Bab 14 - Minum Obat

432 28 6
                                    

"Bangunlah, dan peganglah pundakku. Aku akan menyabuni punggungmu," ujar Morgan, memegang tangan adiknya untuk membantunya bangkit, dan Margaret patuh.

Gadis itu berdiri dengan satu kaki sambil memegang kedua pundak kakaknya seperti sedang berpelukan, sementara Morgan mulai menggosok punggungnya dengan sabun berbusa.

Morgan dengan telaten merawat Margaret yang tidak mampu merawat dirinya sendiri saat itu. Tangannya terus bergerak, menggosok punggung lalu berpindah ke pinggang, turun ke bawah seraya berjongkok untuk menyabuni bagian kaki.

Lelaki itu sepenuhnya fokus pada tugasnya, meskipun di hadapannya terbuka area pribadi milik Margaret. Morgan seolah tak tergoda oleh aset rahasia adiknya yang hanya sejengkal jari dari jangkauannya.

Gerakan tangannya lembut namun tegas, menggosok di paha Margaret, membuat gadis itu menggigit bibir bawahnya saat sesekali merasakan sentuhan samar di area pribadi oleh tangan Morgan. Bagian bawah gadis itu bersih tanpa ada rumput liar di sana, sehingga meski tidak berniat meliriknya, tetap saja Morgan masih dapat mengetahui bentuk wilayah sensitif Margaret.

Sedangkan bagi Margaret, belum pernah ada yang menyentuh dirinya seperti ini selain Morgan. Karena hal itulah membuat Margaret sangat malu, sekujur tubuhnya memanas hingga membakar wajahnya menjadi semerah kepiting rebus.

Kendati demikian, ia berusaha membuang rasa malu ini di hadapan Morgan yang merawatnya penuh kasih. Otaknya mencoba menormalisasi situasi saat ini bahwa tidak apa-apa telanjang dan dimandikan selama orang itu adalah kakak kandungnya sendiri, kakak yang lahir dari rahim yang sama.

Mereka hanya beda gender saja, pikir Margaret, mengembuskan napasnya, menenangkan detak jantung yang sedang menggila begitu cepat. Margaret hanya bisa berharap proses ini selesai dengan cepat.

Setelah selesai menyabuni seluruh tubuh, Morgan menyiramkan badan Margaret dengan air shower sampai benar-benar bersih dari jejak sabun. Setelah itu dia mengambil handuk lalu mengelapkan ke setiap sudut kulit Margaret sebelum membungkus tubuhnya dengan handuk.

"Pegang leherku," kata Morgan. Kemudian ia mengangkat Margaret ala princess dan berjalan keluar dari kamar mandi. Morgan mendudukkan Margaret ke kasur, sementara dirinya berpindah ke depan lemari, mengambil pakaian untuk dikenakan Margaret termasuk dengan pakaian dalam.

Margaret tidak menolak perlakuan Morgan. Dia hanya duduk manis dan membiarkan Morgan memakaikan baju ke badannya. Saat di mana lelaki itu membuka handuk yang menutupi dadanya, Margaret memalingkan wajah ke arah jendela, seolah tidak terjadi apa-apa padahal sebenarnya sedang menahan malu.

Morgan tidak banyak bicara ataupun berkomentar tentang tubuhnya. Dia memakaikan bra ke dada Margaret tanpa kendala, bahkan caranya mengaitkan pengait bra pun seperti seorang profesional. Seakan sudah tahu di pengait ke berapa biasanya Margaret pakai.

Kemudian beralih pada celana dalamnya. Dia memasukkan satu persatu kaki Margaret ke celana dalam ketat itu. "Berdiri," perintahnya, untuk kemudian menarik ke atas celana merah jambu itu sampai pinggul. Tidak terlihat ekspresi berarti di wajah tampan Morgan selama melakukan pekerjaan ini. Ekspresinya datar seperti tanpa emosi.

Terakhir, Morgan memakaikan baju rajut ke pundak Margaret. Begitu selesai memakaikan seluruh pakaiannya, Morgan tolehkan dagu adiknya untuk menatap ke arahnya. "Kau mau makan apa? Aku akan buatkan," ujar Morgan.

"Aku ingin yang instan saja. Apa ya? Spaghetti?"

"Baiklah. Sepertinya stok makanan di dapur menipis. Aku akan buatkan spaghetti dalam lima menit." Morgan keluar kamar. Seperti perkataannya, dia kembali setelah lima menit, dengan membawa mangkuk berisi spaghetti instan.

Sementara Margaret sedang makan, Morgan masuk ke kamar mandi. Morgan menghela napas berat, merasa lelah dengan keadaan dirinya sekarang di mana sejak tadi ia menahan gejolak hasrat yang timbul selama memandikan Margaret. Akibatnya, bagian bawah dirinya terasa keras dan sakit.

Morgan lantas menuntaskan keinginan terpendam ini sendirian. Melakukan aktivitas dalam beberapa menit, sambil membayangkan adegan tak senonoh dengan Margaret hingga berhasil mengeluarkan cairannya. Itu muncrat dengan deras seperti air mancur.

"Ah, sialan. Margaret, kau..." gumam Morgan mengerang sambil menikmati dirinya sendiri.

Tidak lama kemudian ia keluar dari kamar mandi dengan mengenakan boxer saja, handuk kecil melingkari lehernya dengan rambut basah. Morgan selesai mandi dan keramas.

Dia tiba-tiba duduk di bawah ranjang Margaret, memintanya untuk mengeringkan rambut. Margaret patuh. Mengusap-usap rambut basah Morgan menggunakan handuk, Margaret lantas memulai obrolan.

"Kak, kau sudah sehat, apa kau tidak kembali ke sekolah?"

"Ya, mungkin besok," jawab Morgan.

"Aku pasti akan sangat kesepian nanti."

"Kalau begitu minum obatnya dengan rajin. Apa kau sudah minum obat sehabis sarapan?" tanya Morgan.

"Tidak, belum. Obat sirupnya terlalu pahit sampai membuatku ingin muntah setiap kali menelannya, aku takut," keluh Margaret.

"Anggap saja itu softdrink yang harus kau minum. Apa kau butuh buah untuk menelannya?" timpal Morgan.

"Tidak, tapi, bagaimana jika aku muntah?" cemas Margaret. "Kakak sih enak hanya dapat obat pil yang bisa sekali telan. Sedangkan aku dapat obat cair yang bisa dirasakan lidahku betapa pahitnya obat itu."

"Aku akan meminum obatmu agar kita sama merasakan pahitnya." Morgan memegang tangan Margaret di kepalanya, berhenti menggosok rambutnya lalu ia naik ke atas ranjang.

"Eh, jangan obat kita kan berbeda," larang Margaret.

"Kandungan obatnya sama, hanya beda bentuk saja," ujar Morgan saat menuangkan obat cair ke sendok.

Margaret memperhatikan seksama bagaimana kakaknya memasukkan sendok itu ke dalam mulut, tapi dengan tiba-tiba menekan pipinya sehingga bibir Margaret terbuka, dan dalam sedetik cepat Morgan sudah menempelkan bibir mereka, mentransfer obat itu ke dalam mulutnya dalam ciuman tak terduga.

Margaret yang terkejut langsung menelan obat cair itu secepat kilat. Namun bibir Morgan belum juga menjauh dari wajahnya. Morgan menekan tengkuknya lebih kuat, memperdalam ciuman mereka seraya mendominasi pergerakan lidahnya yang membelai lidah Margaret. Seketika Margaret merona, tubuhnya kembali menghangat karena perlakuan Morgan.

Kemudian Morgan melepaskan ciuman intens itu dan membuat Margaret menyambar gelas air untuk diminumnya buru-buru. Dia hampir terbatuk.

Setelah meneguknya, ia mengusap bibir dengan punggung tangan sambil menatap Morgan dengan kesal. Tapi lelaki itu malah terlihat biasa saja menatapnya tanpa ekspresi. Tidak tahukah, Morgan? Hampir membuat Margaret sesak napas tadi karena saking terkejut.

"Apa yang barusan kau lakukan tadi!" sungut Margaret.

"Kita sama-sama impas. Aku juga merasakan pahitnya obat cairmu, lalu kau menelannya tanpa ragu," ujar Morgan.

"Tapi tidak harus kita berciuman begitu kan?" Wajah Margaret mengerut masam.

"Apa kau tidak suka dengan caraku menciummu?"

"Bukan begitu!" Margaret melempar bantal, memukulkannya ke lengan Morgan.

"Apa kau demam?" Morgan menangkap tangan adiknya, sehingga pukulan bantal itu terhenti. Dia menatap Margaret dengan cermat. "Wajahmu merah apa karena demam atau terpesona?" imbuh Morgan, semakin menambah kesal Margaret yang sebenarnya sedang malu menjadi geram.

"Kakak!"

***

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now