41. Muka Dua

3K 320 89
                                    

Andhira bermaksud mencoba menghubungi nomor Mbok Wagi sekali lagi ketika Agah mencegahnya.

"Sudahlah," kata Agah. "Kamu mulai mencari-cari perkara, Wir. Papa nggak mau ngurusin masalah ini lagi. Bagi papa semuanya sudah jelas!" Pungkasnya sambil menatap Wira.

"Jelas bagi papa doang. Aku juga salah berharap sama papa. Lagian semasa mama masih hidup aja papa gak mau ngurusin, apalagi saat orangnya udah mati!" Jawab Wira.

"Wir... Udah," tegur Yuda. "Hasil pemeriksaan dokter itu akurat. Almarhumah mama Nalini ditangani oleh dokter terbaik dari rumah sakit terbaik pula di sini."

"Apanya yang udah? Aku nggak puas sama ini!" Sergah Wira sambil menunjuk dokumen di atas meja. "Apa sih sekarang yang nggak bisa direkayasa? Fakta apapun bisa diputarbalikkan! Hasil atau keterangan apapun bisa aja dibuat tapi feeling dan hati kecil gak bisa dibohongi. Satu-satunya kebenaran yang aku percaya adalah obrolan Tante sama Mbok Wagi siang itu, kalau ada sesuatu yang buruk Tante sembunyikan!" Ucap Wira berapi-api sambil mengarahkan telunjuknya ke wajah Andhira.

Andhira spontan menyentuh dadanya sambil menoleh ke Agah.

Agah menghembus napas berat. "Ya sudahlah, kalau kamu merasa seperti itu, silahkan kamu cari tahu sendiri.  Papa gak bakal menghalangi kamu. Tapi ingat, jangan kamu buat kegaduhan di rumah ini."

Wira cuma diam. Rahangnya mengeras dengan degup jantung bergerak cepat. Perlahan-lahan ia mengepalkan kedua tinjunya sekuat yang ia bisa.

***

Yuda setengah berlari menuruni tangga saat mendengar bunyi benda pecah dari lantai bawah. Bunyinya cukup keras.

Ternyata bukan Yuda saja yang penasaran dari mana bunyi itu berasal, melainkan asisten rumah tangga yang mendengar juga berlarian menuju sumber suara.

Sebuah vas bunga besar yang dipajang di depan lorong menuju kamar Wira dan Yuda sudah rebah di lantai. Pecahannya berserakan. Para asisten rumah tangga dengan sigap mengumpulkan pecahan-pecahannya. Ada pula yang berlari ke belakang mengambil sapu dan serokan saat Yuda melewati mereka untuk menuju kamar.

Yuda yakin betul penyebab pecahnya vas itu karena Wira. Ia tak tahu Wira apakan vas itu. Yang jelas kemarahan Wira juga dibawanya sampai ke kamar. Dua buah bantal sudah tergeletak di lantai jauh dari tempat tidur. Saat ia masuk melewati sekat yang memisahkan ruang santai dan tempat tidur, bantal, guling, selimut bahkan buku-bukunya sudah berserakan di lantai. Sementara sang tersangka sedang terlentang di tempat tidur.

Yuda memungut buku-bukunya dan menaruhnya begitu saja di meja belajar. Setelah itu ia mengambil bantal, guling dan selimut dan membawanya ke tempat tidur. Ia naik dan duduk di sisi Wira yang tatapan matanya masih liar seakan-akan mau menembus langit-langit kamar.

"Kang..." Panggil Yuda lembut.

Wira tak menyahut.

"Aku ngerti Akang---"

"Kamu gak ngerti!" Potong Wira cepat.

Yuda menelan ludahnya. "Maksud aku, aku ngerti kamu gak puas dengan bukti yang diberikan. Tapi berpikir kalau data-datanya direkayasa apakah gak berlebihan? Yang ngasih unjuk data itu papa kamu sendiri, suami mama kamu sendiri... Kalian berdua mencari kebenaran bersama-sama."

"Yang mencari kebenaran cuma aku. Yang satunya menutupi kebenaran dan satunya lagi gak perduli benar atau salah karena itu gak penting bagi dia. Dua ular yang sangat cocok buat disatukan!" Nada bicara Wira terdengar penuh kebencian.

Yuda diam.

"Kamu sendiri senangkan sama hasilnya? Kamu pasti kepengen hasilnya itu menunjukkan kalau itu ular gak bersalah," tuding Wira.

PERWIRA YUDA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang