21 - Pertemuan yang Terulang

133 13 0
                                    


Gasta menatap nanar sekeliling kamarnya malam itu.
Hari ke delapan Gasta menginap di rumah sakit. Sungguh bosan, rasanya ingin sekali Gasta mencabut infusnya lalu berlari sekencang-kencangnya pulang ke rumahnya. Dia jadi sedikit menyesal tidak bercerita ke teman-temannya bahwa dia sakit, terutama Aimee.

Sudah delapan hari pula Gasta tidak mengontak siapapun. Dia hanya menggunakan ponselnya untuk bermain game atau menonton video di Youtube. Dia tidak berusaha menghubungi siapapun. Tak sekalipun dia membuka media sosialnya. Gasta tidak mau keberadaannya terdeteksi. Namun dia bersyukur saja mengingat bahwa keadaannya terus membaik, meski setiap hari dia masih mengalami pendarahan dan mual akibat pengaruh obat-obatan.

"Besok pulang dong Kak. Rayuin dokternya." bujuk Gasta. Feliz membelai kepala adiknya sambil tersenyum.
"Iya kalo dokternya itu Herr Bas, bisa dirayu." celetuknya berseloroh. Gasta mengangkat ujung bibir kanannya, tersenyum kecut. Nama itu lagi, batinnya.
"Kakak gimana ama Raymond?" goda Gasta tiba-tiba. Feliz terkesiap kaget, menatap adiknya dengan alis terangkat. "Why kamu tiba-tiba ngomongin dia?" tanyanya heran.
Gasta tersenyum. "Daripada ama Herr Bas kan, hayo." timpalnya, berusaha memberi alasan.
"Herr Bas kenapa sih emangnya?" balas Feliz kemudian.
Raut Gasta berubah tidak senang. "Dia nggak pantes buat Kakak. Kakak tuh terlalu baik buat dia." cetusnya, melipat tangan di depan dada. Feliz tertawa.

"Kalo kamu... Kamu ngerasa terlalu baik gak?" tanya Feliz lagi.
Gasta melirik kakaknya. "Buat?"
"Aimee." jawab Feliz diiringi senyum jahil. "Kira-kira, kamu terlalu baik buat Aimee, apa Aimee yang terlalu baik buat kamu?" goda Feliz, sekaligus memberikan kesan bahwa bukan Aimee-lah yang dia bicarakan tempo lalu.

Langsung saja Gasta melengos dengan tatapan kesal. Feliz tentu heran.
"Kok gitu sih mukanya?"
"Males ah kalo bahas Aimee."
"Kenapa?"
"Pokoknya males." jawab Gasta acuh tak acuh. Terang saja, setelah pengkhianatan yang dia lakukan padanya.
"Kamu sih, segala pake suruh Kakak rahasiain kalo kamu sakit. Nggak ditengokin kan, nggak sembuh-sembuh deh." Feliz terus menggoda. Ditowelnya pipi kiri Gasta dengan penuh canda.
"Apa sih Kakaaaak!" Gasta berlagak jutek, menepis tangan Feliz.
"Yeee, gitu aja ngambek."
"Siapa yang ngambek? Orang nggak kok wleee."
"Alah, ngambek ni ye. Jelek tau."
"Enggak, yeeee. Apa'an sih kakaaak."
"Dasar Gasta ngambekaaan!" ledek Feliz sambil meremas kedua pipi Gasta dengan satu tangan.
"Aduuuh! Pegi pegi sana!" usir Gasta sok-sokan, mendorong-dorong lengan Feliz.
Feliz bangkit dari ranjang Gasta. Dia bersiap menuju meja, membuka tasnya untuk mengambil beberapa barang dari situ. Baru saja dia membuka resleting, Gasta sudah memanggilnya lagi.

"Kak." panggil Gasta datar.
"Hmm?" sahut Feliz tanpa menoleh.
Hening sebentar. Feliz terus berkutat dengan tasnya. Kali ini dia mencari bulpen.
"Uhuk." Gasta terbatuk. "Kakak."
"Apa sih?"
"Tolong..." desis Gasta lirih.
"Tolong ap..." Feliz balik badan, dan ucapannya terhenti. "Ya ampun, Gasta." serunya lirih, saat didapatinya
Gasta, yang masih duduk di ranjangnya, menengadahkan tangan kanan di bawah mulutnya yang sudah berlumuran darah. Tangan kirinya mencengkram perut kanannya, sedangkan tangan kanannya dalam posisi tadi dan digenangi darah. Sepertinya hidungnya mengalami pendarahan lagi. Tatapan Gasta meredup, seakan berkata "tolong aku."

"Astaga... Ya Tuhan..." gumam Feliz panik, berlari mencari tisu dan lap. Masih dengan posisi yang sama, Gasta menunduk tanpa suara. Selimut di atas pahanya seketika berubah merah, begitupun tangan kanannya. Ujung pergelangan jaket biru tuanya berubah kecoklatan akibat merahnya darah, juga bagian dadanya.

"Sini sini." Feliz dengan sigap menempelkan segulung handuk di hidung dan mulut Gasta, yang mana langsung dicengkramnya erat dengan kedua tangan. Sebagian handuk itu jadi berwarna merah. Gasta menundukkan kepalanya dalam-dalam. Feliz mendekat ke arahnya, lalu mulai mendekap adiknya itu.
"Dokter..." ucap Gasta terbata. "Panggilin dokter... Tolong..." ujarnya terengah-engah, dengan mulut penuh darah.
"Dokter?" ulang Feliz.
Gasta menggeleng cepat. "Cepetan Kak..." tukasnya merintih, membuat Feliz tak sampai hati melihatnya.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now