59 - Dikira Pengkhianat

92 7 4
                                    

"Brengsek!" Gasta menendang kaki bangkunya. Hal itu dilakukannya tepat setelah dia membaca pesan teks dari Pak Hans yang berkata bahwa dirinya tidak jadi diikutkan turnamen, karena beberapa hari belakangan dia tidak datang latihan dengan alasan punggungnya masih sakit.

"Lo kok ngga bilang ke gue sih, Di?" protesnya pada Valdi. "Lo sengaja kan pengen jadi kapten gantiin gue?" tuduh Gasta beringas.
"Lah. Gue aja udah nolak, Gas. Dia ngga gubris. Mana gue tau kalo dia beneran ngga ngajak lo. Gue kira cuma anceman dia aja ke elo." tandas Valdi.
"Lo tuh harusnya begitu ditunjuk jadi kapten buat gantiin gue, lo kabarin gue!"
"Gue nelepon elo, babi! Hape lo aja yang ngga lo bunyiin!"

Gasta benar-benar kesal. Mau marah pada Valdi, tapi Valdi memang tak tahu apa-apa. Lagipula, tadi pagi Valdi sudah membelanya dengan tidak melaporkannya pada BK. Sekali lagi, Gasta menendang kaki bangkunya dengan keras, hingga semua temannya terkejut.

Sementara itu di ujung depan kelas...

Lima pasang netra dengan tatapan tidak enak terarah pada Gasta yang bertingkah barbar. Salah satunya netra milik Aimee.

"Gasta kenapa sih?" tanyanya sambil terus menatap Gasta dari kejauhan.
"Kesurupan, kayanya." timpal Rinka.
"Ngga diikutin Pak Hans turnamen. Katanya sih." ternyata Stella lebih tahu.
"Kenapa emangnya?" Shaci tergoda untuk kepo.
"Katanya karena dia ngga dateng latian dua kali soalnya sakit. Tapi Pak Hans ngga nyariin dia. Tiba-tiba diganti gitu aja. Valdi sekarang yang jadi kapten." terang Stella.

Aimee masih memandangi Gasta dari bangkunya. Gasta tampak muram, bertopang dagu dengan wajah yang ditekuk.

Saat itu jam kosong. Jelas kelas 8A ributnya minta ampun. Gaduh sekali. Tapi di tengah kegaduhan itu, Gasta yang biasanya ikut meramaikan kelasnya, kali ini berbeda. Dia nampak menyendiri di bangkunya, melamun dan merenung dengan wajah kusut.

Aimee beranjak dari kursinya.

"Kemana, Mee?" tanya Nirma saat melihat Aimee mulai berjalan.
"Toilet." jawabnya.

Dia meninggalkan kelas. Bukan menuju toilet, namun menuju ruangan Pak Hans. Dia tau apa yang harus dilakukannya.

***

"Ada apa?" tanya Pak Hans dingin. Mengintip Aimee dari balik koran siangnya kali itu.
"Saya kesini... mau minta tolong. Agar... Gasta..." ucapannya terhenti.
"Kenapa Gasta?" Pak Hans menurunkan korannya hingga seluruh wajahnya terlihat oleh Aimee.

"Tolong... Gasta jangan dikeluarin dari tim." mohon Aimee.
Sebelah alis Pak Hans terangkat. "Dia nyuruh kamu ngelakuin ini?"
Cepat-cepat Aimee menggeleng. "Engga, Pak. Dia aja ngga tau kalo saya sekarang di sini. Ini murni saya yang mohon."

Pak Hans menaruh korannya di meja.
"Gitu?"
"Iya Pak." tukas Aimee. "Jadi tolong jangan dikeluarin dari tim ya Pak, si Gasta. Dia punya alasan kok kenapa ngga ikut latihan, beberapa waktu yang lalu."
"Siapa yang ngeluarin dia sih? Saya cuma ngga ngajak dia ikut turnamen yang akan datang aja kok. Ngga ngeluarin."
"Iya itu maksudnya, Pak." ralat Aimee. "Jangan batalin Gasta buat ikut turnamen."

"Memang, apa urgensinya sampe kamu kesini terus memohon sama saya kaya gini? Pembelaan kamu soal Gasta apa?"
"Maksudnya Pak?"
"Ya, intinya, apa yang bisa bikin saya bakal masukin Gasta lagi buat ikut turnamen?"

Aimee terlihat memutar otak. Tiba-tiba dia teringat kejadian Pak Hans memergoki luka-luka di tubuh Gasta.

"Bapak ingat luka-luka di tubuh dia?" tanya Aimee.
Melebarlah mata Pak Hans. Tak disangkanya gadis ini tau perihal luka tersebut. "Kamu tau soal luka itu?"
Aimee mengangguk. "Dia masih berupaya buat datang latihan sehari setelah dia dapetin luka-luka itu Pak. Lalu dia ngga maksimal seperti yang Pak Hans lihat waktu itu, kan?"
Pak Hans terdiam.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now