57 - Susah Dibunuh

112 8 5
                                    

Ambyarrrr 3200an kata cuy!
Enjoy!

***

Baru sepuluh menit mama dan papa Gasta tiba di rumahnya sepulang kerja. Tidak biasanya mereka bisa pulang tepat waktu.

"Iya, ini dengan siapa ya?"
"Saya wakasek sekaligus pelatih basketnya Gasta."
"Oh, gitu. Ada yang bisa saya bantu?" Mama Gasta tak menaruh curiga.
"Begini, Bu. Saya bisa bicara dengan Bapak?"

Alis mama Gasta mulai bertaut.
"Iya, tunggu sebentar ya Pak."

"Pa, pelatih basket Gasta." ujar Mama sambil menyodorkan ponselnya.

"Halo, sore."
"Sore, Pak. Dengan ayah Gasta?"
"Iya benar. Ada perlu apa ya Pak?"

Tarikan napas panjang Pak Hans terdengar dari seberang.

"Begini Pak." mulainya. "Perlu Bapak ketahui bahwa Gasta, di tim kami itu posisinya sebagai kapten."

"Lantas?" sahut papa Gasta.

"Kami mohon dengan sangat, Bapak bisa dukung Gasta sepenuhnya. Beri kesempatan untuk dia berusaha semaksimal mungkin untuk tim kami."
"Maksud Bapak apa?" tandas papa Gasta lagi.

Napas Pak Hans terdengar berat.
"Begini, Pak... Saya lihat..."
"Lihat apa Pak?" tukas papa Gasta.
"Saya lihat ada luka-luka di punggung Gasta. Dia tidak cerita siapa yang melakukannya, dia cuma bilang... bahwa dia dilukai seperti itu, gara-gara basket." jelas Pak Hans panjang lebar.
"Luka-luka Pak?" tentu papa Gasta memasang respon kaget.
"Benar, Pak. Di punggung." sahut Pak Hans.

Papa Gasta terdiam sebentar.
"Lalu apa hubungannya sama saya Pak? Dia juga ngga pernah cerita soal hal itu." sahut papa Gasta geram, pura-pura tidak tahu.
"Saya hanya minta... Bapak bisa dukung Gasta sepenuhnya untuk bermain basket. Gasta itu sangat berpotensi, Pak. Jangan sampai ada yang mematahkan semangatnya, apalagi melukainya seperti itu gara-gara basketnya."

Papa Gasta langsung naik darah.

"Jadi Bapak menuduh saya yang menyebabkan luka di punggung anak saya?" bentak papa Gasta.

Pak Hans sudah menduga respon papa Gasta akan seperti ini. Dan hal itu semakin meyakinkannya bahwa memang papa Gasta-lah yang merupakan penyebab luka di punggungnya tersebut.

"Tidak, Pak. Saya juga tidak mendengar ada laporan dari Gasta soal itu. Saya hanya minta tolong pada Bapak, untuk..."
"Denger ya Pak." potong papa Gasta. "Saya tidak kenal siapa bapak, bapak juga tidak kenal siapa saya. Jadi saya rasa lebih baik, kita urus urusan masing-masing. Saya dengan urusan saya, bapak dengan ur..."
"Tolong, dukung Gasta. Itu saja." Pak Hans balas memotong.

Keheningan menggema di antara mereka.

"Selamat sore." pungkas Pak Hans. Telepon ditutup.

Ada sepasang mata yang menyala jahat. Yang siap menyerang, menghancurkan, dan merusak banyak hal.
Dan itu adalah mata papa Gasta.

***

Gasta sedang fokus. Akhir-akhir ini selera belajarnya meningkat. Pukul tujuh malam lebih sekian ini, dengan punggung yang masih berdenyut nyeri, Gasta sibuk merangkum catatan pelajaran di kamarnya. Pintunya tertutup rapat, namun tidak dikunci, kali-kali Feliz masuk ke kamarnya.

Gasta terlihat menggemaskan kalau sedang serius seperti ini. Bibir bawahnya kadang bergerak-gerak ke kanan-kiri, dengan posisi mulut mengatup.

Brak!
Tiba-tiba pintu kamar Gasta terbuka. Terbanting keras-keras. Gasta tersentak. Pulpennya terlepas dari genggamannya. Begitu dia menoleh, didapatinya Papa di sana dengan tatapan dingin.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now