Ini Salah

116 11 4
                                    

Mobil yang dikendarai oleh Erik sampai di tempat tujuan, ke-enam orang tersebut segera turun. Mereka berdiri tepat di depan sebuah pagar tinggi yang tertutup rapat. Rumah megah yang ada di depan mereka nampak sangat sepi, tidak ada tanda-tanda ada penghuninya di dalam. Aksa melangkah melihat-lihat halaman rumah lewat celah-celah pagar.

"Ko sepi?" Tanya Ayu.

"Ini beneran rumah Om Ilham kan?" Tanya Rean.

Semuanya pun mengangguk, mereka betul-betul sangat tahu dimana letak kediaman Om Ilham dan tujuan mereka memang benar, namun mereka sama sekali tidak melihat adanya satu penghuni pun di rumah megah tersebut. Rumah tersebut benar-benar terlihat sangat sepi. Di halaman depannya pun banyak sekali daun-daun yang berjatuhan seperti sudah lama tidak dibersihkan.

Siska melihat ada seorang wanita paruh baya. Siska menghentikan wanita tersebut.

"Bu."

Wanita itu menoleh, "Ada apa Neng?" Tanya Wanita itu ramah.

"Ibu kenal sama pemilik rumah ini?" Tanya Siska sambil menunjuk rumah megah milih Om Ilham.

Wanita itu mengangguk, "Saya tetangganya Neng. Kalian ada perlu apa ya?"

"Kami kerabatnya Pak Ilham, kedatangan kami ke sini untuk berkunjung. Tapi ko rumahnya sepi?" Jawab Ify.

Wanita itu terdiam, membuat semua orang menatap ke arahnya dengan tatapan bingung.

"Kenapa kalian tidak datang?" Tanya wanita tersebut dengan suara yang terdengar sangat parau.

"Maksudnya?" Tanya Ayu.

"Kemarin Pak Ilham meninggal," jawab wanita itu yang langsung membuat ke-enam remaja tersebut terkejut bukan main. Bahkan Ayu sampai tidak bisa lagi menahan bobot tubuhnya, Ayu terduduk menyenderkan punggungnya ke pagar. Detik itu juga isak tangis Ayu terdengar.

Ify segera menghambur memeluk tubuh Ayu diikuti Oleh Siska.

Ayu menenggelamkan wajahnya di antara kedua kakinya yang ditekuk.

"Bu, saya butuh jawaban yang benar!" Aksa nampak begitu marah, membuat wanita itu beringsut ketakutan. Rean segera menahan tubuh Aksa, memberikan elusan lembut di punggung laki-laki itu agar Aksa bisa menahan amarahnya. Karena ini bukan saatnya untuk marah-marah.

"Jika memang kalian kerabat dekat Pak Ilham, lalu kemarin kalian kemana saat Pak Ilham meninggal?" Tanya wanita itu.

"Lalu dimana keberadaan yang lainnya?" Tanya Erik.

"Istri beserta anak-anaknya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Rumah ini sudah dijual, kebetulan sudah ada yang membelinya," jawah wanita itu.

"Raina dimana?" Tanya Siska, Rean segera berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Siska. Wajah putih Siska sudah memerah, air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi mulusnya. Rean segera memeluk erat tubuh Siska, jika Siska dibiarkan stress, itu akan sangat berpengaruh untuk bayi yang ada di perutnya.

"Raina anak Pak Ilham yang dari jakarta?" Tanya wanita itu yang langsung diangguki oleh mereka.

"Yang saya tahu, Raina ikut bersama salah satu teman laki-lakinya. Saya tidak tahu dia pergi kemana. Kalau begitu saya permisi." Wanita tersebut segera melenggang pergi.

Aksa dan Erik segera menghampiri teman-teman mereka.

Aksa mengusap Bahu Ify dan Ayu yang terus bergetar. Ia sendiri tak menyangka jika akan mendapat kabar semengejutkan ini. Aksa berusaha keras menahan dirinya agar tidak menangis, meskipun ia sendiri bisa merasakan bagaimana sesaknya sehingga untuk bernapas pun rasanya sangat sulit.

We Are Forever ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang