Hujan 2

133 15 0
                                    

Pagi hari, Raina tengah membantu Bundanya menyiram tanaman di halaman rumah. Banyak sekali jenis tanaman yang ditanam Bunda.

Sesekali Raina memainkan cacing-cacing yang ia temui dari hasil ia menggali tanah, dan berakhir lah dengan Bunda yang berteriak-teriak karena ketakutan. Bunda tidak suka cacing. Lebih tepatnya jijik melihat hewan yang berbentuk panjang itu.

"RAINA! BUANG GAK! JANGAN DIMAININ. BUNDA JIJIK!"

Raina hanya tertawa saja melihat ekspresi Bunda. Sekarang jam sudah menunjukan pukul tujuh pagi, Raina dan Bunda pun memutuskan untuk menghentikan aktivitas mereka. Karena Raina juga harus mandi dan Bunda harus menyiapkan sarapan pagi.

"Ayah kemana Bun?" Tanya Raina karena sedari tadi Raina tak melihat keberadaan Ayah.

"Masih di kamar, tidurnya pules banget. Bunda gak enak buat banguninnya," jawab Bunda sambil mencuci tangannya di Wastafel.

"Nah lho. Bunda sama Ayah semalem habis ngapain, buat dedek baru ya?" Raina mencolek lengan Bundanya.

"Enak aja, ngurus kamu sama sodara-sodara kamu aja Bunda udah repot. Apalagi kalau nambah. Bisa botak rambut Bunda."

Raina tertawa, selama sebulan lebih Raina berada di sini, Raina tak pernah melihat keberadaan saudara-saudara tirinya. Karena memang saudara-saudara tirinya tinggal sementara di Bogor tempat kelahiran Ayah.

"Mandi dulu gih. Nanti langsung sarapan ya, Bunda mau bangunin Ayah kamu dulu."

Raina mengangguk, ia segera menuju kamarnya untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Raina tidak suka berlama-lama berada di kamar mandi, sekitar sepuluh menit ia sudah keluar dari kamar mandi dalam keadaan wajah yang terlihat lebih segar.

Kedua kaki Raina melangkah mendekati lemari pakaiannya. Saat membukanya, bibirnya tersenyum kala melihat pasmina yang berbagai macam warnanya, pasmina itu pemberian dari Ayah. Ayah selalu bilang kalau Raina terlihat lebih cantik jika menutup kepalanya menggunakan hijab. Warna hitam menjadi warna yang paling Raina suka, ia meraih sebuah pasmina berwarna hitam lalu ia berdiri di depan cermin.

Entahlah, yang jelas hari ini Raina ingin sekali menggunakan hijab pasmina, nanti ia tunjukan hasilnya kepada Ayah. Pasti Ayah senang.

Raina meraih beberapa jarum pentul lalu meletakannya ke bagian-bagian yang sudah Raina tata, dan jadi.

"Bener kata Ayah, gue lebih cantik kalo pake ginian." Raina tertawa sendiri melihat pantulan dirinya di cermin.

Kemudian ia berlari riang menuju keluar. Karena ia ingin menemui kedua orang tuanya. Namun, yang Raina dapati, Bunda berlari ke arah luar dengan deraian air mata yang membasahi pipinya. Lantas Raina pun segera mengejar Bunda.

"Bunda mau kemana?" Tanya Raina.

Bunda berbalik. Wajahnya terlihat memerah karena menangis, melihat Raina yang begitu cantik mengenakan hijab. Tangis Bunda semakin pecah, Bunda lantas segera memeluk tubuh Raina. Dan Raina hanya diam saja karena ia tidak tahu apa yang terjadi. Raina bisa merasakan pundaknya basah oleh air mata Bunda yang tak kunjung mau berhenti mengalir. Tubuh Bunda bergetar hebat.

"Bunda kenapa? Ayah mana?" Tanya Raina.

Bunda melepaskan pelukannya. Bunda menggenggam erat kedua tangan Raina.

"Rain, dengerin Bunda. Kamu duduk di soffa sampai Bunda balik lagi, Bunda pergi dulu sebentar."

"Tapi kenapa? Ayah kemana?" Tanya Raina.

Bunda tak menjawab, ia lantas segera berlari keluar rumah. Sementara Raina hanya berdiri di ambang pintu, Raina pun memilih untuk mengikuti apa kata Bunda, ia duduk di salah satu Soffa yang ada di ruang tamu. Raina terus mengedarkan pandangannya ke segala penjuru rumah. Aneh rasanya saat memandang rumah pagi ini, suasananya pun terasa berbeda. Tapi Raina tidak bisa mendeskripsikan suasana aneh seperti apa yang ia rasakan. Yang jelas semuanya terasa berbeda.

We Are Forever ✓Where stories live. Discover now