66 - Hati Papa yang Terketuk

116 9 7
                                    

Post pertama di tahun 2021! 🎉🎉🎉
4 bulan hiatus ngapain aja?
Buntu tau kebanyakan kerjaan!
Yaudah, enjoy this part yg (katanya udah) ditunggu2!

***

"Gas?" panggil papanya sekali lagi.
Gasta menoleh takut-takut.
"Papa minta maaf." ujar Papa lirih, dengan pangkal alis yang terangkat, menciptakan guratan penuh penyesalan.

Kata maaf pertama setelah bertahun-tahun itu tiba-tiba saja terlontar.
Gasta tentu tidak bisa menanggapinya dengan apa-apa. Yang bisa dia lakukan hanyalah termenung menatap jemari papa tirinya yang kini menyentuh selimutnya.

Hati si Papa merasakan getaran yang berbeda. Raut Gasta yang tampak takut ingin sekali disentuhnya. Tapi tentu saja kedua tangan Papa terlalu kaku untuk melakukannya. Gasta menunduk tanpa berani menatap papanya.

Benarkah hatinya telah membenarkan bahwa selama ini dia melakukan hal yang begitu keji, terlampau keji hingga dia merasa bahwa Gasta mungkin tak bisa memaafkannya? Si Papa terus bertanya pada hatinya sendiri.

Papa menatap tubuh ringkih anak tirinya yang tertunduk dikungkung rasa takut itu. Ujung lidahnya sudah siap melanjutkan ucapan maafnya. Ditambah juga dengan penyesalannya atas perilaku bengisnya selama ini.

Zasssssssssh!

Cakrawala imaji Papa terhenti tiba-tiba. Kata maaf tadi, untaian kalimat penuh penyesalan tadi. Semua hanyalah ilusi dalam benak papa Gasta yang belum dilakukan. Sejak tadi dia hanya termangu di ambang pintu sementara Gasta hanya menatap nanar kehadiran papanya di situ. Tatapannya sayu dan lemas, tapi kepalanya bersandar di dekapan Feliz.

Feliz yang turut duduk di ranjang namun kakinya terjuntai ke lantai, mengelus-elus surai Gasta yang berada dalam dekapannya. Jemari Feliz menggenggam jemari kiri Gasta yang mana di punggung tangannya terpasang infus. Gasta tampak sangat lemas, jauh berbeda dengan terakhir kali papanya meninggalkan ruangan itu. Sekitar hidung dan mulutnya tampak lembab seperti baru diseka.

"Gasta habis pendarahan." celetuk Mama, berujar pada papa mereka. Gasta melotot perlahan, seakan takut papanya mengetahui hal itu. Dipalingkannya wajahnya dari papanya.

"Pendarahan gimana?" sahut Papa.
"Hidungnya. Mimisan. Parah." timpal Mama. Gasta semakin merapatkan tubuhnya pada Feliz.

Bagi Gasta, terlihat sakit dan lemah di depan papanya adalah suatu dosa besar yang tak semestinya dilakukan. Karena "hukumannya" akan terjadi saat itu juga, yaitu kemarahan papanya. Aneh memang, tapi nyata. Di seluruh dunia, harusnya seorang ayah akan prihatin atau khawatir saat anaknya sakit, walaupun hanya ayah tiri, bukan malah tersulut amarah seakan tidak terima bahwa anaknya sakit. Dan yang paling tidak wajar, amarah tersebut tercurah pada anaknya yang sakit.

"Kok bisa gitu?" suara datar namun berat tersebut terarah pada Gasta. Gasta masih memalingkan wajah dari papanya, tetap membisu.
"Gasta, Papa tanya. Kok bisa seperti itu?" ulangnya lagi. Gasta tetap tidak menjawab. Feliz pun demikian.
"Lihat ke arah Papa kalo Papa lagi ngomong sama kamu, Gasta." sekali lagi si Papa menegur dengan suara beratnya.

"Pa, Gasta masih drop. Jangan sekarang." Feliz tak dapat menahan emosinya. Namun nadanya dibuat sama datarnya dengan si Papa.
"Feliz ngga usah manjain." kali ini Papa beralih pada si anak sulung. "Minggir kamu dari sini."

Tentu saja Feliz bergeming. Dan hal itu memicu papanya untuk menarik lengannya dari situ. Menjauhkannya dari Gasta.

Feliz, yang tenaganya jauh di bawah tenaga papanya, jelas tersungkur. Mama, seperti biasa, seperti wanita dungu yang diperbudak oleh kezaliman papanya. Gasta yang kini kembali dengan kepala terbaring di atas bantal, semakin menciut tanpa berani menoleh ke arah papanya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 26, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now