24 - Bicara pada Hati dengan Hati

133 14 0
                                    


Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
Pun sebaliknya.
Hal itu rupanya benar dan sedang dirasakan oleh Gasta saat itu. Dokter bilang kondisi tubuhnya membaik belakangan ini, namun semenjak insiden Aimee tiba-tiba muncul di kamarnya kemarin, dia mengalami penurunan drastis.

Jiwa Gasta sedang terguncang. Rapuh, lemah, dan terkulai. Berimbaslah pada fisiknya. Daya tahan tubuhnya ikut melemah akibat depresi berlebih. Frekuensi pendarahannya meningkat. Malam ini saja sudah dua kali dia harus ganti pakaian karena terkena darah yang mengucur dari hidung maupun mulutnya seperti beberapa waktu lalu. Feliz ikut cemas. Gasta sempat jatuh tak sadarkan diri berulang kali. Kondisi tubuhnya kali itu benar-benar drop sedrop-dropnya.

Jangankan mengobrol, berbicara saja Gasta tak kuasa. Yang keluar dari bibirnya hanyalah erangan kesakitan atau desahan panjang yang tidak jelas artikulasinya. Ini membuat Feliz ingin berteriak putus asa dan menangis sejadi-jadinya. Bagaimana tidak, dia sendiri bingung adiknya itu maunya apa.

Sekitar pukul 10, setelah mengganti piyama Gasta untuk yang kedua kalinya, seorang dokter masuk bersama seorang perawat, untuk memeriksa kondisi Gasta saat itu. Dokter bilang Gasta sedang stres, padahal sebisa mungkin dia tidak boleh merasa tertekan agar kondisi fisiknya cepat pulih. Feliz mencari cara agar bisa memotivasi Gasta. Dia memutuskan untuk berbicara dari hati ke hati dengan adiknya itu.

Setelah dokter memberi Gasta obat, dia tertidur pulas. Feliz lega. Sepeninggal si dokter dan si perawat, Feliz memulai bicaranya dengan Gasta.

"Gas." panggilnya lembut, mengelus kepala adiknya. "Kedengeran gak?" Feliz diam sejenak. "Nggak mungkin ya. Hehe." jawabnya pada diri sendiri, merasa geli.

Mata Gasta masih terpejam. Napasnya lebih teratur dari sebelumnya. Feliz memandangi wajah adik satu-satunya itu. Seketika bibir Feliz melengkungkan senyum.

Gasta Bramastya.
Tiga belas tahun berlalu sejak perjumpaan pertama kalinya dia dengan anak laki-laki ini. Bukan, dia bukan lagi sekedar anak laki-laki. Dia seorang remaja sekarang. Sudah mengerti perasaan, cinta, maupun pacaran. Dan, tiga belas tahun lalu, mana ada terbersit di benak Feliz bahwa anak ini bakal bisa jadi semembanggakan sekarang?

Untuk kesekian kalinya dada Feliz terasa hangat saat menatap wajah Gasta yang bahkan saat terpejam pun masih memancarkan rasa kasih sayang.

Feliz yakin, ada ikatan batin yang kuat antara dirinya dan Gasta. Feliz terlalu mencintai Gasta. Begitu pula sebaliknya, meski sikap Gasta terkadang terkesan menyebalkan di mata Feliz. Feliz merasa Gasta-lah satu-satunya orang di dunia ini yang paling bisa mencintainya dengan ketulusan. Bukan mama ataupun papanya.
Karena itulah, diputuskannya untuk mencoba berbicara dengan Gasta meski adiknya itu sedang terlelap.
Terlihat nonsense memang, tapi hati Feliz yang ingin sekali melakukannya tak dapat mendustai.

"Gasta lagi sedih ya." lanjut Feliz. "Gara-gara Aimee kemaren, ya kan?"
Gasta tetap bergeming.
"Kakak cuma mau jujur sama Gasta." tutur Feliz. Dia sudah berencana untuk mengatakan yang sebenarnya. Soal semuanya. Karena Feliz sadar, beberapa waktu yang lalu dia sudah meminta - bahkan memohon - pada Gasta agar selalu jujur dan terbuka kepada dirinya. Jika dia sendiri tidak jujur pada Gasta, tidak semestinya pula dia menuntut Gasta untuk jujur padanya.

Kata-kata Feliz tertahan di ujung lidahnya. Kegamangan yang tiba-tiba menyapu batin, membuat Feliz ragu untuk berterus terang pada adiknya kali ini. Namun dikibaskanlah tangannya di depan wajahnya, hingga akhirnya dia cukup yakin untuk melanjutkan kata-katanya.

"Kakak cuma mau jujur, kalo... tebakan kamu yang kemaren itu benar." sambung Feliz. Gasta masih terdiam di ranjangnya. "Gasta benar... Kakak emang tau dari Aimee." ungkap Feliz diiringi napas yang memburu. “Tau semuanya…” lanjut Feliz lirih.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now