Mencari

123 12 2
                                    

Pagi ini, kediaman rumah Exel yang megah sudah ramai oleh banyaknya orang-orang yang berkumpul di ruang tamu. Di karenakan hari libur, mereka tidak ada kegiatan yang menyibukan sehingga mereka dapat berkumpul seperti ini.

Perut Siska semakin hari semakin terlihat membesar, gadis itu sudah mulai susah untuk melakukan banyak aktivitas. Sahabat-sahabatnya semakin hari pun semakin Over. Melarang Siska ini itu, agar tidak terjadi sesuatu pada kandungan gadis itu.

Meskipun kesal, Siska tetap bersyukur karena sahabat-sahabatnya masih peduli akan keadaannya sekarang.

"Sorry ya. Gue gak bisa ikut. Gue harus ke kampus," ujar Aldi.

"Yo santai," jawab Aksa sambil menepuk pundak laki-laki itu.

"Kayaknya yang ikut gak perlu banyak-banyak deh, biar gue, Aksa, Siska, Ayu, Rean sama Erik yang kesana," ujar Ify.

Yang langsung diangguki oleh semuanya, lagi pula sebagian dari mereka juga ada yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Sementara yang tidak sibuk dengan kegiatannya, memilih untuk menunggu saja membiarkan ke-enam orang itu pergi untuk mencari keberadaan Raina.

Setelah dirasa semuanya siap. Aksa, Rean, Erik, Siska, Ify dan Ayu segera berangkat menggunakan mobil yang dikendarai oleh Aksa. Tempat tujuan yang akan mereka tempuh mampu memakan waktu yang cukup lama, ditambah jalanan yang terkadang macet.

Di dalam mobil. Aksa duduk bersampingan dengan Erik di depan, Ify dan Ayu berada di tengah-tengah, Rean dan Siska berada di paling belakang.

Untuk memecah keheningan. Aksa memutar sebuah lagu yang berhasil membuat Siska, Ify dan Ayu menatap ke arah Aksa yang tampak begitu santai.

"Kenapa lo puter lagu ini?" Tanya Ify.

"Karena ini lagu kesukaan Raina, udah lama Raina gak hadir di tengah-tengah kita. Siapa tau dengan lo semua denger lagu ini, rasa kangen kalian sedikit terobati," jawab Aksa santai.

"Bisa di ganti gak? Gue pengen nangis dengernya." Siska sudah memasang wajah sedihnya, kedua matanya sudah memerah siap untuk mengeluarkan cairan bening dari kedua pelupuk matanya, semenjak perutnya membesar seiring berjalannya waktu. Siska jadi gampang marah, emosi lalu nangis. Tak mudah bagi mereka untuk membuat Ibu hamil itu kembali riang, cukup ribet. Tapi mereka mengerti kalau Ibu hamil wajar mengalami hal seperti itu.

"Iya iya." Aksa segera menggantinya dengan lagu lain.

"Sekarang baru jam delapan, kemungkinan sampe jam sepuluh. Kalau macet jam dua belas kita bisa baru sampe," ujar Erik sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Udah hubungin Om Ilham kalo kita mau kesana?" Tanya Aksa sambil melirik sahabat-sahabatnya

"Belum, nomor Om Ilham kayaknya udah lama gak aktif," jawab Ayu.

Suasana mobil menjadi hening, hanya suara lagu dari radio yang terdengar, Siska memilih untuk memejamkan kedua matanya. Mencari tempat ternyaman di pelukan Calon suaminya--Rean.

Sementara Ify dan Ayu sibuk dengan ponselnya masing-masing.

"Sosmed Raina udah lama gak aktif? Ko gue baru tau." Tanya Ify sambil menunjuk layar ponselnya.

"Selama ini lo sibuk main instagram, kenapa baru tau sekarang kalau sosmed Raina udah gak aktif!" jawab Aksa kesal.

Ify hanya cengengesan saja. Dan gadis itu kembali melakukan aktivitasnya, bermain ponsel.

Aksa yang tidak suka dengan suasana sepi, memilih untuk mengajak Erik berbincang-bincang. Mengobrolkan sesuatu yang menurut mereka menarik. Kadang Erik tak segan menanyakan soal bagaimana dibentuknya hubungan di keluarga Exel, dan tentu Aksa menjawabnya dengan senang hati.

Perjalanan yang mereka tempuh cukup jauh, beruntungnya jalanan tidak terlalu macet hari ini. Terkadang Aksa harus terpaksa memberhentikan mobilnya ketika Siska ingin buang air kecil, atau ketika Ayu merasa mual karena perjalanan yang cukup jauh.

"Udah kalian tidur aja, kalau udah sampe nanti gue bangunin." Erik menggantikan posisi Aksa untuk menyetir, kasihan juga Aksa sedari tadi terus menyetir. Dalam perjalanan, Erik memilih menyibukan diri dengan lagu-lagu yang terputar dari radio. Sementara yang lain sibuk dengan alam mimpinya. Tak sengaja mata Erik menangkap layar ponsel Ify yang menyala. Ada sebuah panggilan masuk.

Erik ingin membangunkan Ify, tapi di lihatnya gadis itu sepertinya sangat lelap tertidur. Untuk itu Erik memilih untuk mengangkat panggilan itu. Ingin menyampaikan pada seseorang di sebrang sana bahwa Ify tengah tertidur.

Erik sengaja memelankan laju kendaraan beroda empat tersebut. Satu tangannya sibuk memainkan ponsel Ify yang ternyata panggilan itu sudah terputus. Namun detik selanjutnya, Erik dibuat terkejut oleh sebuah pesan masuk dari seseorang.

🍁🍁🍁🍁

Seorang laki-laki berpakaian serba hitam tengah berjongkok di sebuah gundukan tanah milik seseorang.

Sudah cukup lama ia berada di tempat ini, ia rasa seribu tahun berada di sini tak akan bisa membuat ia tenang.

Bandi bisa merasakan cairan bening yang keluar dari pelupuk matanya, sesuatu yang dengan keras ia tahan agar tidak timbul. Bandi menundukan kepalanya, detik selanjutnya yang terdengar hanya isak tangis Bandi yang begitu kencang. Tubuh Bandi bergetar begitu hebatnya.

Dalam hati Bandi terus mengucapkan kata Maaf berkali-kali.

Hancur hati Bandi, impian yang sudah ia tata dengan rapih. Perlahan melebur menjadi kepingan-kepingan tak berarti. Setelah ini Bandi tidak tahu harus melakukan apa, di saat seseorang yang selama ini ada di sisinya kini sudah tidak bisa lagi menemaninya.

Bandi semakin terisak, mencengkram erat sebuah nisan seseorang yang amat berarti untuknya.

Rasa menyesal amat sangat Bandi rasakan, Bandi gagal menjaganya, Bandi gagal untuk selalu ada untuknya. Bandi benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Dadanya begitu sesak, seluruh tubuhnya kaku sulit untuk digerakan. Terutama hatinya yang sudah hancur menjadi kepingan-kepingan tak berarti. Lebih baik Bandi terjatuh dari lantai sepuluh ketimbang harus mengalami kejadian seperti ini. Sungguh, siapapun yang berada di posisi Bandi tidak akan kuat.

Hanya saja Bandi teringat dengan apa yang selalu seseorang itu katakan, Bandi harus terus tetap berdiri sekalipun semua orang pergi meninggalkannya.

Bandi menarik napasnya dalam-dalam, berharap hal itu dapat mengurangi rasa sesaknya. Perlahan ia mencoba bangkit berdiri. Ia harus segera  pergi dari tempat ini, ada banyak hal yang harus ia urus. Perlahan namun pasti kedua kaki Bandi melangkah meninggalkan gundukan tanah tersebut dengan perasaan hancur.

We Are Forever ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora