Antara senang dan sedih

233 22 0
                                    

Jam sudah menunjukan pukul 17:30 sore, gadis tomboy tersebut masih saja bermain-main di bawah air hujan. Tak merasa takut karena suara petir terus saja terdengar, tak merasakan kedinginan karena selama satu jam ia bermain-main hujan.
Ia merentangkan kedua tangannya, menikmati setiap bulir-bulir air hujan yang menerpa tubuhnya.

Ia mendongakan kepalanya menatap langit jingga yang terus saja menjatuhkan air dari atas langit.
Hujan, merasa tau jika saat ini Raina sangat membutuhkan surga sebulir air untuk turun kepermukaan.

"Rain!"

Raina menghentikan aksi menari-nari di bawah hujan. Ia menatap ke sumber suara, walaupun tidak terlalu dapat melihat dengan jelas. Raina tahu siapa pemilik suara indah tersebut, sudah berdiri sesosok pria paruh baya berusia 40 an yang sudah menenteng sebuah handuk di tangannya.

"Udahan yuk main hujannya," Kata pria tersebut dengan lembut.

"Lima menit lagi yah!" Teriak Raina karena suaranya kalah oleh derasnya hujan.

"Nanti kamu sakit, ayah gak mau ya putri ayah nanti sakit."

Raina tak bisa membantah perkataan sang ayah, Raina mendongakan kepalanya sebentar ke arah langit kemudian tersenyum, "terima kasih."

Raina segera berlari kecil menuju sang ayah yang berada di pintu rooftop.

"Cepet mandi ya!" Ilham--ayahnya Raina menyampirkan handuk yang tadi ia bawa ke bahu Raina.

"Siap!" Raina mengangkat tangan kanannya layaknya seperti hormat.

Ilham hanya tersenyum saja melihat kelakuan putrinya yang tidak pernah berubah dari dulu.

"Ayah buatin susu buat kamu dulu ya!" Teriak Ilham karena Raina sudah berlari menuju kamar mandi.

Tak butuh waktu lama bagi Raina, Raina sudah keluar dari dalam kamar mandi dengan menggunakan baju santainya. Ia nampak sedang mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Kemudian ia berjalan ke arah nakas untuk melihat benda pipih kesayangannya itu.

"Sini rambutnya ayah sisir." Raina menoleh ke sumber suara. Mendapati sosok sang ayah yang tengah berdiri di ambang pintu. Raina menganggukan kepalanya, lantas ia segera duduk di pinggir kasur.
Raina membelakangi sang ayah, ia menikmati lembutnya tangan sang ayah ketika sedang menyisiri rambutnya. Raina jadi ingat, dulu, ketika Raina masih duduk di bangku sekolah dasar kelas lima. Setiap berangkat sekolah rambut panjang Raina pasti selalu disisir oleh bunda, karena memang Raina tak pandai dalam mengurus rambut. Suatu hari,r Raina berteriak senang akhirnya ia bisa menyisir dan mengikat rambutnya sendiri.

"Bunda Rain udah bisa sisir sama iket rambut Raina sendiri," Kata anak perempuan sambil berlari menuju dapur.

Elsa yang tengah memasak pun segera menghampiri anaknya kemudian tersenyum, "Pinter anak bunda, nanti harus pandai ya mengurus rambut sendiri," Kata Elsa sambil membelai pipi mulus Raina.

"Sudah." Raina memutar tubuhnya menghadap ke arah sang ayah.

"Cantik putri ayah " Ilham mengusap lembut rambut basah Raina.

"Ayah sakit?" Tanya Raina.

Ilham menggeleng kemudian tersenyum, "Enggak. Mungkin karena cuacanya dingin."

"Ayah mau Raina peluk?"

"Sini." Ilham merentangkan tangannya kemudian memeluk tubuh mungil putrinya tersebut. Sudah lama sekali Ilham tak memeluk putrinya ini, dulu, ketika ia dan Elsa masih bersama setiap pulang kerja Ilham pasti selalu memeluk tubùh putri kecilnya itu.

"Rain, nanti, kalau kamu main ke sini pake jilbab kamu ya. Kamu lebih cantik pake jilbab," Kata Ilham sambil mengelus-ngelus rambut Raina.

"Iya ayah." Raina mendongak menatap wajah sang ayah yang mulai keriput, rambut yang sudah ada ubannya. Namun ayahnya masih tetap tampan di mata Raina.

We Are Forever ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang