36 - Arti Sebuah Genggaman Tangan

127 13 1
                                    

Gasta sudah di rumah karena kondisinya sudah membaik. Langsung saja, dia membuka laptopnya untuk bermain game di dunia maya. Dengan penuh semangat, dibukanya laptopnya sambil sedikit jejingkrakan.
"Hei, hei... Istirahat dulu!" tegur Feliz sambil merapikan tempat tidur Gasta.
"Ah, Kak... Dikiiiiit aja."
"Nggak, nggak, nggak! Sini!"
Bluk! Feliz menutup laptop Gasta, lalu mengambilnya. Gasta menggeram kesal, dan mencoba meraih laptop dalam genggaman Feliz. Feliz cepat-cepat ngacir dan membawa laptop Gasta ke kamarnya.

"Kak Feliz jeleeeeeeek!" teriak Gasta dari kamarnya. Feliz tertawa terbahak-bahak. Strateginya kali ini berhasil. Setelah menaruh laptop adiknya, dia kembali ke kamar Gasta. Gasta kelihatan bete memainkan ponselnya.

"Besok Senin. Kamu izin dulu aja ya sekolahnya?"
"Izin gimana, besok Gasta kan nugas."
"Nugas apa?"
"Paskib. Nih, dichat."
"Eits, nggak, nggak! Izin dulu! Kan ada yang bisa gantiin sih?"
"Tapi besok waktunya Gasta, Kak. Gasta juga udah nggak apa."
"Nggak. Besok kamu libur dulu. Titik!"
"Nggak mau. Besok Gasta masuk. Jadi pengibar!"
"Sini hape kamu!" Feliz berusaha merebut ponsel Gasta. "Biar Kakak chat itu anak-anak paskib!"
"Iiiiih... Apa'an sih Kak!" bentak Gasta kesal. "Udah cukup ya. Laptopku aja yang Kakak sita. Hape jangan!"
"Ck, tapi Gas..."
"Tapi apa?"
"Kamu baru aja tadi keluar dari rumah sakit. Besok mau langsung upacara? Kalo masuk rumah sakit lagi gimana?"
Gasta menyipitkan matanya, merasa sangat kesal pada Feliz.
"Kakak kenapa nganggep aku selemah itu sih." desisnya, melirik Feliz sinis. Feliz menarik napas panjang.
"Gas, Kakak itu khawatir ama kamu. Kamu masa nggak ngerti aja sih. Kamu itu baru sehat, memar di muka aja masih ada gini." Feliz mengusap pelan memar di wajah Gasta hasil perbuatan ketiga berandalan sekolah itu tempo hari. Gasta menepisnya.
"Udahlah Kak. Gasta nggak apa. Kalo Gasta kenapa-kenapa, Gasta juga gak bakal nyanggupin nugas besok. Tapi kali ini Gasta nggak apa. Kakak percaya Gasta kan?"
Feliz tertunduk pasrah. Tangannya menggenggam tangan adiknya. "Ya udah. Terserah kamu kalo gitu."
Feliz meninggalkan Gasta. Ada segenap rasa kecewa dan khawatir dalam hatinya. Tapi dia tidak mau berdebat kalau adiknya sudah keukeuh begini. Daripada Gasta marah, jadi dibiarkannya saja keputusannya.

Gasta menyadari kekecewaan kakaknya. Saat Feliz pergi, Gasta hanya terdiam. Menatapnya nanar. Tapi, ini sudah jadi keputusannya. Dan dia harus menanggung apapun konsekuensinya.

Gasta bangkit menuju lemari pakaian. Seragam paskibnya sudah tergantung rapi di dalam sana. Dicarinya peci hitam kecil khas paskib miliknya, lalu disiapkannnya di atas meja belajarnya. Besok Gasta bertugas. Semangatnya sudah berkobar.

***

Feliz masih dingin pagi itu. Mau tak mau, Gasta juga lebih banyak diam. Sambil mengolesi roti dengan mentega, sesekali ditatapnya kakaknya yang sedang sarapan itu.

Feliz tetap diam. Dia makan dengan tatapan dingin dan tidak mau diajak bicara. Gasta jadi merasa bersalah. Tapi semua sudah terlanjur. Gasta sudah berseragam putih-putih, lengkap dengan peci di kepala.

Gasta makan dengan gelisah. Saat dia duduk di kursi meja makan, Feliz melenggang pergi. Dia menuju kamar untuk mengambil tas, dan sekembalinya, dia mendatangi Gasta.

"Ayo berangkat. Keburu telat."

Gasta buru-buru menjejalkan sisa roti ke mulutnya dengan tergesa-gesa.

***

Upacara dimulai. Tak terasa tiba giliran Gasta mengibarkan bendera, dengan Keke dan Haris. Keke di tengah, Gasta di sebelah kanan dan Haris di kiri. Proses pengibaran berjalan mulus, tanpa ada insiden bendera terbalik, pengerekan yang terlalu cepat, maupun ketidak-kompakan yang lainnya.

Tugas mereka sudah selesai. Gasta merasa bangga, pekerjaannya memuaskan. Senyum terkembang di bibirnya karena tanpa latihan sebelumnya pun, mereka bisa sukses melaksanakan tugas kibar bendera. Dada Gasta bergemuruh saking bangganya. Jantungnya berdegup kencang sekali.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now