Bab 31 - Can't Fall in Love

270 30 5
                                    

Margaret terdiam, merenung dalam. Perkataan tiba-tiba dari Morgan, kakaknya, terdengar begitu tak terduga. Meskipun terasa sulit dipercaya, Margaret berusaha memahami, mengira bahwa Morgan mungkin saja terbawa emosi atau bahkan hanya terpeleset dalam kata-katanya.

"Ka-kau habis terbentur di mana?" Margaret hampir tertawa, merasakan keanehan situasi ini. Namun, harapannya untuk melihat reaksi konyol di wajah Morgan sirna saat lelaki itu tetap menatapnya dengan serius.

Malahan, dia maju selangkah. "Aku mencintaimu, Maggie," ucapnya mantap, menyebut nama pendek adiknya yang menandakan keseriusan. Melafalkan kata-kata ini di depan adik sendiri memerlukan keberanian luar biasa.

Ironisnya, Morgan merasa sedikit lucu karena mencintai gadis yang merupakan adik kandung. Namun, itulah ketulusan yang selama ini tertahan dalam kebingungan, hingga akhirnya terungkap.

Pengakuan ini membuat Margaret terpaku, wajahnya terperangah tak percaya. Detak jantungnya berdegup kencang, tubuhnya terasa kaku. Margaret sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa kalimat itu bisa terlontar begitu saja dari bibir Morgan, kakaknya sendiri.

"Aku tahu bahwa kau mencintaiku... Kau adalah kakak terbaik dan satu-satunya yang pernah kumiliki," ucap Margaret, berusaha tetap waras dan menolak semua asumsi yang muncul di otaknya.

Namun, gelengan kepala Morgan seakan menegaskan pikiran Margaret. "Aku mencintaimu sebagai seorang pria, bukan kakakmu," tutur Morgan, mengguncang jiwa Margaret yang terdiam seribu bahasa, terkejut dengan pengakuan tiba-tiba itu.

"Morgan... Kau..." Margaret tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Dia terdiam, matanya mencerminkan kebingungan yang mendalam. Kemudian tersentak ketika dirinya direngkuh, dan tak dapat menahan diri lagi, Morgan mempertemukan bibir mereka dalam ciuman penuh cinta.

Namun, Margaret mendorongnya menjauh karena kaget. Mata mereka saling bertatapan dengan sorot berbeda, sebelum kemudian Morgan mengunci pergerakan Margaret dalam pelukannya dan kembali menciumnya, kali ini dengan penuh keinginan dan hasrat, seakan mengungkapkan semua perasaannya yang telah lama terpendam.

Ciuman Morgan sedikit berbeda dari biasanya. Dia memaksa, agak kasar, dan memperdalam ciumannya dengan menerobos ke dalam mulut Margaret. Mempertemukan lidahnya dengan lidah adiknya, membelai gigi rapi di dalamnya, dan Morgan menguasai isi mulut Margaret dengan segenap napsu membuncah.

Seketika menyedot seluruh tenaga Margaret. Melenyapkan kekuatan pada kedua kakinya yang berubah lemas saat hampir tak sanggup berdiri, dan dia bisa saja merosot jatuh ke tanah seandainya Morgan tidak memeluknya sedemikian erat. Ciuman panas Morgan tidak hanya melemahkan, tapi juga menguras akal sehat Margaret.

Air mata menggenang di pelupuk mata Margaret sekarang, mengisyaratkan kebingungan antara kesedihan dan kebahagiaan yang membanjiri dirinya saat Morgan mengungkapkan perasaannya yang sama.

Namun, di balik kegembiraan yang mendalam, Margaret tetap terhantui oleh kenyataan bahwa mereka bersaudara kandung, dan aturan tak tertulis melarang mereka untuk saling mencintai. Bayangan reaksi keras orang tua mereka jika mengetahui hubungan terlarang ini menghantuinya, membawa pertanyaan yang tak terjawab tentang takdir mereka yang terbelenggu oleh norma-norma yang tak terbantahkan.

Setelah Morgan melepas tautan bibir mereka, dia terkejut melihat air mata mengalir dari mata adiknya. Margaret menangis. Tatapan matanya yang menatap Morgan menyiratkan keputusasaan. "Kita tidak seharusnya begini." Margaret menggeleng sambil menangis. "Kau tidak boleh memiliki perasaan itu pada saudara kandungmu."

Morgan meraih tangan Margaret lagi, tapi Margaret menepisnya dengan kasar. "Ini salah." Suaranya penuh dengan penyesalan. "Aku ingin pulang." Kemudian dengan langkah tergopoh-gopoh, Margaret pergi meninggalkan Morgan sendirian dalam keheningan yang merayap.

Sementara itu, sepasang mata memperhatikan mereka dari balik semak-semak. Semua adegan itu disaksikan dengan mata kepala sendiri walau tidak dapat mendengar percakapan mereka. Menjadi sebuah kejutan besar yang tak pernah terduga ketika melihat dua insan yang dikenal sebagai kakak beradik kandung itu berciuman intens di sana.

Sekarang, Ronald mendapatkan jawabannya.

***

Langit sudah malam ketika bus berangkat dari halte dan melaju dengan tenang di jalan raya, membawa Margaret yang duduk melamun dipojok jendela. Ungkapan Morgan tadi tidak bisa diterima begitu saja oleh kewarasan Margaret.

Egonya menolak cinta Morgan, bahkan enggan mengakui hati terdalamnya yang juga memupuk perasaan sama. Posisi Margaret seakan terjepit dalam rasa sakit yang menusuk batinnya. Tiada kata yang bisa mendeskripsikan keadaan Margaret sekarang.

Namun air mata di wajahnya tidak bisa membohongi perasaan yang terluka. Margaret berusaha menghapus air mata ini, tetapi malah mengalir semakin deras di pipinya yang basah. Margaret pun menangis terisak-isak di sepanjang perjalanan menuju rumah.

Seandainya mereka bukan saudara kandung, mungkin sekarang dia tidak senang menangis, justru menikmati keindahan malam bersama Morgan. Tetapi, takdir melarang mereka untuk memiliki perasaan seperti itu. Hati Margaret jauh lebih hancur saat ini.

Setelah turun di halte tujuan, Margaret mematung dengan pandangan kosong sementara bus berlalu pergi di belakangnya. Dia mencoba menghentikan air matanya, lalu menarik napas dalam-dalam dan mengusap wajahnya dari jejak air mata. Kemudian dengan siap, dia melangkah menuju rumah.

Pintu rumah dia buka. Lampu ruangan telah menyala terang, artinya sudah ada ayah di dalam rumah. Margaret menundukkan kepala, berusaha menutupi ekspresi murungnya dengan rambut yang terurai.

Saat melewati ruang tengah, dia melihat ayahnya sedang telepon dan mendadak merasa muak. Lantas mempercepat langkahnya untuk masuk kamar, tetapi terhenti seketika begitu mendengar ucapan ayah yang mengatakan kabar tentang ibu.

"Margaret, ibu sudah sadarkan diri," kata ayah setelah dapat telepon dari rumah sakit.

Tepat saat itu Morgan baru masuk ke dalam rumah. Kabar yang mereka tunggu akhirnya terwujud. Morgan maupun Margaret kompak merasa senang.

Senyum ceria Margaret mengembang lebar, dan dia hampir memeluk Morgan jika lupa dengan pengakuan cinta tadi yang membuatnya menjadi canggung. Akhirnya Margaret menahan diri dan menjaga jarak dari kakaknya, persis seperti orang sedang musuhan. Morgan memaklumi sikap gadis itu tanpa membalas dingin.

"Apa kalian ingin ke rumah sakit sekarang?" tanya ayah. Sudah jelas jawabannya. Saat itu juga mereka pergi ke rumah sakit.

Margaret langsung memeluk ibu di ranjang. Dia mengungkapkan rasa rindunya pada wanita baya itu sambil menangis terharu. Sementara ayah dan Morgan berdiri saja melihat ibu mereka dengan perasaan lega.

"Apa kau makan dengan baik? Kau kelihatan kurus," komentar ibu saat membelai wajah puterinya. Margaret menegakkan tubuhnya kembali dengan berdiri di pinggir ranjang, mengusap air mata harunya dari pipi.

"Aku makan dengan baik. Kenapa ibu baru bangun sekarang?"

"Ibu hanya tidur sebentar." Lalu dia menatap Morgan dan ayah dengan tatapan kerinduan. "Bagaimana keadaan kalian?" tanyanya.

"Kami melalui banyak hal selama kau tidur, sayang," sahut ayah. "Karena kecelakaan itu membuat leher Morgan hampir patah, dan kaki Margaret menjadi pincang. Tapi sekarang semua sudah baik-baik saja dan kembali normal."

Hari ini genap tiga bulan ibu koma, dan terbangun di musim semi yang indah. Mereka berbahagia menyambut ibunda tersayang. Mereka merasakannya, merasakan hidup tanpa kehadiran kasih sayang ibu di rumah, bagaikan musim dingin yang panjang.

***

Cinta Tabu Si KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang