran yang dia takutkan, ataukah hanya khayalan dari kegelisahan hatinya yang terus memburu?

Bunyi dering yang tajam memecah ketegangan di udara, memaksa mereka kembali ke dunia nyata. Dering telepon dari nakas sebelah membuyarkan kesunyian yang memenuhi antara Margaret dan Morgan. Margaret tersentak. Dia mengalihkan pandangannya dari mata Morgan, perlahan-lahan membebaskan diri dari pesona yang telah membelenggunya.

Menjawab panggilan telepon dari ibu. Mereka mengobrol untuk menanyakan kabar dan melepas rindu. Dalam sekejap, Margaret melupakan kecurigaannya pada Morgan, dan asik berbicara dengan ibundanya membahas oleh-oleh.

Tiba-tiba saja Morgan mengecup pipinya lalu masuk ke kamar mandi, sementara Margaret terdiam sejenak atas aksi lelaki itu barusan.

***

Author ngebut nulis seharian kemarin, makanya ga update bab baru. Karena besok lebaran dan semua orang bakal sibuk banget. Jadi author kasih banyak bab baru untuk dinikmati sebelum hari raya hehe.

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now