17 - Dia Bukan Gasta

128 14 6
                                    


Setelah menyelesaikan administrasi di rumah sakit, Feliz mengintrogasi Gasta soal kronologi peristiwa 'tawuran' itu. Gasta jadi memutar otak lagi.

"Jadi ya Kak." Gasta memulai bualannya.
"Aku kan diare, makanya ijin balik dari ngeband." ujarnya, menghubungkan dengan bualan Azhar tadi.
"Terus aku nunggu angkot di depan sekolah, nggak muncul-muncul. Nggak sabar kan, akhirnya mending aku datengin aja tuh pangkalan angkotnya."
Feliz menyipit khawatir.
"Terus, kakak tau kan di deket pangkalan angkot yang tiga belokan dari sekolah itu sebelahan ama SMK?"
Feliz mengangguk.
"Nah di situ. Tiba-tiba ada gerombolan banyak banget, anak SMK, sekitar 40-an lebih, ternyata dari gang di sebelah sekolah itu muncul juga gerombolan yang lain. Aku di tengah-tengah, kebingungan. Akhirnya kena deh. Udah setelahnya nggak tau aku diapain aja soalnya aku merem." tutur Gasta penuh kebohongan. Kali ini imajinasinya sungguh luar biasa.

Feliz percaya saja. Tidak ada yang mencurigakan baik dari cerita maupun mimik Gasta saat menceritakannya. "Besok-besok nggak usah lewat situ lagi. Kakak jemput aja kalo nggak ada angkot yang lewat."

Gasta menghembuskan napas lega.

Gasta tipikal orang yang tidak suka urusannya dicampuri orang lain. Selama dia bisa menyelesaikannya sendiri, pasti dia lakukan sendiri. Jadi, sebisa mungkin, dia akan menjauhkan orang lain dari urusannya dan berusaha tidak melibatkan orang lain.

That's what Gasta has but Deon doesn't.

Kembali Gasta teringat Aimee.

Jika ada kata-kata yang memiliki arti lebih dari kata 'hancur', mungkin seperti itulah wujud hati Gasta sekarang. Sikap manis Aimee ternyata tak lebih dari sekedar rasa simpati padanya, sebagai teman. Gasta juga merasa bodoh telah menghabiskan waktunya dengan dia.

Dan ketika dirasa, wajahnya yang terluka dan berdarah tidak lebih sakit dibandingkan hatinya kali itu.

Gasta bungkam pada Feliz soal Aimee kali itu. Jelas, jika Feliz tahu, dia pasti bakal menghujani Aimee dengan pertanyaan. Lagipula, Gasta bukan cowok lemah yang selalu mengeluh dan manja pada Feliz apalagi soal perasaan.

Move on?
Apanya yang harus dimove on-i?

Feliz menyuruh Gasta beristirahat. Gasta menyuruh otak dan hatinya beristirahat pula, dari memikirkan Aimee.

***

Karena Gasta merasa (fisiknya) baik-baik saja, keesokan harinya dia tetap masuk sekolah. Persetan Danes mau menghabisinya lagi. Persetan Aimee mau menunjukkan sikap permusuhannya. Gasta tidak peduli.

Yang Gasta tau, di hatinya masih ada Aimee.
Sekalipun kemarin dia diminta menjauh olehnya.

Dengan mengenakan masker, Gasta masuk ke kelas. Dia takut plester di bibir kanannya memicu tanda tanya di benak teman-temannya yang lain, kecuali Azhar dan Danes tentunya. Matanya yang kiri sedikit bengkak dan lecet, tapi baginya tidak masalah.

Tak ayal, teman-temannya mulai menaruh curiga dengan alasan mengapa Gasta mengenakan masker hari itu. Diceritakannya kisah 'tawuran' yang dialaminya itu pada mereka, sebagaimana dia bercerita pada Feliz. Semuanya yang mendengar tercengang, dan tak sedikitpun Gasta menoleh ke arah Danes yang sedang duduk di pojokan kelas. Mungkin dia sedang tertawa puas dalam hati, atau menertawakan bualanku diam-diam, begitu batin Gasta.

Aimee turut mendengarkan, namun tak berkomentar apa-apa. Gasta yakin Aimee akan percaya saja, namun nyatanya Aimee sudah tau semuanya. Meskipun, saat itu Aimee tidak di sana, dia sudah menduga apa yang bakal terjadi, terutama pada Gasta.

Melihat cara Gasta menutup-nutupi kejadian itu dengan kebohongan - yang mana Aimee anggap sebagai ketegaran hati Gasta - betapa terenyuhnya hati Aimee. Apalagi ketika teringat pesan BBM terakhir dari Gasta yang cuma diR doang olehnya, perihal dirinya yang tak mau melibatkan siapapun dalam permasalahan kali ini.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now