Bab 28 - Rahasia

236 23 9
                                    

Mereka terlihat sudah tidak berdaya di sofa. Permainan Jessica membuat mereka gila-gilaan menghabiskan soda sebanyak mungkin. Karena jika jumlah kaleng yang dihabiskan lebih sedikit, harus membayar sewa ruangan karaoke ini. Sedangkan mereka tahu harga sewa karaoke di tengah kota lumayan mahal untuk kantong pelajar.

Dan entah sejak kapan, Margaret sudah di samping Ronald. Dia tidak peduli lagi dengan posisi duduk semua orang di sini yang berantakan.

"Margaret, punyamu sedikit lagi akan habis. Habiskan, tanggung," lirih Ronald, mengangkat kaleng soda itu dan masih terasa berisi.

"Aku tidak sanggup." Margaret menggeleng lemah. Sudah banyak kaleng soda kosong di atas meja milik mereka.

"Kalau begitu, aku akan bantu habiskan," kata Ronald, membawa kaleng itu ke bibirnya dan meneguk sisa soda.

"Ini aneh..." gumam Margaret. Kepalanya sedikit pusing. Dia melihat seluruh temannya teler. "Soda yang kita minum tidak mengandung alkohol kan?"

Margaret lalu memeriksa tulisan kandungan di body kaleng soda, dan menemukan tulisan rendah alkohol dengan kadar nol koma. Helaan napas panjang pun berembus dari mulut Margaret setelah memahaminya.

"Soda ini, meskipun rendah alkohol, kalau diminum sebanyak itu sama saja dengan minum sebotol alkohol," keluh Margaret, menyandarkan kepalanya ke belakang dengan lelah. Tidak heran dengan reaksi tubuh mereka yang teler begitu.

"Margaret... Ini tidak seberapa, dibandingkan rasa mabukku kepadamu," gumam Ronald berusaha tetap sadar. Dia tatap Margaret dengan mata sayu.

"Apa maksudmu?" Margaret merasa tidak bisa berkonsentrasi. Dia seperti orang yang mengantuk berat. Jadi, tidak peduli lagi dengan apapun selain ingin tidur.

"Margaret, kau masih yang terindah di mataku," ungkap Ronald. Menempelkan pundak mereka, duduk menghimpit Margaret yang sudah lemas. "Bolehkah aku mencintaimu?" Ronald bertanya nyaris berbisik di dekat telinga Margaret.

"Banyak yang mencintaiku. Terserah kau saja," balas Margaret acuh. Pikirannya terbagi, antara kenyataan dan imajinasi. Margaret tidak bisa membedakan dua hal itu lagi sekarang.

Lalu Ronald menarik tangan lemas Margaret, meletakkan dua tangan gadis itu ke pundaknya. Sementara itu, Jessica melihat mereka dibalik mata sayunya dan tersenyum samar.

"Tolong beri aku ciumanmu," pinta Ronald.

"Huh?" Margaret agak telmi saat ini. Ketika matanya mengerjap, secara ajaib wajah lelaki itu berubah menjadi wajah Morgan di penglihatan Margaret.

"Kau..." Margaret belai pipi Ronald---yang dia kira adalah Morgan. "Aku tidak suka melihatmu bersama gadis lain. Aku ingin marah, tapi aku tahu aku tidak berhak marah."

"Margaret..." Ronald terharu. "Aku tak tahu kau ternyata cemburu padaku." Sudah jelas dia telah salah paham pada Margaret saat ini.

Wajah Margaret memerah. Malu. "Menurutmu, aku ini kenapa sebenarnya?" tanya gadis itu.

"Kau telah jatuh cinta padaku," jawab Ronald. Tapi membuat Margaret berubah sedih lalu memalingkan muka.

"Kau kenapa?" Ronald angkat dagu Margaret, memaksanya untuk bertatapan lagi.

"Aku tidak boleh memiliki perasaan seperti itu..." gumam Margaret menyendu.

"Siapa yang melarangmu? Hatimu berhak atas dirimu." Dibingkainya wajah Margaret dengan kedua tangan. Ronald mendekatkan wajah mereka. "Jangan batasi ketulusan hatimu pada orang yang kau cintai, sekalipun banyak orang yang menentangmu," tutur Ronald dengan lembut.

Margaret terharu. Sesuatu yang tak tertahankan membuat Margaret akhirnya mencium bibir lelaki itu. Ronald tertegun kaget, tapi perlahan dia memejamkan mata dan menikmati ciuman Margaret yang menempel di permukaan bibirnya.

Ini seperti mimpi bagi Ronald. Tapi Ronald sadar bahwa ciuman ini terlalu nyata untuk dianggap ilusi. Entah apa yang terjadi sebenarnya pada sikap Margaret, Ronald merasa sangat senang sekarang. Perasaannya seperti kembang api yang meledak di langit malam. Indah.

Tiba-tiba flash kamera menyala di keremangan ruangan. Cahayanya yang menyilaukan, bagaikan membangunkan kesadaran Margaret karena terkejut. Sontak dia mendorong Ronald, dan matanya memelotot syok menatap lelaki itu yang wajahnya telah berubah kembali ke pemilik asli, sementara otaknya berpikir keras pada tindakannya barusan. Margaret membatin sambil berteriak keras di dalam hatinya.

Kenapa aku mencium Ronald?

Tanpa sepatah kata, Margaret berlari keluar dari kamar karaoke itu. Dia berlari masuk ke toilet. Memutar kran wastafel lalu membasuh bibirnya dengan air, berusaha menghapus jejak ciuman mereka dari bibir ini.

Margaret tidak sudi jika orang lain menciumnya, kecuali orang itu adalah Morgan. Dan, Margaret tahu keinginan hatinya, bahwa yang boleh menciumnya hanya Morgan-- kakak kandungnya yang tersayang.

Sekalian, dia membasuh wajahnya untuk mengembalikan kesadaran secara penuh. Lalu terdiam sejenak menatap wajahnya yang basah di cermin. Margaret ingat, sebelum mereka berciuman, dia melihat lelaki itu sebagai Morgan.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Margaret keluar dari toilet dengan lunglai lemas, seolah-olah nyawanya belum kembali.

Tiba-tiba Margaret tersentak ketika melihat seseorang yang lewat di depannya mirip dengan seseorang yang dikenalnya. Didorong dengan rasa penasaran kuat, Margaret mengikuti siluet yang berlalu cepat di lorong sepi. Hingga dia melihat punggung pria itu masuk ke dalam kamar karaoke.

Langkah Margaret mendekati pintu itu. Dia dengan iseng membuka pintunya untuk sedikit mengintip ke dalam, guna memastikan penglihatannya benar atau salah.

Ruangan di dalamnya remang-remang. Suara musik terdengar sangat berisik dari dalam. Mata Margaret mencari-cari sosok pria familiar itu dari celah pintu.

Dia melihat ada seorang wanita sexy duduk dipangkuan kaki laki-laki. Tatapan Margaret mengerucut tajam. Hingga akhirnya mata hazelnya membulat sempurna, sementara mulutnya tercengang begitu mengetahui siapa laki-laki di sofa itu.

"Ayah..." gumamnya, seketika membekap bibirnya, kemudian berlari sekuat tenaga keluar dari tempat itu.

***

Morgan baru pulang malam itu. Ketika dia masuk ke kamar, dia mendapati adiknya sedang duduk melamun di dekat jendela.

Morgan letakkan tasnya ke kursi, kemudian menghampiri Margaret yang masih diam menatap ke luar jendela. Dia usap kepala gadis itu dengan sayang. "Kenapa jam segini belum tidur?" tanya Morgan bernada lembut, menegur lamunan Margaret seketika.

Akhirnya, tatapan Margaret berpindah ke mata Morgan. Dia tidak bicara, namun sorot matanya yang sendu seakan mengatakan sesuatu. Sayangnya, Morgan tidak menyadari kejanggalan apapun dari adik, selain sikap Margaret yang mendadak berubah lesu dengan memeluknya tiba-tiba.

Margaret peluk erat pinggang Morgan seraya membenamkan wajah di dada keras kakaknya. Morgan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tetapi dia paham bahwa Margaret mengalami sesuatu yang tak menyenangkan.

"Apakah kau bersenang-senang bersama teman-teman tadi?" tanya Morgan. Dia belai rambut panjang Margaret yang terasa halus di jemarinya.

"Semua berlalu baik-baik saja," ucap Margaret menambahkan kebohongan.

"Apa kau sudah makan?" tanya Morgan lagi.

"Aku sudah kenyang." Kali ini jawabannya tidak bohong. Perutnya penuh dengan minuman bersoda. Margaret kehilangan napsu makan walau belum makan malam.

"Aku ke kamar mandi dulu, setelah itu kita tidur," kata Morgan. Margaret melepaskan pelukannya dengan enggan.

Gadis itu  masih duduk di tempatnya ketika Morgan keluar ke kamar mandi dengan penampilan yang lebih segar setelah mandi. "Margaret," panggil Morgan. Namun adiknya bergeming memandang ke langit malam. Sampai saat Morgan mengecup pipi Margaret, gadis itu baru tersadar.

"Kau melamun. Apa kau punya masalah? Ceritakan saja padaku," ujar Morgan. Margaret balas dengan gelengan lemah.

"Kalau begitu, tidur."

"Gendong aku," pinta Margaret manja. Tapi Morgan menyanggupi permintaan tersebut. Dia memindahkan tubuh Margaret ke kasur, membaringkannya dengan hati-hati. Dan ketika lelaki itu hendak beranjak ke kasurnya sendiri, Margaret menahannya pergi.

Dia tatapan mata Morgan dengan memelas. "Aku ingin tidur memelukmu," ucap gadis itu, untuk pertama kalinya meminta hal sederhana ini setelah biasanya Morgan.

***

Cinta Tabu Si KembarHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin