Bab 47 - Akhir

144 21 7
                                    


"Aku harap hari ini berlalu dengan cepat. Kepalaku sangat pusing dengan soal-soal itu," keluh Margaret. Hari ini seluruh kelas mengikuti ujian akhir semester. Margaret tidak cukup percaya diri saat mengerjakan soal ujian akhir.

"Sudahlah, tidak mungkin tidak naik kelas," sahut Lua. "Jadi tidak apa-apa jika dapat nilai buruk di semester akhir untuk kali ini saja." Dia bicara dengan sangat santai seolah tanpa beban. Tidak seperti Margaret yang mengeluh lemas.

"Kau pasti merasa mudah mengerjakan semua soal itu kan?" tebak Margaret, dibalas cengiran Lua yang ceria.

"Tentu saja! Pelajaran sejarah adalah yang paling aku sukai!" Lua ucapkan dengan riang. "Bagaimana denganmu, Jessica?" lempar gadis itu pada teman di sampingnya.

"Aku tidak terlalu pandai dalam pelajaran sejarah, jadi aku hanya mengerjakan apa yang kutahu walau ragu," jawab Jessica.

Selama beberapa hari berikutnya mereka sibuk dengan ujian dan ujian lain yang memusingkan. Hingga hari menegangkan berakhir kurang dari seminggu, Jessica mengajak ketiga gadis itu untuk berkumpul bersama.

"Sebagai perayaan setelah melewati masa-masa suram," jelas Jessica pada ketiga teman kelasnya.

Margaret, Lua dan Ribella mempertimbangkan ajakan pertemuan itu. "Di mana?" tanya Margaret.

"Di rumahku malam ini hanya kita berempat saja. Bagaimana?" kata Jessica.

"Okey, aku tidak punya kesibukan apapun setelah ini," kata Margaret, diangguki setuju oleh dua teman lainnya. Margaret izin pada Morgan melalui pesan singkat tentang rencana ini.

***

Untuk pertama kalinya Margaret, Lua dan Ribella mengunjungi rumah Jessica. Mereka melihat bangunan dua lantai itu dengan perasaan terkesan. Rumahnya bergaya modern, memiliki kaca besar di lantai dua, halaman depan luas ditumbuhi tanaman bunga, serta garasi mobil berisi selusin kendaraan roda empat yang tampak mahal.

"Wah, Jessica, kau kaya juga ya," celetuk Lua mengagumi kemewahan di sekitar.

"Ah, kau ini. Semua orang di sekolah kita juga kaya, kan? Aku yakin kalian bahkan memiliki rumah yang lebih mewah," sahut Jessica merendah diri.

Mereka kemudian masuk ke dalam rumah. Ruang tengahnya luas dan sepi. "Ayo naik ke kamarku. Kita bikin pesta kecil-kecilan untuk kita bertiga saja," ajak Jessica.

"Loh, siapa yang kau bawa, Jessica?" Seorang wanita muncul dari atas tangga, menuruninya dengan langkah anggun seperti penampilannya.

"Dia ibuku," kata Jessica mengenalkan pada ketiga temannya. "Mereka teman-teman sekelasku. Kami akan merayakan berakhirnya ujian akhir semester kami malam ini di kamarku," jawab Jessica.

"Apa kalian menginap?" tanya ibu Jessica.

"Sepertinya tidak. Karena kami tidak membawa persiapan untuk menginap," ujar Margaret.

Ibu Jessica hanya tersenyum, menatap para gadis muda itu. "Jangan pulang terlalu malam. Pastikan kalian hubungi orang yang akan menjemput kalian," kata wanita baya itu. "Selamat bersenang-senang, ladys." Kemudian melenggang pergi sambil menenteng handbag channel.

"Ibu mau kemana? Kapan pulang?" tegur Jessica sesaat sebelum ibunya membuka pintu.

"Bertemu dengan teman-teman ibu. Nikmati saja pesta kecilnya. Ibu takkan mengganggu kalian." Dia melempar senyum manis lalu menghilang dibalik pintu.

Jessica menghela napas. "Ibuku suka sekali berkumpul dengan teman-temannya sampai jarang pulang." Dia menggelengkan kepala.

"Bukankah kau juga sama seperti ibumu, Jessica? Suka berkumpul dengan teman-teman," komentar Margaret.

"Ah, kau benar." Jessica menyengir. "Tapi aku begitu karena aku kesepian di rumah sebesar ini." Nadanya mengeluh dengan ekspresi murung.

***

"Kalian habis dari mana larut malam begini?" Ayah menegur ketika melihat kedua anaknya baru masuk ke rumah pukul sepuluh malam lebih.

"Itu bukan urusan ayah!" ketus Margaret, masuk ke kamar. Dia sebenarnya baru pulang dari rumah Jessica, dengan dijemput Morgan naik taksi. Ya, naik taksi jauh-jauh ke rumah Jessica hanya untuk menjemput Margaret, dalam perjalanan satu jam bolak-balik, berhubung karena Morgan sendiri tidak bisa mengendarai mobil terbentur usia yang belum memenuhi syarat.

"Apa-apaan sikap mereka?" Ayah terkejut. Sebab sebelumnya dia tidak pernah mendapat sikap acuh nan dingin dari kedua anaknya. Tidak hanya Margaret yang menunjukkan wajah cemberutnya terang-terangan pada ayah, tapi juga Morgan yang bersikap sedingin es di kulkas padanya belakangan ini.

Kendati demikian, beliau memahami alasan mereka berubah seperti itu. Dia akui bahwa semua ini karena kesalahannya sendiri. Kesalahan napsu yang membara pada orang yang salah.

Sementara itu di dalam kamar, Margaret melepas mantelnya dan menggantungnya di dalam lemari. "Apa kau sudah menemukan identitas selingkuhan ayah?" tanya Margaret saat membuka pakaian, menyisakan pakaian dalam lalu mengambil setelan piyama dari lemari.

"Ya. Dia wanita kaya, lebih kaya dari keluarga kita," jawab Morgan berkacak pinggang dengan ekspresi berpikir. "Ini aneh sekali. Sepertinya hubungan mereka sudah dekat sejak lama." Morgan berasumsi.

"Yang namanya perselingkuhan pasti sudah saling kenal lama," sambung Margaret setelah menurunkan piyama dari kepalanya, dan selesai berpakaian.

"Bagaimana ujian akhir tadi? Tidak lama lagi kau akan naik kelas menggantikan diriku," ucap Morgan.

"Sebagian besar yang aku kerjakan cukup mudah, walau ada beberapa soal pelajaran lain yang membuatku harus menghitung kancing dan mengarang jawaban." Dia berjalan ke jendela, menutup tirai itu. Tiba-tiba sepasang lengan Morgan melingkari perutnya dari belakang. Margaret terkejut tapi hanya mematung membiarkan.

"Aku akan sangat merindukanmu," bisik Morgan. Dia mengusap leher Margaret dengan hidungnya.

"Kenapa? Kita akan selalu bersama kan?" Margaret bertanya dengan perasaan takut.

"Aku akan melanjutkan kuliah, sedangkan kau akan melanjutkan sekolahmu sampai selesai." Ucapan Morgan tidak salah. Itu fakta yang akan mereka jalani. Terlebih Margaret tahu kalau beberapa hari ini kakaknya sedang sibuk-sibuknya mengikuti ujian seleksi masuk kampus bergengsi.

"Aku takkan menghalangimu untuk pergi kuliah. Sebaliknya, aku pasti akan menyusulmu dalam satu tahun lagi," pungkas Margaret sambil menyentuh sisi wajah Morgan yang bersandar di pundaknya.

"Aku akan sering menemuimu di luar jam kuliah nanti," ujar Morgan.

"Jangan. Itu akan mengganggu pembelajaranmu. Aku juga pasti sekolah seharian. Kita akan bertemu setiap hari libur saja, bagaimana?" Mereka merencakan masa depan yang sudah terlihat di depan mata.

"Apapun akan aku lakukan untuk kita berdua," kata Morgan. Mengecup bibir Margaret. Kemudian Margaret berbalik badan, meletakkan kedua tangannya di leher Morgan dan mereka kembali berciuman dengan lembut.

Morgan melepas ciuman itu sejenak lalu menempelkan dahi mereka. Di bawah lampu kamar yang terang, tatapan mereka beradu dalam embusan napas cinta terlarang. "My Maggie, ketahuilah, hanya kau yang kumiliki di dunia ini." Morgan berbisik setulus hati.

"Aku juga." Margaret tersenyum, mencium Morgan sambil memejamkan mata.

Tampaknya keharmonisan di rumah hanya berlaku bagi Morgan dan Margaret. Jika mereka berdua tidur saling berpelukan dalam kehangatan bersama, maka menyedihkannya ketika orang tua mereka justru tidur dengan saling memunggungi satu sama lain dengan jarak sejauh yang mereka bisa.

***

Cinta Tabu Si KembarWhere stories live. Discover now