Bab 11 - UGD

422 27 3
                                    

Ruangan UGD penuh dengan pasien sakit, ranjang mereka berderet dengan tirai sebagai pembatas antara satu ranjang dan yang lainnya.

Mata Margaret terbuka perlahan, menyapu langit-langit ruangan yang terasa asing. Kakinya bergerak, namun ia tersadar bahwa itu terasa sulit dan berat untuk digerakkan. Dengan hati-hati dia buka selimut yang menutupi separuh tubuhnya. Pandangan matanya tercenung pada gips yang melingkari kaki kirinya sekarang.

Ini di mana dan aku kenapa? Begitulah ekspresinya yang bingung.

Lalu seorang perawat datang, memeriksa kondisinya. "Apa anda sudah sadar? Apa anda ingat nama anda?" tanyanya mengecek keadaan Margaret.

"Namaku Margaret, usiaku 17 tahun," jawab Margaret dengan yakin. "Kenapa aku ada di sini?"

"Anda mengalami kecelakaan. Seluruh keluarga anda menjadi korban, tapi sekarang mereka dalam perawatan kami."

"Apa?" Margaret kaget. Syok dan kehabisan kata-kata. Dia sama sekali tidak ingat tentang hal ini. Sebab terakhir kali yang ia ingat adalah tidur di dalam mobil menuju pulang.

"Di mana kakakku?" Spontan ia bertanya, seketika terdiam menyadari bahwa ia lebih memikirkan kakaknya daripada orang tuanya.

"Di sebelah Anda," kata perawat.

Margaret menoleh dan hanya melihat tirai membatasi ruangan. Bayangan Morgan muncul di benaknya, mungkin mengalami nasib serupa di balik tirai itu, atau bahkan lebih parah darinya.

Perawat pergi, tapi tatapan Margaret masih terpaku pada tirai itu. Ia ingin beranjak dan melihat kakaknya sendiri, tapi tubuhnya terasa terlalu berat untuk digerakkan.

Tak menyerah, Margaret menggeser tubuhnya sedikit ke tepi ranjang sambil meraih tirai dengan tangan kanannya, berusaha untuk menyingkapnya.

"Kakak," panggil Margaret dengan suara lirih, tetapi ia masih kekurangan tenaga. "Kakak." Namun tak ada jawaban. Akhirnya, ia berhasil membuka tirai itu.

Langsung dapat Margaret lihat keadaan Morgan. Lelaki itu terbaring dengan mata tertutup. Dahinya terbalut perban, terdapat penyangga di bagian lehernya, dan selang infus terhubung untuk membantunya pulih. Hati Margaret terenyuh.

Apakah kondisi kakaknya membaik atau semakin buruk? Apapun itu, melihat Morgan seperti itu membuatnya tak terkendali. Ia merasa takut, takut kehilangan kakaknya akibat kecelakaan tersebut.

"Kakak!" pekik Margaret dengan sukacita. Matanya yang sebelumnya berkaca-kaca kini berbinar bahagia.

Suara ceria Margaret mengundang atensi Morgan untuk melihatnya. Namun penyangga di lehernya membuat ia tidak mudah menolehkan kepala. Sehingga lelaki itu hanya bisa melirikkan matanya ke arah samping dengan kaku, dan mendapati Margaret yang tersenyum pucat.

"Margaret..." Suara Morgan parau, karena baru saja sadar. Morgan merasa sangat bersyukur dan terharu mengetahui Margaret telah bangun. Itu berarti kekhawatirannya sebelumnya tidak terjadi.

Setelah dikonfirmasi hanya mengalami patah tulang leher, Morgan harus menggunakan penyangga leher ini sepanjang hari. Sementara Margaret merasa beruntung karena tidak ada bagian tubuhnya yang harus diamputasi, meskipun salah satu kakinya digips. Ini masih lebih baik.

Dua hari kemudian, mereka sudah bisa bangun dari tempat tidur walau tetap harus memakai gips. Namun, sampai saat itu, Margaret belum bertemu dengan orang tua mereka. Perawat mengatakan bahwa orang tua mereka dirawat di ruangan terpisah, tanpa memberikan detail kondisinya, mungkin karena etiket pekerjaan untuk tidak menjelaskannya pada orang yang sedang sakit.

"Kak, kita harus mencari ayah dan ibu," pinta Margaret. Dia terlihat duduk di kursi roda dengan sebelah kaki lurus. Kursi rodanya didorong perlahan oleh Morgan yang berjalan di belakang. Mereka menyusuri bangsal kamar rawat.

"Kita akan ke sana menemui mereka," sahut Morgan.

"Kau tahu ruangan mereka dirawat?" tanya Margaret penuh harap.

"Ya," jawab Morgan sambil berhenti di depan pintu ICU. Margaret bingung tapi Morgan menjawabnya sebelum bertanya lagi. "Di balik pintu ini, mereka dirawat," tambah Morgan.

"ICU?" Hati Margaret mencelos, meski tidak banyak mengetahui tentang ruangan tersebut, dia sadar bahwa pasien di ICU pasti dalam kondisi yang lebih serius dibandingkan pasien di kamar biasa.

Margaret syok. Dia jadi penasaran mengenai kecelakaan mobil mereka. "Kecelakaan mobil kita seberapa parah sebenarnya?" Margaret belum tahu, lalu Morgan menceritakan kejadiannya. Margaret hanya diam, dan tak berkata-kata lagi. Perasaannya menjadi sesak. Dia belum siap kehilangan kedua orang tuanya sekaligus.

"Kakak, apakah setelah ini hanya tersisa kita berdua? Aku tidak mau," gumam Margaret merengek sedih.

"Berdoa saja semoga mereka cepat terbangun. Dan kalau pun hanya kita berdua, aku akan menjadi ayah dan ibu untuk dirimu," ujar Morgan. Lalu Morgan mengintip ke dalam ruangan itu melalui jendela kecil di pintu. Ada empat deret ranjang di dalamnya, namun betapa ia terkejut melihat hanya ada ibunya saja yang terbaring di sana.

Morgan gelisah, berbalik badan mencari jawaban. Kebetulan seorang perawat melewati mereka. Morgan cepat bertanya pada perawat itu tentang pasien ruang ICU khusunya ayahnya. Dan jawaban perawat itu terdengar melegakan hati mereka, bahwa ayah kini sudah dipindahkan ke ruang rawat.

Mereka lantas terburu-buru menuju ruang rawat ayah. Sampai di sana, mereka benar melihat pria paruh baya itu sedang duduk melamun di ranjang dengan selimut menutupi kakinya. Ketika menyadari keberadaan mereka, raut sendu ayah langsung berubah ceria.

"Morgan! Margaret!" seru ayah merasa haru.

Morgan kemudian mendorong kursi roda Margaret dan berhenti di dekat ranjang ayahnya. "Ayah, bagaimana kabar ayah? Apa ayah terluka parah?" Margaret memberondong pertanyaan dengan khawatir.

"Kalian..." Ayah melihat dua anaknya kaget. Air matanya menggenang seketika di pelupuk mata. Sebagai seorang ayah, dia merasa sedih dengan kondisi kedua anaknya seperti itu.

"Margaret, Morgan..." Suara lain muncul. Mereka semua menoleh dan yang datang di pintu adalah bibi Amy bersama suaminya. "Aku dapat kabar dari rumah sakit kalau kalian masuk rumah sakit, jadi aku datang sebagai wali," ujar bibi Amy. Semakin kaget begitu melihat keadaan dua ponakannya yang di gips.

***

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now