Bab 18 - Stress

278 22 2
                                    

"Aku sudah lama memperhatikanmu. Aku menyukaimu. Apakah kau mau menjadi pacarku?"

Pemuda yang tak dikenal tiba-tiba menyatakan perasaannya pada Margaret. Namun, Margaret menolaknya dengan tegas. Meskipun begitu, pemuda itu tetap menghalangi jalannya dan menunjukkan niat buruk. "Kau terlalu sombong," katanya, sambil menatap Margaret dengan penuh ancaman. Dua pemuda lain muncul, memblokir jalan Margaret dari depan dan belakang.

Margaret merasa dijebak dengan datang ke tempat ini. Sesaat ia menyesali keputusannya datang sendirian ke sini, sedangkan situasi sekitar sepi, meskipun masih jam istirahat. Karena sebelah kanan dan kirinya hanya ada tembok. Margaret tidak bisa menemukan celah untuk melarikan diri dari kepungan mereka.

"Jadi gadis cantik harusnya tidak sombong, nona. Kenapa kau jual mahal sekali? Apa yang kurang dariku? Apa karena aku jelek?" Pemuda itu maju, Margaret mundur pincang sampai terpojok ke tembok pembatas sekolah. "Kau bahkan sudah cacat tapi masih saja sombong," ejek pemuda itu melihat kaki Margaret yang berdiri dengan bantuan kruk.

"Kau mau apa!" bentak Margaret. Dia jelas ketakutan tapi berusaha tetap berani menantang. Bahkan ia siap untuk melawan mereka jika dirinya sampai disentuh secara kurang ajar. "Sekali kalian mendekat, aku laporkan pada guru!" Namun, ancaman Margaret hanya angin lalu bagi mereka yang meremehkan.

"Woy, apa yang kalian lakukan kepadanya?" Suara berat bernada tenang, terdengar dari belakang mereka. Margaret dapat melihatnya, bahwa di sana telah berdiri sosok Ronald dengan kemeja urakan dan satu tangan di dalam saku celana panjang.

"Pergi, atau aku hajar di sini?" tantang Ronald berani. Tentu saja ketiga pemuda itu meladeni tantangan Ronald, sehingga terjadi perkelahian antar satu lawan tiga. Kendati kalah jumlah, Ronald mampu menumbangkan ketiganya, dan membuat mereka menyerah lantas berlari kabur.

Aksi heroik yang disaksikan langsung oleh kedua mata Margaret, berhasil mengubah pandangan Margaret pada Ronald menjadi sedikit mengaguminya. Margaret terkesan pada kebaikan sikap Ronald, meskipun hubungan pertemanan mereka sedang renggang dan canggung.

Ronald menepuk lengannya seolah menyingkirkan debu di sana, kemudian matanya menatap pada Margaret yang masih bergeming di tempat. "Apa kau baik-baik saja? Mereka itu terkenal usil dari kelas paling bawah," kata Ronald.

"Terima kasih sudah menolongku," ucap Margaret. Tidak disangka kalau lelaki itu masih punya kepedulian untuk menolongnya. Situasi tadi sungguh membuat Margaret nyaris trauma, tapi beruntung hal buruk yang dibayangkannya tidak terjadi. Margaret merasa sangat lega sekaligus bersyukur. Sekarang ia jadi merasa punya hutang budi Ronald.

"Jangan berharap aku akan membalasmu tentang hari ini," tambah Margaret, tentu ia gengsi untuk balas budi. "Terima kasih saja sudah cukup kan? Aku ke kelas." Sikap gadis itu telah berubah dingin hanya pada Ronald, sejak kejadian di perpustakaan itu. Margaret yang dulu ramah pada Ronald, kini menyapanya saja tidak mungkin. Dia menjaga jarak dari lelaki itu.

"Tunggu," ujar Ronald cepat. Langkah Margaret terhenti seketika. "Apa kau membenciku?" tanya lelaki itu.

Margaret tidak berbalik badan. Dia tegap berdiri dengan ekspresi angkuh membelakangi Ronald.

"Kemarin aku sebenarnya ingin minta maaf padamu, tapi kakakmu memisahkanku. Sehingga aku sulit bagiku untuk bisa bicara empat mata denganmu." Ronald diam sejenak. "Aku minta maaf jika perbuatanku waktu itu salah," ucap Ronald dengan suara rendah.

Margaret kemudian memutar tumitnya dan menatap Ronald yang sedang menundukkan kepalanya, tampak menyesali. Di satu sisi Margaret merasa lega mendengar permintaan maaf tersebut, tapi di lain sisi ciuman itu tidak bisa mengembalikan kesucian bibirnya.

"Aku kecewa padamu. Aku pikir kau temanku yang baik. Baiklah, aku menghargai permintaan maafmu. Tapi jangan harap hubungan pertemanan kita akan kembali seperti biasanya, meskipun aku tidak lagi membencimu," tegas Margaret mutlak. Setelah puas mengungkapkan isi hatinya, ia melenggang pergi dengan langkah pincang dan ekspresi dingin, sementara Ronald mematung sambil mengepalkan tangannya.

Ronald pergi menemui ketiga pemuda tadi, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. Diberikan pada mereka. "Ingat, kita tidak saling kenal setelah ini," ucap Ronald. Ternyata membuat Margaret berada dalam posisi terancam tadi, memang sudah masuk dan skenario Ronald dengan menyewa mereka, sehingga ia datang sebagai pahlawan untuk menarik perhatian Margaret.

Walau berakhir dengan mendapat sikap dingin dari gadis itu, Ronald tidak ingin menyerah untuk mewujudkan obsesinya terhadap Margaret. Seperti kata pepatah, perlahan tapi pasti, ia takkan melepaskan target sampai benar-benar telah ia genggam dengan tangannya sendiri nanti.

***

"Adikmu itu cantik sekali, pantas banyak yang menyukainya. Entah sekarang sudah ada berapa laki-laki yang menyatakan cintanya dengan berani," celetuk Devon. Dia dan Morgan duduk bersebelahan di meja kelas.

Fokus Morgan jadi terpecah dari buku pelajaran yang sedang dipelajarinya mandiri, karena Devon bicara padanya membahas tentang Margaret. Maka tidak mungkin bagi Morgan mengabaikan ucapan Devon. Morgan mengangkat wajahnya yang menunduk, kini menoleh menatap Devon tidak suka.

"Apa maksudmu?" tanya Morgan. "Apa kau tertarik pada adikku?" tuduhnya.

"Kurasa tidak buruk juga," canda Devon. Morgan memelotot. Devon langsung mengoreksi perkataannya. "Tadi aku dengar adikmu sedang bicara berdua dengan laki-laki ke belakang sekolah. Menurutmu untuk apa kalau bukan menyatakan perasaan pada adikmu?"

"Apa?" Entah itu pertanyaan atau kagetnya Morgan, yang jelas ia berdiri dari duduknya, kemudian keluar kelas buru-buru.

Sementara itu Margaret tak sengaja berpapasan dengan kakaknya di koridor kelas yang ramai. Hatinya senang ketika melihat Morgan di sini. Teringat dengan kejadian barusan yang membuat ia takut, seketika gadis itu memeluk pinggang Morgan tiba-tiba. Dan secara ajaib, pelukannya pada sang kakak berhasil mengusir jejak ketakutan di dalam benaknya atas hal tadi.

Tapi Morgan justru kebingungan dengan sikap Margaret yang mendadak memeluknya di depan umum begini, bahkan dilihat banyak orang yang berlalu lalang. Pelukan lengan Margaret terasa kuat, dan Morgan tidak berniat melepaskannya duluan. "Margaret, apa kau sakit?" tanya Morgan merasa heran.

Margaret hanya menggeleng di dadanya. Morgan pun membalas pelukan itu dengan lembut, sembari mengelus rambut panjang adiknya yang tergerai rapi di punggung. "Jika ada masalah, ceritakan padaku. Jika ada yang mengganggumu, beritahu aku siapa orangnya," kata Morgan, siap menjadi benteng pertahanan sang adik secara tulus.

"Aku baik-baik saja." Kemudian Margaret melepas pelukannya dan mundur selangkah untuk bisa menatap wajah Morgan. "Kenapa jam istirahat hari ini kau tidak ke kelasku?" tanya gadis itu.

"Aku mengerjakan tugas di kelas. Ada apa?"

Margaret menggeleng lagi, dia tersenyum. "Aku bosan di kelas. Jadi aku pergi ke suatu tempat dan hampir mendapat kesialan." Margaret menceritakan kronologi di belakang sekolah secara singkat, termasuk bagaimana dirinya ditolong Ronald di sana.

Morgan marah, urat lehernya muncul saat ia mengatupkan rahangnya dengan keras. Matanya memancarkan emosi negatif yang siap menyerang orang lain tanpa ampun. "Siapa nama mereka? Dari kelas mana?" Morgan berniat memberikan pelajaran pada ketiga pemuda lancang tersebut. Tetapi, Margaret menahannya untuk bertindak, dan berusaha meyakinkan Morgan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Sungguh, kak. Aku tidak terluka, dan mereka tidak menyentuhku sama sekali. Kalau saat itu tidak ada Ronald, mungkin aku sudah dilecehkan mereka." Meskipun gengsi mengakui jasa Ronald, Margaret tetap mengatakan apa adanya.

"Lain kali, jangan pernah pergi sendirian, pastikan kau harus bersama temanmu atau memanggilku untuk menemanimu kemana pun kau pergi," ucap Morgan serius.

"Iya. Aku akan lebih berhati-hati lagi," janji Margaret. Tepat setelah itu bel masuk berbunyi. Mau tidak mau mereka harus berpisah.

Morgan mengusap kepala Margaret dengan pandangan penuh kasihnya. "Pulang sekolah tunggu aku di depan," kata Morgan. Margaret mengangguk, lalu ia pamit masuk ke kelas dengan terus diperhatikan mata Morgan sampai melihat gadis itu duduk dengan tenang di kursinya, barulah ia berbalik pergi kembali ke ruang kelasnya yang berada jauh.

***

Margaret masuk ke kamarnya, mendadak ia punya ide iseng pada Morgan ketika melihatnya sedang fokus belajar. Dia melangkah pelan-pelan tanpa mengeluarkan suara langkah, sekalipun tongkat jalannya ia tekan perlahan di lantai, mendekati punggung Morgan, lalu menutup mata Morgan dari belakang.

"Margaret..." Morgan diam saja sambil memegang pena di atas meja.

"Berhentilah belajar untuk malam ini. Temani aku jalan-jalan di luar," pinta Margaret. Dia hanya sedang jenuh, karena tidak ada kerjaan yang menyibukkan. Bermain ponsel juga tidak bisa menghilangkan rasa bosannya. Ditambah lagi melihat kakak yang begitu serius belajar, membuat rasa jahilnya muncul untuk mengganggui Morgan.

"Malam semakin larut, dan di luar dingin. Kau tidur saja atau kerjakan tugas sekolahmu," kata Morgan.

Margaret manyun. "Aku belum mengantuk, dan tidak ada tugas sekolah yang harus aku kerjakan," balasnya. "Apa kau tidak bosan belajar dari pagi sampai malam? Apa sih yang kau kejar sampai serajin ini?"

"Aku harus belajar dan mendapatkan nilai bagus untuk masuk ke universitas terbaik," respon Morgan kalem, seraya menurunkan tangan Margaret dari matanya. Dia memutar kursi ke arah gadis itu, dan mereka berhadapan dengan Margaret yang berdiri di depannya.

"Universitas mana yang kau targetkan? Apakah di Oxford?" sahut Margaret.

"Itu salah satu tujuanku," ujar Morgan, tak memberi jawaban pasti.

"Kalau begitu aku akan menyusulmu di kampus barumu."

"Kau harus belajar dengan serius agar lulus seleksi. Apa kau siap?" tanya Morgan.

"Aku malas belajar terlalu keras. Itu membuatku jadi stress."

Tiba-tiba Morgan menarik tangan Margaret yang ia genggam. Seketika gadis itu hampir jatuh namun berpegangan cepat ke sandaran kursi dengan tubuh yang condong ke arah Morgan. Mereka bertatapan mata.

"Apakah tidak bisa kau gunakan aku sebagai pelampiasan stressmu?" kata Morgan, bertanya dalam harapan yang tersembunyi.

***









Cinta Tabu Si KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang