Bab 57 - She's Gone

146 19 2
                                    

Flashback 2.

Morgan tidak bereaksi karena saking syoknya mendengar semua cerita itu dari Albert. Butuh beberapa saat bagi Morgan untuk meresponnya. "Kenapa ayah melakukan hal itu padaku? Kenapa ayah membohongiku?" Tersirat jelas kekecewaan dalam suaranya yang bertanya.

"Maaf, Mogan." Albert hanya bisa menunduk. Dia tidak bisa mengelak dan mengakui semuanya dengan jujur walau harus melukai harga dirinya sebagai pria sekaligus ayah.

"Selama ini aku berpikir kalau ayah memang bekerja di perusahaan dengan jabatan bagus dan memiliki penghasilan yang lebih dari layak. Ternyata aku salah mengira. Jangan khawatir ayah, ini bukan sepenuhnya salah ayah."

Morgan menyadari hubungannya dengan ayah tidak sedekat sahabat, membuat dia hampir tidak tertarik dengan kehidupan pribadi beliau termasuk dengan pekerjaannya. Karena Morgan tidak pernah bertanya apapun pada ayahnya.

"Aku tidak lolos dalam seleksi beasiswa di sini. Inilah yang menyebabkan diriku berada dalam situasi seperti ini. Aku bodoh," ucap Morgan merenungi diri.

"Kau tidak bodoh, Nak. Sudah sampai pada titik ini saja kau hebat. Kau lebih hebat dariku. Ayah bangga padamu. Tapi karena kekurangan ayah, kau jadi seperti ini." Albert sepenuhnya sadar dan tahu bahwa jika saja dirinya tidak berselingkuh dengan Laurent, mungkin mereka tidak akan terjebak dalam keadaan dengan keuangan yang terpuruk.

Taoi tidak salah juga, karena dengan menjalin hubungan bersama Laurent, dirinya sebagai ayah masih bisa memenuhi nafkah pada anak, khususnya Morgan. Karena Albert sangat mendukung cita-cita putera kesayangannya.

"Aku bertanya-tanya, kenapa ayah masih betah bersama wanita itu? Apakah ayah sungguh mencintainya sampai bertahan sejauh ini?" kata Morgan penasaran.

"Ya, aku mencintainya," jawab Alber tanpa ragu.

"Kalau begitu, tidak mungkin bagiku dan Jessica bisa menikah," simpul Morgan.

"Kami tidak berniat untuk menikah. Bisa hidup bersama tanpa status pernikahan saja sudah cukup," ujar Albert.

Morgan menarik napas. Dia berpikir. "Aku akan mengembalikan semua uang itu setelah aku bekerja nanti."

"Tidak bisa." Albert memotong. "Dia tidak ingin menunggu. Kalau kita tidak melunasinya dalam beberapa hari, kau harus menikah dengan puterinya. Lagipula, apa kurangnya Jessica di matamu? Dia wanita yang anggun dan cantik, punya pekerjaan bagus dan lulusan dari universitas terbaik."

"Ayah benar tentang Jessica. Karena itu masih banyak pria lain yang bersedia menikah dengannya daripada aku yang belum memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan. Masa depanku masih panjang," ucap Morgan.

"Jadi bagaimana kesimpulannya? Apa kau mau menerima pernikahan itu atau membayar semua biaya itu dalam hitungan hari?"

Morgan memakai logikanya. Morgan bisa saja mengambil pinjama ke bank tapi masalahnya dia tidak memiliki jaminan yang senilai dengan biaya pinjaman tersebut. Sertifikat rumah? Oh tidak. Morgan takkan pernah menggadaikan satu-satunya harta keluarga mereka. Kasihan adik dan ibunya di sana nanti. Terlebih jika dirinya gagal bayar hutang, bisa-bisa mereka sekeluarga terusir dan menjadi gelandangan.

Ini pilihan yang sulit. Morgan menghela napas. "Baiklah, aku akan menerima pernikahan itu. Aku akan bicara pada Jessica untuk kesepakatan bersama," kata Morgan.

***

"Jessica..." Morgan menatap khawatir. " Apa kau makan dengan baik?" Di matanya, wanita itu terlihat lebih kurus sejak terakhir kali bertemu.

"Ya. Aku baik-baik saja." Jessica menjawab bohong. "Kenapa kau memintaku bertemu?" tanyanya.

"Aku pikir tidak ada salahnya untuk menikah denganmu," pungkas Morgan. Jessica membulatkan matanya kaget. "Kau sudah lama kukenal, dan aku terlalu malas untuk mengenal orang baru lagi," tambah Morgan.

"Apa kau serius?" Jessica tidak menyangka.

"Ya. Ayo kita menikah setelah aku lulus dari sini dan kembali ke Inggris," ujar Morgan. Berhasil membuat Jessica bersemu senang.

"Aku akan menunggu." Senyum tulus tercipta di wajah Jessica.

Morgan menghela napas. Ini berat untuknya yang tidak mencintai Jessica. Dia memikirkan Margaret di rumah. Adiknya pasti sangat syok mendengar keputusannya menikah dengan orang lain.

Ketika akhirnya dia menginjakkan kaki di bandara internasional London, untuk pertama kalinya Morgan merasa menarik napas itu berat. Dia memaksakan langkahnya bergerak maju. Mau tak mau dia harus memberi tahu kabar pernikahan ini pada Margaret.

Tiba di rumah, kedatangannya mengejutkan Margaret. Morgan terharu melihat gadis itu melukis dirinya. Mereka kemudian saling membagi kerinduan bersama keluarga. Hingga mencurahkan segala perasaannya pada Margaret dalam aktivitas malam yang telah lama terpisah. Saat itu, Morgan merasa berat hati. Dia tidak rela melepaskan Margaret untuk pernikahan yang tak diinginkan.

Flashback end.

***

Margaret mengemasi pakaiannya ke koper sebelum Morgan pulang ke rumah. Dia tampak terburu-buru untuk pergi. Kemudian pamit dengan ibunya untuk alasan pekerjaan di luar kota. Ibu mengizinkan tanpa curiga.

"Jaga diri ibu baik-baik," kata Margaret.

"Bagaimana dengan pernikahan kakakmu? Apa kau akan datang?" tanya ibu.

"Aku akan kembali setelah semua selesai," ucap Margaret memeluk sang ibu untuk terakhir kali sebelum menarik koper dan keluar dari rumah.

Di depan rumah sudah ada mobil menunggunya. Margaret memasukkan koper itu ke bagasi mobil lalu duduk di samping kursi pengemudi. Dalam waktu singkat mobil itu melaju pergi. Bertepatan dengan setibanya Morgan di rumah, dan hanya melihat mobil itu berlalu begitu saja.

"Ibu, aku pulang!" ujarnya sambil menenteng tas belanja berisi banyak makanan.

"Apa kau bertemu dengan Margaret di jalan?" tanya ibu.

Morgan mengeryit. "Memangnya Margaret pergi kemana?" tanyanya.

"Loh, kupikir kau sudah tahu. Margaret barusan pergi untuk urusan pekerjaan," kata ibu menjawab dengan santai.

Morgan merasan aneh. Dia langsung membuka kamar dan tidak mendapati Margaret di dalam, termasuk dengan isi lemarinya yang kosong. Morgan terkejut sekaligus cemas. Dia mengigit punggung tangannya yang mengepal sambil berpikir kemana kemungkinan Margaret pergi.

Morgan mencoba menghubungi nomornya tapi hanya suara operator yang menjawab. Morgan menduga nomor teleponnya sudah diganti. "Sial!" geram Morgan menggertakkan rahangnya. Hampir saja melempar ponselnya ke dinding.

"Margaret, kau pergi kemana? Aku tahu kau kecewa dan marah," gumam Morgan terlihat frustasi.

Sementara itu, mobil yang membawa Margaret berhenti di bandara. Sebelum turun dari mobil, Margaret terdiam melamun.

"Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Ronald di sampingnya.

"Ini pilihanku. Aku tidak bisa berada di sini dan melihat rumah tangga mereka yang bahagia. Dengan aku pergi ke luar negeri, mungkin aku bisa melupakan tentang kakakku dan menemukan cinta sejati di sana," ujar Margaret berat hati, napasnya tercekat dan berusaha menahan air mata agar tidak jatuh.

Ronald menghela napas dengan tenang. Dia sudah tahu permasalahan Margaret setelah gadis itu bercerita di apartemennya tadi.

"Margaret, jika kau butuh bantuan, beritahu aku," kata Ronald. Saat ini dia tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan Margaret menenangkan diri.

"Aku sudah membuang nomor teleponku di tempat sampah. Kirim via email saja," ujar Margaret.

"Terima kasih, Ronald." Margaret menatapnya dan tersenyum tulus.

"Aku akan menemuimu di sana kapan-kapan," kata Ronald. Margaret mengangguk, kemudian membuka pintu mobil dan melangkah turun.

"Jangan beritahukan pada siapapun tentang keberadaanku. Kau sudah berjanji untuk hal itu saat aku ceritakan semua," ucap Margaret menatap tajam pada Ronald sebelum menutup pintu mobil. Marga menyeret kopernya masuk ke gedung bandara.

***

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now