56- jatuh menunggu giliran

2.5K 118 9
                                    


Begitu Renanda merebahkan tubuhnya diatas kasur, ia tersenyum seraya menghapus air mata yang jatuh ke pipinya. Meskipun rasa sukanya terhadap Sean belum besar namun rasa sakit yang ia rasakan tetaplah ada, ia bingung benar bingung terhadap apa yang terjadi.

Renanda kembali tersenyum, "katanya suka, katanya gue yang dia tunggu, katanya gak mau gue disakitin sama Angkasa, katanya gue satu satunya. Tapi apa? Semuanya cuma pura pura,"

Lalu tiba tiba suara notifikasi dari ponselnya membuat ia beranjak, tepat saat itu Renanda mengerutkan alisnya bingung karena pesan yang berada didalamnya. Nomor yang masuk juga bukan nomor yang dikenalnya, "maaf?" tanya Renanda pada dirinya sendiri.

"kenapa orang ini tiba tiba bilang maaf? Ini Sean?" lanjut Renanda

Notifkasi kembali masuk lagi, masih dengan pengirim yang sama jelas membuat Renanda terburu buru membacanya.

Maaf kalau saya ikut campur ke kehidupan kamu.

"aneh ih, salah kirim kali." Ucap Renanda

Kamu Renanda kan? Saya gak mungkin salah kirim. Jangan takut terganggu, kapasitas mengirim pesan kepada kamu hanya tiga kali dalam sehari dan itu jelas tidak akan membuatmu rishi karena ini berhubungan dengan kehidupanmu. Ini pesan terakhir, karena saya sudah mengirim pesan padamu sebanyak tiga kali, untuk kamu sekali lagi saya minta maaf

"fix! Ni orang gak ada kerjaan sampe ngurusin hidup orang lain." Renanda lalu menyimpan kembali ponselnya diatas nakas, setelah itu ia teringat dengan pesan yang baru dibacanya tadi. Ia kemudian mengambil ponselnya dan kembali membaca pesan terakhir dari seseorang yang masih tidak ia ketahui identitasnya. Begitu ia membaca, jelas ia terkejut karena seseorang itu tau dengan perkiraannya, ia pikir seseorang tersebut salah kirim namun bersamaan dengan itu ia membalasnya dengan mengatakan kalau dirinya tidak salah kirim.

"ih merinding!" ucap Renanda.

...

Renanda kini sedang berdiam diri di balkon, matanya menatap lurus ke layar ponselnya yang kini menampilkan kalimat yang membuatnya bingung. Baru saja bangun Renanda sudah disuguhkan dengan pernyataan yang membuatnya bingung, sudah beberapakali ia membaca ulang kalimat yang ada pada layar ponselnya dan berulangkali juga ia merasakan bingung. Isi pesan itu seperti perumpamaan, namun menurutnya ini bukanlah perumpamaan tapi teka teki yang harus dipecahkan.

Jatuh, menunggu giliran. Entah karena angin atau keinginan, yang coklat biasanya berjatuhan yang hijau hanya bergelantungan. Berteduhlah disana, dijalan buah batu tempat dimana kau terjatuh dulu.

Tidak mau ambil pusing terhadap pesan yang ia terima dari seseorang yang entah siapa pengirimnya, Renanda akhirnya memilih untuk tetap berada di balkon sambil menikmati udara segar pagi hari. Saat matahari mulai membuatnya mengeluarkan sedikit keringat, ia masuk kedalam kamar dan berdiam diri terlebih dahulu disana. Sat ia duduk dan sedikit memikirkan sesuatu, ia meraih ponselnya dan mengirimkan pesan kepada seseorang. Renanda kemudian masuk ke kamar mandi setelah mendapatkan balasan pesan yang ia terima, saat mendapatkan balasan itu, ia ingin menyelesaikan semuanya benar benar keseluruhannya. Bahkan waktu yang sudah ditentukan oleh kedunaya beberapa menit lagi tidak membuatnya gentar, Renanda keluar kamar mandi dan langsung memakai baju dan meraih topi serta tas selendangnya yang ia pakai untuk menyimpan ponsel dan juga beberapa alat rias yang sepertinya akan ia pakai ketika dimobil.

Ia kemudian menuruni tangga dengan cepat sambil memasangkan jam tangannya, di ruang tengah terlihat ada kakeknya dengan Koran yang menemaninya setiap pagi. Renanda kemudian berjalan mendekati kakeknya untuk berpamitan, saat itu juga kakeknya mengiyakan dengan syarat diantar oleh Akang. Mana bisa Renanda menolak apa yang diinginkan kakeknya itu, ia kemudian hanya memgangguk dan setelahnya masuk kedalam mobil yang dikendarai oleh Akang.

"mau ketemu a Sean ya neng?" tanya Akang tiba tiba.

Renanda mencoba untuk tidak peduli terhadap apa yang dirasakannya kini, ia memilih tersenyum dan berkata sesuatu yang tidak membuat Sean atau dirinya berada dalam suatu masalah. "iya nih kang,"

"akang boleh nanya ngga neng?"

"oh, boleh kang. Asal satu syarat nih,"

"apa sok syaratnya?"

"akang ngebut, soalnya Rere udah telat."

"oke, siap!"

Setelah itu benar saja mobil yang dikendarai oleh Akang bergerak cepat meninggalkan orang yang tadinya berada dibarisan terdepan, bukan hanya itu tetapi Akang juga membunyikan klakson mobil membuat Renanda kadang tertawa sebentar, namun saat dalam keadaan lampu merah ternyata Akang bertanya.

"Akang kan mau nanya, emangnya a Sean itu pinter ngeramal ya?"

"hah? Ko Akang tau?"

"wah! Jadi bener bisa ngeramal?"

"bukan meramal sih kang, lebih ke tau aja apa yang bakal terjadi."

"waktu neng nanya kemarin ke mang itu disuruh a Sean?"

"loh emangnya Sean bilang apa?"

"dia sebutin satu satu pakaian yang bakal neng pake, terus katanya neng juga bakal nanya sama Akang soal penampilan neng."

Renanda tersenyum begitu pikirannya melayang dimana saat Sean menyuruhnya untuk tidak berjalan ke kebun teh karena ia melihat sesuatu yang akan terjadi padanya, belum lagi ketika ia bilang aka nada hujan dan ia harus membawa jaket, atau mungkin saat dimana Sean menyuruhnya untuk tetap diam diruangan paskibra jika ia belum datang. Apa yang dilakukannya memang menjurus kepada hal hal yang tidak ingin membuatnya terluka dan celaka namun entah mengapa kini pikirannya mengarah pada hal kemarin, dimana untuk pertama kalinya ia melihat Sean merupakan seseorang yang tidak benar benar menjaganya sepenuhnya.

"neng,"

"eh, iya kang?"

"sudah nyampe neng, ngelamun aja atuh."

Renanda tersenyum untuk membalas pernyataan yang diberikan oleh Akang, "kang kalo mau pulang, pulang aja. Gapapa ko,"

"Akang tunggu disini aja ya neng?"

"yaudah itu gimana Akang, kalo gitu Rere tinggal ya kang."

Setelah itu Renanda turun dari mobil dan berjalan cepat masuk kedalam café, ia kemudian menolehkan kepalanya kekanan dan kekiri untuk mencari dimana seseorang tersebut berada. Lalu ia menemukannya, seseorang yang kini memakai jaket abu gelap itu rasanya ingin ia peluk lalu saat itu juga ia mengakhiri ketidakmungkinan yang terjadi kemarin. Namun begitu matanya bertabrakan dengan dia, lagi lagi Renanda harus menerima keadaan yang pahit. Menyakitkan, tatapan yang tadinya sangat meneduhkan dan menenangkan kini harus berubah menjadi tatapan yang melukai. Tanpa sadar kini Renanda sudah berada didepannya, baru saja ia duduk rasanya tangan yang kini sedang berada diatas meja café itu ingin sekali ia sentuh dan genggam sama seperti sebelumnya.

"ada apa? Gue gak bisa lama lama." Suara mengintrupsi dengan nada yang dingin dan juga menghunus kedalam hati.

"aku mau ngajuin beberapa pertanyaan."

"tujuh pertanyaan maksimal,"

"no!, aku butuh banyak jawaban."

"enam,"

"please, Sean."

"oke, lima."

"oke oke! Deal, lima."

Laki laki itu mengangguk lalu meminum kopi yang sudah terlihat sedari tadi berada diatas meja, tidak ada lagi harapan yang mungkin sedikitnya menyenangkan dan mungkin menenangkan. Apalagi kalau bukan sekedar pertemanan bukan kebencian, setidaknya ada satu gelas berisikan minuman yang sudah dipesankan oleh Sean untuk ia minum. Bukankah seharusnya begitu? Namun itu hanyalah harapan, pertemanan ternyata tidak terjadi sesaat sesudah menjadi mantan.

"pertanyaan yang pertama, apa yang mau kamu tanyain ke aku? Jangan protes, kamu tinggal jawab."

"bisa lepas topinya? Gue gabisa liat wajah lo kalo gini," ucapnya sambil menunjukkan topi yang kini dipakai Renanda.

D R E A M [Completed]Where stories live. Discover now