Bab 45 - Pantai

212 20 4
                                    

Flashback.

Di ruang kamar yang sunyi, suasana hangat sore yang biasanya menyenangkan di keluarga itu terasa terganggu. Ibu duduk di pinggir ranjang, wajahnya dipenuhi kekhawatiran saat ia menelusuri ponsel suaminya yang diletakkan di atas meja. Kedua matanya melebar ketika ia menemukan percakapan mesra antara suaminya dan seorang wanita yang tidak dikenalnya.

Wanita itu menyebut suaminya dengan sebutan mesra, dan kata-kata manis mereka terpampang jelas di layar ponsel. Ibu merasa dunianya hancur dalam sekejap. Tangannya gemetar saat ia meraba-raba ponsel itu, mencari bukti lebih lanjut yang mungkin bisa menghilangkan dugaannya.

Tiba-tiba, pintu terbuka dan ayah masuk. Wajahnya tampak terkejut ketika melihat istrinya yang memegang ponselnya dengan ekspresi marah yang tak tersembunyi.

"Apa yang kau lakukan?" tanya ibu dengan suara bergetar, matanya menatap tajam suaminya.

Ayah terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat, tetapi tak bisa menemukannya. "Ibu, ini bukan seperti yang kau kira," ucapnya dengan suara yang gemetar.

Ibu bangkit dari sofa dengan gerakan cepat, "Jangan berani-beraninya kau membela diri! Aku melihat semuanya di sini!" katanya sambil menunjuk layar ponsel yang menyimpan bukti-bukti pahit.

Perdebatan mereka memenuhi ruangan, teriakan dan celaan saling bertukar antara suami dan istri yang sedang berjuang dengan perasaan yang kacau. Air mata ibu mengalir deras, campur aduk antara kekecewaan dan amarah.

"Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan," akhirnya suami itu mengakui dengan suara yang penuh penyesalan. "Aku salah, tapi aku ingin memperbaikinya."

Namun kata-kata permintaan maaf itu tidak cukup untuk menghapus luka yang terasa begitu dalam dalam hati ibu. Pertengkaran itu berlanjut, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang menyakitkan, dihadapkan pada ketidakpastian akan masa depan hubungan mereka.

Flashback end.

***

Morgan dan Margaret tiba di rumah. Mereka disambut dengan aroma masakan yang lezat menggoda perut. Margaret langsung menghampiri ibunya di dapur. "Ibu masak apa? Enak sekali aromanya. Aku jadi lapar sekarang," ucap Margaret menghirup dalam aroma masakan itu.

"Masak untuk makan malam. Ganti dulu bajumu dan kerjakan PRmu, nanti ibu panggil jika masakannya sudah matang," kata ibu. Kemudian Margaret masuk ke kamarnya, menyusul Morgan yang sudah ada di dalam lebih dulu.

Gadis itu meletakkan tasnya ke kursi lalu duduk membuka laptop. Sebuah kalender disudut meja dia ambil untuk diamati. Terdapat lingkaran merah pada tanggal tertentu yang menandakan jadwal penting. "Bagaimana jika aku dapat nilai buruk untuk semester akhir? Apa aku mungkin tidak naik kelas?" Gumamnya melantur.

"Tidak mungkin," imbuh Morgan yang mendengar. "Kau murid yang rajin dan tidak membuat masalah serius di sekolah. Kenapa kau berpikiran begitu?"

"Karena belakangan ini aku tidak belajar dengan serius, bahkan di kelas pun aku sulit berkonsentrasi pada penjelasan guru," curhat Margaret.

Morgan yang duduk di sampingnya, menyerongkan tubuhnya dengan satu lengan bersandar pada meja, sementara tatapannya tertuju pada raut wajah Margaret yang murung. "Apa yang membebani pikiranmu?" Tanya Morgan. Dia raih dagu Margaret dengan lembut, memalingkannya agar bisa memperhstikan ekspresi muram adik tercintanya. "Berbagilah bebanmu padaku. Aku siap mendengarkan dan merasakannya," ucap Morgan dengan penuh perhatian.

Margaret menatap mata Morgan. Tatapannya seakan bicara bahwa Morgan lah alasan pikirannya terbebani. Tapi Margaret menahan ungkapan batinnya dan hanya menghela napas. "Ini bukan masalah besar. Aku mungkin hanya kurang liburan," kata Margaret, menarik senyum tipis di bibirnya.

"Aku harap yang kau pikirkan hanyalah diriku," ucap Morgan berbisik lembut.

Saat itu juga, pintu kamar terbuka, ibu melongok masuk kepalanya dari pintu dan melihat mereka tampak harmonis saat Morgan mengelus pipi Margaret. Namun, adegan itu membuat ibu terkesima saat melihat tatapan penuh kasih yang dilemparkan Morgan kepada adiknya.

"Makan malam sudah siap, anak-anak," ujarnya. Tidak cukup mengejutkan Morgan yang menurunkan tangannya dari wajah Margaret dengan santai. Lalu Margaret menoleh ke belakang untuk menyahutnya akan datang ke ruang makan.

Mereka makan malam bersama tanpa kehadiran ayah yang belum pulang dari kantor. Namun tepat setelah mereka selesai makan, ayah datang dan melihat tidak ada sisa makanan untuknya. Tampaknya ibu sengaja memasak dalam porsi sedikit, dikhususkan hanya untuk tiga orang.

"Sayang, kenapa tidak ada makanan untukku?" Rengek ayah.

"Bukankah sudah ada wanita lain yang mengurus makananmu?" Sahut ibu dingin sambil mencuci piring.

"Aku mengusahakan dengan keras dari tugas-tugas di kantor tanpa mampir ke resto, karena aku ingin memakan masakanmu. Tapi, harapanku sirna, dan kau masih belum memaafkanku," ujar ayah dengan nadanya yang terdengar sedih.

Sesaat membuat ibu sedikit prihatin, tetapi perselingkuhan suaminya tidak bisa dimaafkan dengan mudah. Jadi ibu berkeras hati mengabaikan ayah. Dan ayah tahu dirinya harus berusaha sangat keras lagi untuk melunakkan hati istrinya.

***

Siang hari libur itu, Morgan membolos les. Dia mengajak Margaret untuk mengikutinya ke suatu tempat. Morgan tidak memberitahu adiknya tentang tempat yang mereka tuju dengan taksi. Tetapi perjalanan itu singkat, hanya satu jam, dan mereka berhenti di area pantai terbuka.

"Kenapa kita ke sini?" tanya Margaret. Angin pantai langsung menerpa wajahnya dengan lembut, terasa hangat di musim semi yang indah.

"Aku bosan belajar hari ini. Aku juga membutuhkan liburan. Jadi, mengapa kita tidak berlibur bersama?" kata Morgan tersenyum, matanya menatap penuh cinta pada Margaret.

"Aku tidak tahu kau akan bosan dengan hobi belajarmu," respon Margaret agak meledeknya. Kemudian dia berlari ke bibir pantai. Melepas alas kakinya dan merasakan halus pasir pantai yang dipijaknya.

"Sini sepatumu. Aku akan membawanya," kata Morgan. Margaret memberikan sepatunya, lalu berlari-larian menikmati kelembutan pasir pantai di kaki telanjangnya. Dia berputar merentangkan kedua tangannya, menikmati embusan angin sepoi yang menerbangkan anak rambutnya jadi sedikit berantakan.

Kebahagiaan Margaret mengundang senyum manis di wajah Morgan yang memperhatikan. Lelaki itu menyusul langkah adiknya yang sudah jauh di depan. Tapi kemudian Margaret berlari ke arahnya dengan senyuman lebar, dan berhenti tepat di depan Morgan. Dapat Morgan lihat rona keceriaan terpancar mencerahkan ekspresi sang adik.

"Terima kasih, sudah membawaku ke pantai. Ini adalah tempat yang sangat ingin aku kunjungi," tutur Margaret.

"Tentu. Bukankah hati kita saling terhubung?" Morgan mengelus kepala Margaret.

Mereka jalan-jalan di tepi pantai sambil bergandengan tangan dengan erat. Morgan menenteng sepatu Margaret di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menggenggam tangan Margaret. Lain hal dengan gadis itu yang terlihat bebas, menikmati pemandangan pantai serta angin yang mendukung suasana.

Margaret mendongak menatap Morgan dengan tulus, lalu memeluk lengan kekarnya sambil menyandarkan kepalanya di sana. Pada momen itu, dunia seolah hanya milik mereka berdua.

"Apakah kita akan terus seperti ini ke depannya?" Tiba-tiba Margaret menggumamkan kalimat bernada skeptis itu.

Morgan berhenti melangkah. Dia tatap mata hazel indah adiknya yang membalas. Mereka saling bertatapan, dan angin membelai dalam kehangatan hati mereka. "Aku tidak bisa menghentikan waktu. Tapi, aku akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia," pungkas Morgan mantap. Terdengar begitu manis. Tercermin ketulusan dalam matanya, seperti kata-katanya yang terucap tanpa ragu.

Saat itu, keharuan merayap di benak Margaret. Suara deburan ombak mengiringi detak jantung mereka yang selaras.

***

Cinta Tabu Si KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang