Last part

4.6K 140 42
                                    

Cahaya menusuk masuk kedalam matanya, rasa pusing langsung melanda kala itu. Sakit di badan nya tak kunjung hilang, bahkan pengharum ruangan tidak membuat aroma kimia hilang dalam ruangan.

"Renanda! Syukurlah. Dokter dokter!"

Lalu tidak lama datang suster dan juga dokter masuk ke ruangan milik Renanda.

"Berisik tau!"

"Kamu baru siuman."

"Gak mau, Rere mau pulang aja."

"Disini dulu ya sebentar." Ucap dokter

"Aku disini karena Yuda ya? Dasar jahat! Ku kira dia baik."

"Yuda? Siapa dia?" Tanya ayah Renanda

"Yuda, temannya Angkasa. Dua duanya memang tidak baik! Jahat!."

Dokter hanya memberikan kode kepada Ayah Renanda untuk mengiyakan saja, "Ya sudah, kamu mau apa? Biar ayah bawakan."

"Aku mau pulang ayah! Mau pulang sekarang!"

"Kamu belum bisa bergerak terlalu banyak, nanti tangannya sakit." Ucap dokter

Renanda mengerutkan kening, lalu ia mengarahkan pandangannya kepada tangan sebelah kirinya. Seketika tawa Renanda menggelegar, "Kenapa aku gak mati aja dok? Hahaha."

"Tenanglah Renanda."

Lalu sedetik kemudian Renanda menangis dengan kencangnya, "Novelku mana?! Mana! Aku capek tahu nulis begitu!"

"Renanda tenang kamu harus tenang!"

"Aku tenang kalau Sean datang!"

"Sean siapa?"

"Pacarku yang baru, pacar Renanda."

"Kamu punya pacar nak?" Tanya ayah Renanda.

Renanda menggeleng, "Ayah ini lupa apa bagaimana? Sean kan sering ke rumah ayah. Itu loh ayah, anaknya Katya sama Raynald."

Seketika Ananta mengerti, novel yang dia pertanyakan tadi adalah novel miliknya yang mempunyai tokoh bernama Katya dan Raynald. Novel yang dibawa kabur oleh orang yang tidak bertanggung jawab, padahal cita cita nya hanya ingin menjadi penulis.

Seharusnya ia mengerti, mana mungkin dengan keadaan seperti ini Renanda bisa mempunyai pacar.

"Aku tidur saja yah, soalnya Sean akan datang nanti."

"Kenapa tidur?"

"Tidak tahu, Sean senangnya datang saat aku tidur bukan saat aku bangun. Makanya aku ingin mati."

Ananta, dokter dan beberapa perawat merasakan sedih sekaligus miris dengan keadaan gadis yang sudah setahun lamanya berada di rumah sakit jiwa.

"Kamu menggores tangan kamu pakai apa?" Tanya Ananta

"Pakai pisau."

"Pisau? Kamu punya pisau di kamar?"

"Tidak."

"Lalu kamu memakai pisau punya siapa?"

"Punya temanku, namanya Devan. Dia sangat suka katanya kalau lihat luka. Sudah ah aku mau tidur, biar Sean cepat datang."

Kemudian Renanda menggerakan dirinya agar posisinya nyaman, selimut yang berada di kakinya ia tarik menutup hingga sebatas perutnya.

"Itu berarti, Sean hanyalah fiksi di mimpinya saja pak." Ucap dokter kepada Ananta.

"Pantas saja akhir akhir ini dia banyak tidur dan lebih tenang dari biasanya."

"Sebaiknya tidak usah memberi tahu kepada Renanda, ia bisa saja drop pak dan selanjutnya dia bisa lebih parah lagi dari ini."

Ananta mengangguk kepada dokter, lalu ia menoleh kepada anaknya. "Devan suka datang dimimpimu nak?" Ucap Ananta seraya mengelus kepala Renanda.

"Devan tidak datang di mimpiku, dia hanya datang ketika aku bangun."

Ananta hanya punya satu informasi dari kalimat yang diucapkan Renanada tadi, "Kamar Devan dimana?"

"Persis di depan kamarku yah, dia senang sekali dengan warna merah loh yah."

"Yasudah, kamu tidur saja nak. Kamu mau kan Sean datang?"

Renanda mengangguk dan bertepuk tangan karena senang. Gadis itu harusnya berada di kamar yang semestinya, tertidur di kasur yang biasanya. Hanya saja percobaan bunuh diri yang dilakukannya semalam, membuat Renanda berada diatas kasur rumah sakit yang tentunya berisikan orang yang jiwanya tengah sakit.

Kemudian Ananta meraih ponselnya, mencari kontak seseorang disana. Tidak lama, suara terdengar dari arah berlawanan. Ananta terkejut, ternyata pihak rumah sakit jiwa tengah mencari seseorang yang kini ia cari juga. Devan.

Devan hilang dengan kegilaannya akan luka, kegilaannya akan warna merah, dan kegilaannya dalam melukai orang lain.

D R E A M [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang