Bab 60 - Diculik

153 20 6
                                    

Terlalu mengejutkan bagi Margaret melihat Morgan di sini. Bahkan mengetahui pria itu sengaja menemuinya adalah sesuatu di luar dugaan. Sampai-sampai membuat Margaret terpaku dalam kebingungan yang tak tersampaikan lewat kata-kata. Dia hanya menatap Morgan yang berdiri di sana dengan tatapan sejuta makna. Sementara otaknya seakan tidak bisa membedakan kenyataan dan imajinasi, karena sudah begitu lama mereka berpisah tanpa kabar.

Dalam keheningan yang merayap, detak kerinduan di dalam dada masih terasa menyergap. Margaret merasa dihempaskan ke masa lalu ketika melihat Morgan saat ini. Kenangan indah tentang mereka berdua langsung membanjiri pikirannya, menenggelamkan Margaret dalam luka yang dalam. Margaret mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Morgan hampir tidak mengenali gadis di hadapannya. Karena penampilan Margaret jauh berbeda dari terakhir kali dia lihat. Dulu Margaret memiliki rambut yang panjang, tetapi sekarang gadis itu telah memotong rambutnya menjadi lebih pendek sebahu. Gaya pakaiannya yang formal, ditambah dengan riasan di wajahnya yang mempertegas penampilan Margaret seperti wanita karir yang mandiri. Morgan tidak lagi melihat kesan girly yang lucu manis manja, pada diri Margaret saat ini.

Morgan merasa pangling. Namun, dalam dada Morgan, api rindu yang tak terpadamkan berkobar-kobar, memuncak dalam satu langkah mantap menuju Margaret, dan dalam kehangatan pelukannya, ia berusaha menyatukan kembali jalinan yang terputus itu. Namun, Margaret, dengan lembut dan tegas, menghindar, menorehkan kesedihan yang dalam di wajah Morgan, seolah memisahkan mereka dengan jarak yang tak terjembatani.

"Kenapa kau ada di sini?" Margaret bicara duluan dengan suara dingin dan ekspresi datar.

"Margaret." Morgan tidak hanya terkejut dengan penolakan barusan, tapi juga hatinya menjadi sesak seakan dipenuhi bebatuan yang tajam di relung jiwanya. "Kita harus bicara," tegas Morgan, tercermin pada sinar matanya.

"Apa lagi yang ingin dibicarakan?" sahut Margaret dingin.

"Kau pergi tanpa pamit, apakah itu sikap yang sopan pada keluargamu?" Morgan mulai memarahi, namun tersirat kekhawatiran. Dia sangat khawatir pada Margaret lantaran tidak ada kabar selama setahun lebih.

Margaret merotasikan matanya jengah. "Kau ingin aku melakukan apa?" tanya Margaret sama sekali tidak menyangkal.

"Tidak ada. Kau tidak perlu melakukan apapun. Sekarang ikut denganku!" Morgan menarik tangan Margaret secara paksa. Margaret menahan langkah, membuat Morgan berhenti dan kembali menatapnya.

"Aku masih ada acara di sini. Kalau tidak penting tidak perlu menarikku," kata Margaret sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Morgan dari pergelangan.

"Aku tahu kau tidak suka dengan mereka yang mengerumunimu seperti semut. Kau harus bersyukur karena aku membawamu keluar dari situasi itu." Morgan kembali menarik tangan Margaret. Tetapi lagi-lagi Margaret menahan diri.

"Katakan, kemana kita akan pergi?" desak Margaret.

"Ke rumah sakit. Ibu sangat ingin bertemu denganmu."

Margaret terlihat tidak menunjukkan reaksi apapun. Mengundang kecurigaan di benak Morgan yang lantas bertanya. "Sepertinya kau sudah tahu kabar ibu sakit. Kemana saja dirimu sampai ibu merindukanmu selama di rumah sakit?" Morgan mengomel lagi.

"Aku sudah menjenguknya hampir setiap hari ke rumah sakit," ungkap Margaret saat pergelangannya masih digenggam.

"Kita bicara di mobil," kata Morgan pendek. Margaret tidak menolak dan mengikuti kemauan kakaknya. Mereka masuk ke dalam mobil, memasang sabuk pengaman lalu menjalankan mesinnya.

"Sejak kapan kau kembali ke tanah air?" tanya Morgan.

"Baru-baru ini."

"Kau belum menjawab pertanyaan pertamaku. Kenapa kau pergi tanpa pamit dan seolah memutus kontak dari keluarga, terutama diriku?" Morgan sebenarnya dapat menebak alasannya tetapi dia ingin mendengar langsung dari mulut Margaret.

"Aku kecewa pada diriku sendiri. Jadi aku pergi ke luar negeri dan belajar melukis di sana bersama orang profesional," jawab Margaret dengan ekspresi datar. Padahal dalam hatinya sedang mempertahankan getaran menyakitkan yang dipendam kuat-kuat.

"Bagaimana kabar kalian?" Margaret melempar tanya. Jelas merujuk pada hubungan pernikahan kakaknya.

"Yah, semua baik dan berjalan dengan normal." Morgan bingung bagaimana harus menjawabnya. Sebab dia sendiri tidak mencintai Jessica, sedangkan Margaret tidak mengetahui alasannya menikah.

"Baguslah."

"Apakah rumor itu benar? Kau akan menikah?" Morgan tanyakan ini dengan tenggorokan yang tercekat. Namun dia tetap terlihat tenang sambil menatap ke jalan raya.

"Rumor hanyalah asumsi yang bisa benar bisa juga salah," kata Margaret. Membingungkan Morgan yang penasaran.

Tapi Morgan tak melanjutkan pertanyaannya. Mobil mereka kemudian berbelok masuk ke basemen parkiran di rumah sakit. Morgan benar-benar membawa Margaret ke hadapan ibu mereka.

Seketika ekspresi ibu terkejut melihat kedatangan Margaret di depan matanya. Rasa haru memenuhi matanya yang berkaca-kaca. "Margaret!" Dia mengulurkan tangannya dan disambut Margaret yang langsung memeluk.

"Ibu, kenapa ibu harus masuk rumah sakit?" Margaret peluk dengan erat tubuh lemah ibunya.

"Karena kau yang tidak pulang-pulang, Ibu merindukanmu sampai harus dirawat di rumah sakit."

Pulangnya Margaret ke hadapan mereka seolah menjadi reuni keluarga. Perasaan hangat merasuk ke dalam dada Morgan melihat dua wanita itu. Tapi kemudian Morgan segera pamit karena tuntutan pekerjaan.

Pria itu pergi dari ruang rawat ibunya, sementara Margaret mengobrol banyak dengan sang ibu tentang kegiatannya di luar negeri.

Tak terasa malam semakin larut, ibunya mengantuk dan tertidur di jam sembilan malam, membuat Margaret harus pergi untuk istirahat. Namun saat tiba di lobi rumah sakit, hujan turun dengan deras, seakan menahan Margaret untuk keluar.

"Ya ampun, aku tidak bawa payung," gumam Margaret menghela napas.

"Ayo kita pulang." Tiba-tiba suara Morgan terdengar dari belakang. Margaret menoleh, tampak kakaknya telah berganti pakaian dari yang sebelumnya memakai jas putih sekarang hanya kemeja semi formal.

"Aku tidak pulang ke rumah," kata Margaret.

Morgan mengeryit heran. "Kau tinggal di mana?"

"Apartemen bersama teman," jawab Margaret.

Morgan mengangguk. "Kenapa tidak pulang ke rumah?" tanya Morgan lagi.

"Aku akan pulang ke rumah kalau ibu sudah kembali ke rumah dengan sehat," ucap Margaret. Padahal alasan sebenarnya adalah karena Morgan. Jika dirinya pulang dan tidur di kamar mereka, itu akan membangkitkan kenangan masa lalu, lantas menyiksa batin Margaret yang berusaha untuk move on. Walau sampai detik ini dirinya merasa belum bisa melupakan perasaan untuk kakaknya.

"Kau benar. Rumah sepi dan ibu kesepian sejak kau pergi," kata Morgan. "Di mana apartemenmu?"

"Jl. Orchid nomor 9 apartemen Greenpeace." Margaret menyebutkan alamat gedung apartemen dirinya menumpang pada Ronald.

Seketika Morgan mengeremkan laju mobilnya. Margaret menatapnya dengan kaget. Lalu Morgan membelokkan setirnya ke jalan lain.

Margaret bertanya. "Kita pergi kemana? Arah ke apartemenku bukan melalui jalan ini!"

"Kita pulang ke tempatku," kata Morgan. Dia tak menjelaskan alasannya. Tetapi ekspresinya terlihat marah.

Margaret pikir dirinya akan dibawa ke tempat tinggal kakaknya dan Jessica. Namun dugaannya salah ketika Morgan membawanya ke gedung hotel.

Pria itu menarik tangannya masuk ke lift tanpa melepaskan genggaman. Margaret mencoba menjauh tapi sulit, seolah-olah Morgan tak mau melepaskannya.

"Bisakah kau lepaskan aku?" kesal Margaret.

"Tidak akan," tegas Morgan. Begitu pintu lift terbuka, Morgan menyeretnya menuju pintu kamar di lorong hotel.

Margaret hanya bisa mengikuti langkahnya dengan terburu-buru. Lalu Morgan menutup pintu dan menyudutkan Margaret ke tembok. Margaret terkejut.

"Kau tinggal bersama Ronald?" Nada Morgan terdengar melirih seakan kecewa.

"Kalau benar, apa itu masalah?" sahut Margaret menantang pertanyaan pria itu.

"Tentu saja masalah!" bentak Morgan.

***

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now