Bab 6 - Aku Tidak Mengerti

671 43 5
                                    

"Aku tidak mengerti."

Margaret dapat melihat ada yang berbeda dari cara pandang manik hazel kakaknya kepadanya saat ini. Seolah-olah menyiratkan kesenduan sekaligus pendambaan terhadap sesuatu. "Kakak..." Margaret bingung akan maksud Morgan tiba-tiba mengatakan hal itu. Dan saat ia sedang menerka-nerka, belaian tangan Morgan sudah berpindah meraih helaian rambut panjang di pundak.

"Aku sudah menunggu lama. Tapi selama kau belum mengizinkan, aku akan tetap menunggu." Morgan mengangkat sejumput rambut itu ke bibirnya lalu dicium dengan lembut, tanpa melepaskan tatapannya pada Margaret.

Namun lagi-lagi perkataannya membuat Margaret sulit mengerti. Akhirnya ia mendengus. "Apa yang kau bicarakan?" Ia kemudian melempar pandangan ke sekitar, tapi dagunya ditolehkan Morgan, sehingga ia kembali harus menatap wajah kakaknya.

"Margaret..." Morgan terlihat ragu untuk meneruskan kata-kata. Lalu tangannya turun dan beralih menggandeng tangan Margaret lagi. "Ayo pulang." Morgan putuskan untuk menelan seluruh kosa kata yang tertahan di lidahnya. Akan lebih baik bagi mereka seperti ini saja. Mungkin tidak sekarang tapi nanti akan ia bicarakan pada Margaret.

Margaret tak memaksa Morgan memberikan penjelasan. Langkah kaki mereka menuju rumah diiringi sepi. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

***

Margaret sedang memilih buku di perpustakaan sekolah. Kakinya berjinjit dan tangannya berusaha menggapai buku di atas rak. Tiba-tiba saja tangan lain mengambilnya lebih dulu dari belakangnya. Margaret lantas berbalik badan. Ternyata orang itu adalah Ronald, teman sekelasnya. "Terima kasih, Ronald." Margaret meraih buku itu darinya, tapi Ronald mengangkatnya cepat.

"Ronald?" Margaret tentu kaget.

"Margaret, aku masih menyukaimu." Tanpa basa basi lagi lelaki itu kembali mengutarakan cintanya.

"Ronald, jawabanku masih sama." Dan untuk kedua kali, Ronald ditolak lagi dari gadis yang sama.

"Aku tahu tapi aku belum bisa menyerah." Ronald bak terhipnotis. Wajah cantik Margaret melekat di pandangan lelaki itu, terutama pada bibir Margaret yang merah muda, terlihat menggoda. Lantas tanpa mampu menahannya lagi, ia menarik tengkuk Margaret dan mencium bibirnya dengan cepat. hat menggoda. Lantas tanpa

Margaret memelotot kaget. Seketika ia mendorong dada Ronald sekuat tenaga. Ronald melepaskan. Sontak tamparan melayang di pipi lelaki itu dengan keras. Wajah Ronald sampai berpaling dan ia terdiam membeku. "Kau sungguh kurang ajar!" Amarah terpancar di mata Margaret, kemudian ia pergi dengan hati terbakar emosi.

Langkahnya berjalan terburu-buru seraya mengusap bibirnya. Perasaaan jijik menyelimuti hati Margaret setelah dicium sepihak barusan dari orang yang tak ia cintai sama sekali. Hatinya sakit. Matanya pun berkaca-kaca. Dan sebelum air matanya jatuh, ia berlari sambil menunduk, tak peduli menabrak bahu orang lain di koridor yang ramai. Mencari tempat tenang di sekitar sekolah.

Namun tanpa sadar kakinya membawa ia ke atap sekolah. Sebuah tempat terpencil di sekolah. Begitu tiba di atas rooftop, ia bersandar pada pintu lalu menangis.

"Margaret, kau kenapa?"

Suara familiar mengejutkannya, Margaret menahan tangisnya lalu memindai pandangan ke depan. Dapat ia lihat Morgan sudah berdiri di hadapannya dengan ekspresi khawatir. Morgan selangkah mendekat, meraih wajah sembab adiknya. "Katakan, siapa orangnya?" Desak Morgan. Pancaran di matanya berubah geram. Ia marah melihat Margaret menangis.

Alih-alih menjawab, Margaret memeluk Morgan erat, menangis di dadanya. Morgan mengelus-elus kepalanya dengan sayang, menunggu Margaret puas menangis sampai menjadi tenang kembali.

"Kakak... aku..." Suaranya terdengar serak sambil menarik ingus. "Seseorang mencuri ciuman pertamaku."

Pengakuannya membuat Morgan mengeraskan rahang. "Siapa?" Dia bertanya dengan kesabaran yang hampir meledak.

Margaret menelan ludahnya. Agak ragu dia sebutkan nama lelaki itu. Takut jika kakaknya berbuat sesuatu nanti. Tapi ia tidak bisa memendam nama lelaki itu di saat hatinya tak rela atas perbuatannya tadi. "Ronald." Satu nama akhirnya tersebut di bibirnya yang basah.

Morgan tak memberi respon, namun ia langsung bereaksi dengan pergi menuju ruang kelas dua. Dia melewati semua seperti kereta uap yang mengeluarkan asap. Langkahnya yang berjalan cepat membuat Margaret harus berlari menyusulnya. "Kakak! Berhenti!" Seruan Margaret dari belakang, diabaikan laki-laki itu yang terus mempercepat langkah.

Morgan masuk ke ruang kelas Margaret. Dia menghampiri Ronald yang kebetulan ada di dalam kelas. Ronald terlambat menyadari ketika Morgan sudah dekat dan mengangkat kerah bajunya, lalu bogem mentah meninju wajahnya keras sampai tersungkur ke lantai.

Seketika suasana kelas burubah gaduh. Mereka menyingkir dari dua lelaki itu, dan menontonnya dengan antusias. Beberapa orang terkejut, tapi tak ada yang melerai mereka. Karena Morgan memukul Ronald lagi, di mana pukulannya membuat sudut bibir Ronald berdarah.

Ronald usap bibirnya dengan punggung tangan sambil berdiri. "Sialan, kau!" Ronald sadar, yang akan ia lawan adalah kakaknya Margaret, si Morgan yang dikenal memiliki sabuk hitam judo. Mendadak nyalinya menciut.

"Ini balasan atas perbuatanmu pada adikku!" Tegas Morgan tampak angkuh. Dia mendekat ke telinga Ronald. "Jangan pernah bermimpi untuk memilikinnya. Kecuali kau melangkahi mayatku," gumam Morgan berbisik tajam.

Tepat saat itu bel sekolah berbunyi. Sebelum Morgan keluar dari kelas itu, ia memberikan deathglare pada Ronald yang hanya diam di tempat. Kejadian ini tidak pernah terduga di pikiran Ronald. Namun setelah merasakan bukti nyata berupa hantaman manis dari laki-laki itu, sekarang Ronald percaya rumor yang mengatakan kalau siapapun yang mendekati Margaret akan berurusan dengan kakaknya secara serius. Maka pantas jika para lelaki tak berani mendekat Margaret terang-terangan, hanya tak mau repot menjadi korban keganasan kakaknya.

"Oh, Ronald, kau pasti melakukan sesuatu yang membuat dia marah." Temannya menyeletuk kasihan. "Kalau dia marah, pasti tidak lain karena adiknya diganggu. Apa yang kau lakukan pada primadona kita, huh?"

Ronald mendengus kesal. Tak merespon. Suasana hatinya buruk. Dia berjalan keluar kelas, dan membolos.

***

Morgan baru keluar dari kamar mandi setelah rutinitasnya menggosok gigi sebelum tidur. Seperti biasa, lampu kamar dimatikan melihat adiknya sudah tidur lebih dulu.

Morgan membetulkan letak selimut di tubuh Margaret. Tapi perhatiannya kemudian terpaku pada wajah tidur gadis itu hingga matanya jatuh pada bagian bibir.

Dia sentuh bibir adiknya dengan ibu jari, dan teringat kejadian tadi siang di sekolah. Terbayangkan bibir manis ini dicium lelaki lain, hatinya menjadi panas terbakar. Kesal bercampur marah tertuju pada Ronald. Tapi meskipun ia sudah menghajarnya, Morgan masih belum puas.

"Aku tidak rela. Karena kau milikku. Tidak boleh ada yang mengambilmu, dan aku sudah lalai menjagamu." Morgan menggumam dengan nada berbisik geram.

Dia diam beberapa saat tanpa melepaskan tatapannya dari Margaret, sementara ruangan terasa sunyi tenang, sebelum akhirnya ia membungkuk dan menempelkan bibirnya dengan bibir Margaret. Sebuah ciuman lembut yang tidak menuntut, akan tetapi mampu membangunkan tidur Margaret yang belum jauh di alam mimpinya.

Mata gadis itu membuka sayu. Rambut Morgan menjadi hal pertama yang ia lihat lalu tersadar merasakan bibirnya dibungkam dalam ciuman sang kakak. Ciuman? Margaret sontak terbelalak.

Margaret langsung mendorong pundak Morgan. Seperti yang diharapkan, kakaknya melepaskan ciuman sepihak ini. Morgan bangun, menatap santai pada gadis itu yang syok.

"Kakak!" Margaret duduk, raut wajahnya tercengang sedangkan lidahnya tak bisa berkata-kata. Terlalu mengejutkan dan tak disangka-sangka. "Kenapa kau menciumku?" tanya Margaret dengan nada menuding.

Morgan menarik kepala Margaret dan menempelkan kening mereka. Keduanya saling menatap dalam jarak dekat. "Aku marah." Jeda sejenak. "Aku ingin menghapus jejaknya di bibirmu," jujur lelaki itu.

"Apa kau akan membiarkan jejaknya tertinggal di bibirmu?"

Margaret diam, menelan ludah. "Aku tidak suka. Aku sangat membencinya. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menghilangkan ini." Margaret ungkapkan dengan sedih.

"Maka, biarkan kakakmu yang menghapusnya." Morgan memiringkan kepalanya. Dia kembali mencium bibir Margaret tanpa ada reaksi penolakan lagi.

Tidak lama, Margaret memundurkan kepalanya. "Kakak..." panggil Margaret. Morgan melepaskan ciumannya tetapi tidak menjauhkan jarak wajah mereka. "Apakah baik untuk kita berciuman? Kita kan saudara sekandung. Aku pikir tindakan ini---"

"Melanggar moral?" sambung Morgan cepat. Margaret terdiam sebagai persetujuan. Lalu Morgan menegakkan tubuh dengan tangan membelai rambut adiknya. "Lupakan tentang moral jika kau tersakiti."

"Tapi..." Margaret tetap merasa janggal, dan ciuman ini sepertinya salah.

"Banyak keluarga di luar sana yang juga masih berciuman, bahkan dengan orang tua mereka." Morgan menjelaskan, beralibi, demi membenarkan tindakannya. Walau tahu yang ia lakukan sebenarnya salah. Karena ciuman ini ia lakukan dengan rasa lain yang tersimpan di hati.

Namun perkataannya tidak sepenuhnya salah. Margaret mengerti kalau setiap keluarga memiliki love languagenya masing-masing. Berbagai macam cara untuk menunjukkan  kasih sayang keluarga. Salah satunya melakukan skinship.

Margaret juga pernah dengar dari Ribella kalau temannya ini menganggap kedekatan intim antar saudara adalah hal wajar. Sekalipun berciuman, itu tak pernah lebih dari kasih sayang sesama saudara.

Tetap saja, meskipun niat kakaknya baik, tindakan tersebut membuat Margaret syok. Mungkin mereka pernah berciuman saat masih anak-anak tapi sudah tidak lagi sejak tumbuh dewasa.

"Kau tidak perlu banyak berpikir." Morgan mencubit dagu gadis itu dengan ibu jari dan telunjuknya. "Kita sudah bersama sejak kecil, kita tumbuh bersama. Tidak ada yang salah di antara kita." Dia usap lembut pipi Margaret.

"Sekarang sudah larut malam. Tidurlah."

Margaret berbaring kembali. Kali ini ia tidak telentang lagi, melainkan menghadap tembok dan memunggungi Morgan, hanya untuk menyembunyikan rasa gugupnya yang menggetarkan hati.

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now