Bab 19 - Bintang

262 21 4
                                    

Hari ini sekolah mengumumkan adanya olimpiade eksak tahunan. Biasa, yang menjuarainya akan mendapat beasiswa sekolah hingga nilai plus masuk universitas bergengsi.

Meskipun hadiah yang didapat menggiurkan, nyatanya tidak banyak murid yang mau mengikuti lomba itu. Dan lagi-lagi peserta dari sekolah mereka selalu orang yang sama dari tahun-tahun lalu. Murid pintar.

Salah satu peserta itu adalah Morgan. Ini menjadi kali ketiga ia mengikuti lomba, dan mengambil mata pelajaran kimia. Dia memasuki ruang kelas khusus di mana semua peserta satu sekolah dikumpulkan di sana untuk belajar bersama sesuai minat mata pelajaran.

Dari ratusan murid di sekolah, ruang kelas olimpiade kimia itu hanya diisi dengan tiga puluh murid. Jumlah yang paling sedikit dibandingkan peserta fisika dan matematika.

Morgan tidak punya teman di kelas ini. Dia tampak duduk sendirian, membuka buku, dan acuh dengan semua orang di sekelilingnya. Namun, sepasang mata memerhatikannya dari belakang tempat duduk. Jessica sudah lebih dulu duduk di dalam kelas ini sambil membaca-baca buku, sampai perhatiannya teralihkan ketika menyadari kehadiran Morgan di sini.

Ekspresinya agak tercengang, merasa tidak menyangka bertemu dengan lelaki itu di dalam kelas yang sama. Kemudian ia beranjak bangun, membawa serta alat tulisnya, menghampiri Morgan yang duduk beberapa bangku di depan.

"Hai," sapa Jessica.

Morgan mengangkat wajahnya, tepat di sampingnya telah berdiri Jessica yang memeluk buku sambil tersenyum ramah. "Aku Jessica, teman sekelas Margaret. Apa kursi di sampingmu kosong?" ujar gadis itu.

"Ya," sahut Morgan singkat, lalu kembali menatap buku tebalnya. Sementara Jessica duduk di sebelahnya.

"Aku tidak menyangka kau ikut kelas ini. Kata orang, kau juara pertama tingkat kota di olimpiade matematika tahun lalu. Sekarang kau mengikuti olimpiade kimia, kenapa?" Jessica membuka obrolan.

"Aku hanya suka saja," jawab Morgan. Cuek. Dan Jessica tidak ingin obrolan mereka terhenti, selama guru belum masuk ke kelas.

"Itu artinya kau pintar sekali," pukau Jessica. "Pantas saja banyak yang bilang kau ancaman bagi mereka untuk dapat mewakili sekolah. Di antara kita semua di kelas ini, akan bersaing ketat untuk lulus jadi kandidat perwakilan."

Morgan tak merespon. Dia sangat fokus pada bacaan buku. Sikap cueknya membuat Jessica canggung, akhirnya dia diam hingga guru masuk tak lama kemudian.

***

"Ini salah!" omel Morgan, mengoreksi soal latihan Margaret.

"Ini juga salah. Salah. Salah." Tanda silang hampir memenuhi kertas jawaban milik Margaret. Morgan mencoret-coretnya tanpa perasaan, sedangkan gadis itu hanya bisa manyun dengan kecewa.

"Aku sudah berusaha menjawab semuanya mengikuti rumus dan teori, kenapa masih salah?" protes Margaret.

"Bahkan aku membiarkanmu mengisi jawaban sambil melihat buku, tapi masih juga salah, Margaret... Margaret." Morgan menggelengkan kepalanya heran. "Kalau begini, apa kau yakin bisa mengikutiku ke kampus bergengsi?"

Margaret menunduk dengan sedih. Belajar eksak bukan keahliannya. Dia lamban dalam memahami persoalan angka-angka. Sialnya, dalam ujian seleksi membutuhkan nilai ujian eksak selain ujian sosial selama di sekolah. Jadi ia harus dapat nilai bagus, minimal di atas rata-rata di setiap ujian sekolah selama tiga tahun ini.

"Kau tahu kan? Aku tidak pandai dalam fisika dan matematika, bisakah sekolah menghapus dua pelajaran itu?" keluh Margaret.

Morgan mengetuk kepalanya dengan pena. "Semua sekolahan seperti itu. Kau sudah bagus dalam pelajaran sosial, tinggal memfokuskan pada eksak saja. Sedikit lagi kau akan bisa melaluinya, tapi lebih bagus jika di remedial."

Margaret mendongak, melongo mendengar pendapat tersebut. "Di remedial? Bukankah artinya nilaiku sangat buruk ya?" simpul gadis itu.

"Remedial ada bagusnya. Kau berkesempatan mengerjakan ulang soal baru, dan pastikan kau harus mendapatkan dua kali lipat nilai lebih tinggi," kata Morgan. "Kau hanya lemah di fisika saja kan?"

"Hmm aku lumayan paham matematika dan kimia, kecuali fisika. Oh iya, apa kau mendaftar olimpiade eksak tadi siang?"

"Ya." Morgan menutup buku miliknya.

"Apa kau bertemu dengan Jessica? Dia ikut mendaftar di kelas eksak, satu-satunya perwakilan dari kelas kami."

"Kami bertemu di kelas yang sama. Kenapa?" jujur Morgan.

"Dia ternyata anak teladan. Apa kau tahu nilai ujian masuk ke sekolah kita? Nilainya hampir mendekati sempurna!" kagum Margaret. "Sudah pintar... Kaya pula. Paket lengkap."

"Apa kau mau makan?" alih Morgan pada topik baru. Margaret menggeleng. Dia lempar pandangan ke luar jendela. Tiba-tiba terbayangkan makanan enak di benaknya.

"Aku jadi ingin makan es krim. Ayo jalan-jalan dan beli es krim. Kemarin malam kita tidak sempat jalan-jalan keluar karena sudah larut. Tapi sekarang baru jam setengah sembilan, harusnya belum terlalu malam."

"Baiklah."

***

"Yuhuuuu!" Margaret berseru ceria sambil merentangkan kedua tangannya di jok sepeda belakang. Dia duduk membelakangi Morgan dengan menghadap jalanan. 

Morgan terus mengayuh sepedanya ke depan, menyusuri jalan perumahan yang luas dan sepi. Kemudian ia menghentikan laju sepedanya di padang rumput luas.

"Kenapa kita tidak pulang?" tanya Margaret, tidak tahu.

"Di sini dulu, kau akan tahu," ujar Morgan, mengambil kantong kresek berisi es krim. Satu diberikan pada adiknya, satunya lagi untuk dirinya sendiri.

Mereka makan es krim sambil memandang padang rumput luas di depan mata. Dan saat gadis itu membuka bungkus es krimnya lalu memasukkan ke mulut, tiba-tiba ia melongo takjub melihat pemandangan indah di langit malam. Langit yang biasanya gelap itu kini menampakkan bintang-bintang. Bintang yang jarang dilihat di bawah langit perkotaan modern.

"Bagaimana kau tahu kalau di sini ada bintang?" kaget Margaret merasa terkesan. Sekarang ia tahu alasan Morgan berhenti di sini, adalah untuk melihat pemandangan menakjubkan itu.

"Aku sering lewat sini saat pulang dari tempat les," ujar Morgan. "Dan kebetulan malam ini sedang cerah, jadi bisa melihat bintang di sini. Kalau kemarin, langit malam sedang mendung."

Margaret menatap kagum pada kakaknya. "Oleh sebab itu kita tidak keluar malam kemarin?"

Morgan mendengus. "Selain memang langit mendung, juga karena sudah terlalu malam untuk keluar," koreksi Morgan.

Margaret tersenyum senang menikmati pemandangan langka itu sambil memakan es krimnya. Mereka berada di sana sampai es krim habis. Baru setelah itu Morgan kembali mengayuh sepedanya menuju rumah.

Begitu membuka pintu utama, mereka mendapati ayah sedang tertidur di sofa. Kemeja kerjanya belum diganti dengan baju santai, masih ada dasi yang tampak longgar di kerah kemeja. Serta sebotol miras di meja.

Margaret merasa aneh melihat ayahnya. Jarang-jarang beliau pulang langsung mabuk begitu. Ayah kelihatan stress belakangan ini. Tapi ia tidak ingin mengganggunya, lantas melewatinya masuk ke kamar.

"Kak, menurutmu, ayah kenapa ya?"

"Ayah? Mungkin lelah bekerja saja."

"Tidak, sebelumnya ayah tidak pernah terlihat seperti itu sebelum ibu dirawat di rumah sakit."

Morgan diam dan berpikir. "Aku tidak tahu," finalnya.

"Besok kita ke rumah sakit lagi, ya," pinta Margaret saat di dalam kamar.

"Kenapa? Ingin menjenguk ibu lagi?"

"Ya, dan sepertinya kakiku sudah lumayan bisa untuk berjalan," kata Margaret.

"Baiklah, sepulang sekolah kita langsung ke rumah sakit."

***


Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now