Bab 5 - Bagaimana Jika Nanti

1K 47 12
                                    

"Kakak?"

"Hm?"

"Apa yang kakak lakukan?" Margaret bertanya, kepalanya menunduk dengan rambut menutupi wajah.

"Apa kau gugup?"

Margaret tertegun. Tebakannya benar, tapi ia tidak mau mengakui itu. "Apa maksudmu?"

Morgan menyeringai di belakangnya. Ia mendekatkan tubuhnya pada Margaret, sedikit membungkuk saat berbisik di telinganya. "Kau membaca buku dengan terbalik." Seketika telinga Margaret memerah. Morgan menatap puas pada perubahan tersebut, sementara Margaret terkejut menyadari ada yang salah.

"I-ini... aku hanya sedang banyak pikiran!" Bohong Margaret, memendam malu.

"Apakah kau memikirkan diriku?" Goda Morgan.

"T-tidak! Tentu saja tidak. Aku khawatir dengan nilai ujianku nanti." Margaret terpaksa berbohong lagi.

"Benarkah?" Morgan belum puas. Jelas-jelas ia melihat telinga Margaret memerah, yang menandakan adiknya sedang malu. "Berbohong padaku, siap menerima konsekuensi."

Suara Morgan berembus serak di daun telinganya dan membuat Margaret merasakan desiran aneh di dalam tubuh. Margaret mengepalkan tangan, bingung, dengan reaksi tubuhnya terhadap sang kakak.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan ibu melongok masuk, melihat dua anaknya. Morgan sudah mengenakan kaosnya, sedangkan Margaret masih duduk di kursi. "Makan malam," ujar sang ibu singkat, kemudian pergi.

Morgan menyusul sembari mengusap kepala Margaret, matanya melirik dengan seringai jahil di bibir.

***

Jarang sekali mereka bisa makan malam bersama di rumah. Empat anggota keluarga itu makan dengan tenang, sambil sesekali membahas sekolah anak-anak.

"Apa kau sudah menentukan universitas yang kau pilih?" Ayahnya bertanya.

"Aku ada tiga pilihan universitas bagus, ayah. Aku akan masuk ke salah satunya jika di tempat lain tidak diterima."

"Kak aku mau botol kecapnya," pinta Margaret yang duduk bersebelahan. Sebab botol kecap itu berada di sisi lain Morgan, sulit dijangkau tangan Margaret sendiri.

"Tidak mungkin kau ditolak universitas bagus," ujar ibu.

Morgan mengambilkan botol kecap itu diserahkan pada Margaret. Tangan mereka yang bersentuhan seketika membuat Margaret bak tersengat listrik, kaget. Tak sengaja pun botolnya tergelincir dari tangannya.

Mata Morgan melirik tepat ke sampingnya, memperhatikan sikap Margaret yang salah tingkah. Lalu samar-samar ia menarik sudut bibirnya dengan senyuman miring. Kilat misterius terlihat di matanya.

Seusai makan malam bersama, Margaret yang sedang membasuh muka di kamar mandi, melihat Morgan masuk, langsung buru-buru menyelesaikannya. Kemudian berlalu pergi melewati Morgan dengan acuh. Jelas sekali gadis itu seolah sedang menghindari sesuatu-Morgan.

Ketika Morgan keluar dari kamar mandi, dia mendapati Margaret sudah berbaring miring menghadap tembok, menutupi tubuh dengan selimut. Morgan lantas mematikan lampu kamar.

"Apa kau sungguh sudah tidur? Tumben tidak belajar?" celetuk Morgan. Tapi tidak ada respon dari Margaret.

Morgan menghela napas. Padahal ia tahu kalau Margaret tidak benar-benar tidur. Jam segini gadis itu biasanya masih melek. Sebab belum larut malam.

"Aku tidak tahu kenapa sikapmu aneh belakangan ini," kata Morgan, bicara sendiri. "Baiklah, selamat tidur, adikku sayang."

Tanpa lelaki itu ketahui, ucapan akhir katanya memberikan efek menyakitkan di hari Margaret. Adik. Seolah-olah mengenaskan Margaret bahwa mereka memang saudara. Diam-diam Margaret meremas selimut di dadanya, dan merasa panggilan itu terdengar buruk.

***

Jessica dijahili beberapa laki-laki di siang weekend. Ia takut dan ingin kabur. Tetapi malah terkepung oleh mereka yang semakin nekat menggodanya.

"Selangkah lagi, akan kupastikan kalian patah tulang!" Ia mengancam, namun hanya terdengar angin lalu bagi tiga laki-laki itu yang terkekeh meremehkan.

"Hey, kalian menghalangi jalanku!" Suara tegas membuyarkan mereka.

Mereka berbalik dan dari pandangan Jessica mendapati Morgan di depannya. Tidak ada ekspresi di wajah tampan Morgan. Lelaki itu menatapnya datar, sambil membawa kantong kresek dari minimarket.

"Silakan pergi, tuan muda..." Salah satu lelaki di sana mengoloknya. Tapi Morgan tidak bereaksi, selain melanjutkan langkah dan melewati Jessica yang mematung.

Saat itu juga Jessica tidak mau membuang kesempatan kecil. Dia memutar tumitnya, berniat mengikuti Morgan agar selamat dari hadangan orang jahil itu.

Tapi Jessica tertahan. "Mau apa kalian? Kalau mau uang, aku akan kuberikan." Jessica ingin sekali berteriak. Tapi rasa takutnya memendam suaranya.

"Wah, si manis ini merendahkan kita. Kau pikir kami miskin?" Mereka tersinggung, lalu mengangkat tangannya, sontak Jessica terpejam erat. Setelah beberapa saat dia tidak merasakan apapun pada tubuhnya. Begitu membuka mata, dia melihat kehadiran Morgan mencengkram tangan laki-laki iseng itu.

Tampaknya cengkraman Morgan sangat kuat, karena dapat dilihat ekspresi orang jahil itu meringis kesakitan. Tapi masalah ini tidak berakhir, ketika temannya tiba-tiba menghajar Morgan.

Morgan berkelit mudah, membuat lawan tersungkur sendiri, lalu menarik kerah belakang bajunya, menarik tangannya ke belakang dan menjatuhkan lawan ke tanah seraya menindih punggung. Persis seperti adegan polisi saat mengamankan tersangka.

Kurang dari limat menit, Morgan mampu menyelesaikan ketiga lawannya dengan cepat. Kini mereka terkapar di tanah. Semua adegan yang Morgan lakukan, terlihat memukau di pandangan Jessica.

Jessica terharu sekaligus terpana.

"Anu, terima kasih..." Hanya kata ini yang mampu keluar dari mulut Jessica.

Morgan meliriknya singkat, ia tak mengatakan apapun padanya, dan kemudian pergi dengan acuh.

Jessica memandanginya kagum. Perasaannya berdebar-debar. Aksi Morgan yang terlihat gentleman membuat Jessica menyukainya pada pandangan pertama.

***

"Kakak dari mana tadi? Aku di sini!" Margaret cemberut ketika akhirnya melihat kakaknya datang dari arah lain.

"Aku beli teh kaleng untukmu," ujar Morgan memberikan kresek kecil itu.

Margaret mengambilnya, mengeluarkan softdrink rasa matcha. Wajahnya semringah senang. "Apa hanya ada satu?" tanya Margaret. Dia pikir kakaknya beli dua untuk mereka nikmati bersama.

"Kebetulan minuman rasa matcha tersisa satu di etalase. Ayo kembali ke rumah." Morgan suka softdrink, terutama yang rasa matcha. Tidak berbeda juga dari Margaret.

Mereka berjalan berdua, sambil Margaret membuka minuman kalengnya. Ia teguk sebentar minuman itu, tapi dinginnya bulan februari membuat ia terus menggosokkan telapak tangan pada mantel.

"Kenapa kau keluar rumah tidak memakai sarung tangan?" Morgan mengeryit tak suka, lalu ia menyematkan jemarinya ke jari kiri Margaret, menggenggamnya erat ke dalam saku mantel.

"Aku lupa." Margaret tersenyum polos, dibalas dengusan kalem Morgan.

"Andai saja hari ini musim semi, pasti pemandangan dari sini terlihat jauh lebih indah," komentar Margaret. Salju masih menumpuk di mana-mana walau tidak setebal bulan lalu. Setidaknya jalanan bersih dari salju.

"Ya. Saking dinginnya membuat pipimu memerah," sindir Morgan.

Margaret menegang kaget. "A-apa? Kenapa wajahku memerah?"

Tiba-tiba saja Morgan berhenti. Mereka berdiri di tengah trotoar lengang di siang hari. "Margaret..." Satu tangan Morgan yang kosong membingkai pipi adiknya, dan dapat Margaret rasakan telapak tangan kakaknya terasa lembut bak kapas.

"Bagaimana kalau suatu hari nanti kita melanggar moral?" sambung Morgan, sembari mengelus pelan pipi halus Margaret. Tatapannya sendu menatap Margaret.

Margaret merasakan kejanggalan pada kalimat tersebut. "Apa maksud kakak?" Bibir Margaret terbuka, ekspresinya menggambarkan ia tercengang namun bingung tak mengerti.

***



Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now