Bab 50 - Berpisah

168 19 7
                                    

"Kau sungguh akan pergi?" Pertanyaannya menyiratkan ketidakrelaan Margaret. Dia melihat kakaknya sedang mengemasi barang-barang ke dalam koper.

Hari ini, Morgan pergi ke luar kota karena telah diterima di salah satu kampus ternama. "Ya. Itu tidak jauh dari kota kita," kata Morgan. Kabar diterimanya dia di kampus besar bernama Oxford University menjadi kebanggaan orang tuanya. Mereka siap menggelontorkan dana untuk pendidikan putera kesayangan.

Namun, berita itu justru membuat Margaret sedih karena mereka harus berpisah. Meskipun dia juga turut senang atas kabar tersebut. Padahal, baru semalam mereka asik bercinta, sekarang dirinya merasa dicampakkan oleh Morgan.

"Sebenarnya kau sudah tahu akan pergi kemana dan kapan, bukan? Kenapa baru sekarang kau memberitahuku? Kalau begini, aku syok." Margaret agak marah pada Morgan karena memberitahukan keberangkatannya mendadak.

"Maaf, Margaret. Aku tak ingin membebani pikiranmu. Tapi aku sudah berdiskusi panjang dengan ayah setelah tahu aku diterima di dua kampus besar. Akhirnya kami putuskan untuk ke Oxford."

"Bagaimana jika aku merindukanmu?" tanya Margaret.

"Telepon aku." Morgan menutup resleting kopernya dan bangkit, menatap Margaret dengan sendu. Dia menghela napas, lalu mengambil sesuatu dari laci meja. Sebuah kotak yang ketika dibuka adalah kalung silver.

"Ini untukmu." Dia tunjukkan kalung berbandul diamond itu di depan mata Margaret yang berbinar. "Berbaliklah, aku akan pakaikan."

Margaret menuruti dengan memutar tubuhnya memunggungi, kemudian Morgan memakaikannya ke leher gadis kesayangan. "Saat kau rindu, ingatlah kalung ini di lehermu," ujar Morgan. Hampir akan mencium leher jenjang Margaret kalau saja pintu kamar tidak terbuka tiba-tiba oleh ibu.

"Apa kau sudah siap?" tanya ibu.

Morgan berbalik dan melempar senyum ringan. "Ya. Aku sudah siap."

"Bagus, ayo cepat. Nanti ketinggalan kereta."

Mereka sekeluarga mengantar Morgan sampai di stasiun. Stasiun kereta Heathrow Express selalu ramai di jam sibuk. Orang-orang berlalu di sekitar mereka. Ayah maupun ibu merasa haru untuk melepas putera sulungnya ke luar kota yang jauh.

Sebelum kereta berangkat, Morgan memeluk mereka bergantian, dimulai dari ayah, lalu memeluk ibu yang menahan tangisnya, kemudian berhenti sejenak saat menatap Margaret yang tampak memaksakan senyumnya walau sebenarnya ingin menangis. Morgan segera memeluk adik itu. Dia peluk lebih lama dan lebih erat, dibalas Margaret.

Margaret hirup dalam-dalam aroma parfum kakaknya agar dikenang selalu. Begitu suara pengumuman terdengar, Morgan mengurai pelukan mereka. Mengusap kepala Margaret dengan rasa sayang yang tak pernah luntur.

"Kau harus belajar yang rajin. Jangan menyusahkan orang tua kita." Morgan memberi pesan terakhir, sebelum beranjak masuk ke dalam kereta yang berhenti di belakangnya.

Margaret melambaikan tangan. Tidak hanya orang tua mereka yang berat hati mengantar Morgan pergi untuk waktu lama, Margaret lebih merasa tersiksa dan tidak tahu lagi dengan masa depan mereka berdua setelah perpisahan ini.

***

Margaret tidak langsung pulang ke rumah, dia minta diturunkan di kafe tengah kota untuk bertemu teman-temannya. Sementara ayah dan ibu terus melaju pergi menuju rumah.

Setibanya di rumah, ibu beres-beres rumah. Dia masuk ke kamar mandi anaknya dan mengambil pakaian kotor. Namun, setelah keluar dari kamar mandi, berniat mencuci seprai kasur Morgan, perhatiannya tertegun pada ranjang Margaret. Seprai putih anak perempuannya tampak kusut, terdapat jejak basah yang melebar, persis seperti bekas ngompol.

Mendadak perasaan ibu resah. Dia bingung. Mengapa dan apa yang terjadi pada Margaret semalam sampai seprainya basah begitu. Tidak mendapat dugaan pasti, dia langsung menggulung seprei Margaret untuk dicuci.

Saat itu ayah pamit pergi ke luar setelah mendapat pesan. Dia menggunakan mobil meninggalkan rumah.

Mobilnya memasuki basemen apartemen mewah. Di lift, dia naik ke lantai lima belas. Lalu masuk ke salah satu pintu dengan menekan kode sandi yang diketahuinya.

Pintu terbuka. Dia melangkah ke dalam unit apartemen yang tampak luas. Segera menemukan seorang wanita cantik di sofa, sedang meneguk anggur merahnya. Penampilannya begitu sexy dengan hanya mengenakan lingerie merah, kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih.

"Sayang." Pria mana yang tidak tergiur dengan penampilan wanita yang sesexy itu? Dia langsung menghampirinya, bersemangat.

Wanita itu lalu meletakkan gelas anggurnya ke meja. Dia menoleh. "Kenapa kau lama sekali datang ke sini, Albert?"

"Aku harus mengantar putera sulungku ke stasiun. Kenapa kau memanggilku?" sahut Albert duduk di sampingnya.

"Kenapa kau masih bertanya?" balas wanita bernama Laurent. Dia cium Albert lebih dulu. Mendorong pria itu berbaring ke sofa dan menguasai tubuh Albert yang masih kokoh.

"Hubungan kita hanya untuk mencinta, Albert. Jika aku memanggilmu, tidak lebih hanya untuk berkencan di kasur," gumam Laurent.

"Kenapa kau masih ingin bercinta denganku? Masih banyak pria lain yang lebih muda dan bagus dibanding diriku." Albert bertanya, dan Laurent bangun dari atasnya.

"Kenapa?" Laurent bicara dengan nada manja, seraya membelai celana Albert dan merasakan pusakanya sudah mengeras dibalik celana panjang itu. "Aku menyukai benda ini di dalam diriku. Aku sangat suka. Kau yang terbaik dalam hal seks, Albert," ucapnya jujur.

"Bagaimana dengan anakmu?" Albert kembali bertanya.

"Anakku sudah besar. Dia juga tidak peduli aku berkencan dengan siapa. Aku juga tidak ikut campur urusan pribadinya yang mungkin berkencan dengan kekasihnya di luar sana," kata Laurent sambil membuka belt pria itu.

Albert menghela napas berat. "Aku tidak menyangka kita akan terjebak dalam hubungan panas seperti ini. Kau yang merupakan primadona kampus, kini bertekuk lutut di hadapanku yang pernah menjadi jongosmu."

"Kehidupan tidak ada yang tahu," sahut Laurent sebelum memakan tongkat milik Albert.

***

Cinta Tabu Si KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang