16 - 💔

147 13 7
                                    


Jum'at lagi. Gasta gembira. Apalagi kalau bukan karena ekskul band. Tapi tiba-tiba hatinya gundah karena baru ingat bahwa minggu ini bukan waktunya tim 2 yang latihan. Jadilah nanti dia pulang bareng Feliz.
"Aku tar bareng ama kakak ya pulangnya. Nggak ngeband." ujarnya.
Feliz mengangguk.

Bel pulang berbunyi, namun hati Gasta masih ingin di sekolah. Siang ini Aimee akan kerja kelompok di sana. Jadi dia tidak langsung pulang. Gasta ingin menemaninya, dengan stay di kelas sambil (berpura-pura) main laptop dan meremix lagu.

"Gas, latian yuk!" Kepala Maruli menyembul dari balik pintu kelas 8A.
"Loh, kan hari ini tim 3 yang latian?" timpal Gasta bertanya.
"Harusnya, tapi mereka pada sibuk. Kita disuruh Pak Sudi latian, soalnya next week ada perform kita!"
"Oh ya? Dimana?"
"Di sekolah, acara performance dwimingguan!"
Semangat Gasta terbit. Dicarinya Sandra, ternyata dia juga sudah mendengar ucapan Maruli. Pergilah mereka berdua ke studio band sekolah.

Setelah 5 menit berlatih, terdengar studio diketuk. Ternyata Feliz.
"Good afternoon, Miss!" sapa Maruli riang. Feliz membalasnya dengan senyuman riang.
"Nggak pulang Gas?" tanyanya pada Gasta.
"Duluan aja. Aku ngeband."
"Tadi katanya nggak?"
"Berubah pikiran."
Feliz geleng-geleng. "Ya udah. Ga pake nyeleweng ya ntar, pulangnya!"
"Siaaaap!"
Feliz menutup kembali pintu studio.

Mereka melanjutkan latihan.

Gasta dan drum adalah kombinasi yang menakjubkan. Kelihaian dan ketampanan Gasta yang menyatu indah dipadu dengan kegagahan komposisi dan bentuk drum itu sendiri. Tak peduli sebasah apapun kening dan badan Gasta oleh keringat, dia akan masih terlihat keren. Tak ayal jika tidak sedikit cewek yang bakal leleh ketika melihat gayanya saat menggebuk drum.

Dua lagu tak terasa sudah dimainkan.
"Aiiiiir mana aiiiiir? Tenggorokan udah kaya gurun sahara nih, kering banget." Sandra mulai menggila. Maruli juga terlihat letih, sama halnya dengan Fico. Hanya Gasta yang masih asyik memutar-mutar stik drum di udara dengan jemarinya.

"Ayo lanjut!" tegurnya pada yang lain.
"Giiiila lo Gas! Bentar, jempol gue kapalan nih!" keluh Fico si basis.
Gasta tertawa lagi. Bajunya sudah mulai basah. AC ruangan studio ternyata tidak terlalu ampuh untuk mengusir panas di sana.
"Oke deh. Napas dulu. Lo juga Ndra!" ujarnya pada Sandra.
"Gue beli cimol dulu ya! Laper njir." sahut Sandra.
"Malah jajan. Gue nitip!" timpal Fico.

Tinggallah mereka bertiga. Akhirnya mereka memutuskan untuk beristirahat dulu. Gasta malah tiduran di lantai studio.

Cklek. Pintu studio dibuka.
"Cepet bener Nd..." ucapan Maruli terhenti. "Eh, Aimee. Kirain Sandra."
Gasta tersentak bangkit. Menghadap ke arah pintu, dia tercengang kaget.

"Mee?" panggilnya sumringah.

Aimee menatap Gasta.
"Gas, ngomong bentar di luar bisa? Penting." ujarnya sambil tersenyum.
Halilintar serasa menyambar jantung Gasta. Punggungnya mendadak gemetar, namun dia merasakan bunga-bunga bermekaran di hatinya.
"Ada apa?" tetap saja Gasta memasang tampang cool.
"Mau ngomong sesuatu. Berdua aja."
"Ceilaaaah. Gue bilangin Deon nih?" canda Maruli.
Aimee menatap Maruli dengan tatapan sebal, namun tetap dengan senyum.
"Bisa nggak Gas?"
Gasta tersenyum. "Yuk."

***

Di luar studio, Aimee menggamit tangan Gasta. Gasta tentu heran. Jalannya agak pelan. "Mau ngomong dimana?" tanyanya.
"Di sana aja." Aimee menunjuk kelas kosong di pojokan. Ya, kelas tersebut memang kosong. Tidak digunakan. Hanya sesekali digunakan jika ada meeting kecil-kecilan ekskul-ekskul tertentu. Gasta menelan ludah. Penasaran, apa yang ingin dibicarakan oleh Aimee.

Setibanya di sana, mereka tidak duduk. Aimee berdiri menghadap Gasta yang membelakangi pintu. Keduanya kini saling berhadapan.
"Ada apa sih Mee?" tanyanya, tak menaruh perasaan buruk sama sekali pada Aimee.
"Gas." panggil Aimee tertahan. "Aku mau, kamu nggak usah deketin aku lagi." lanjutnya, getir.

Gasta tidak pernah seterperangah itu.

"Maksudnya?" Gasta tak mengerti. Mengerti, tapi tak mengerti dengan detail kemauan Aimee.
"Ya aku mau kamu lupain aku. Nggak usah akrab sama aku. Jaga jarak sama aku."
"Aku nggak ngerti, Mee."
"Aku udah punya Deon, Gas."
"Aku tau itu. Tapi, ngejauh dari kamu? Kita kan sekelas, Mee?"

Aimee menatap lantai. Wajahnya dipalingkan dari hadapan Gasta.
"Kamu itu beda, Gas. Sikap kamu ke aku. Itu beda."
Gasta berdecak. Dia sudah tau obrolan ini larinya kemana, tapi dicobanya untuk mengubah arah kemauan Aimee.
"Beda gimana? Jelasin coba."
Giliran Aimee yang berdecak.
"Kamu selalu ngeistimewain aku. Kamu akrabin aku. Sikap kamu ke temen cewek lain di kelas kita nggak kaya sikap kamu ke aku!"
Tuh, bener kan, ujar Gasta dalam hati.
"Ya karena kita akrab Mee. Kita sering pulang bareng. Kamu sering main ke rumahku. Sering kelompokan bareng." bantah Gasta.
"Kamu yang akrabin aku Gas, bukan aku." balas Aimee.
Gasta membisu.
"Kamu suka kan ama aku Gas? Kamu sayang sama aku kan?" tandas Aimee tiba-tiba.
Gasta menatap Aimee tak percaya.
"Apaan sih Mee? Kenapa arahnya jadi ke sana?"
"Gasta, jawab."
"Kenapa kamu nanya kaya git..."
"Jawab Gas!" bentak Aimee tak sabar.
"Iya aku sayang ama kamu! Terus kenapa?" balas Gasta dengan nada tinggi. Belum pernah, seumur hidup Aimee, dia mendengar dan melihat Gasta seperti itu.

Satu bulir airmata menggelinding di pipi Aimee yang halus.

"Lupain aku, Gas. Aku udah punya Deon." bisik Aimee lirih.
"Terus kalo kamu udah ama Deon aku dilarang sayang, gitu?" tukas Gasta. Aimee menangkupkan kedua tangan ke mulutnya. Kepalanya tertunduk. Dia terisak dengan hati hancur. Gasta apalagi. Meski airmatanya tidak tumpah, hatinya sudah tak berbentuk dari tadi.
"Seenggaknya aku nggak ngerebut kamu dari Deon, Mee." lanjut Gasta.
"Aku cuma berusaha selalu ada buat kamu." Gasta terdiam sebentar. Kedua matanya tak lepas dari Aimee. "Karena aku tau kamu butuh sosok yang seperti itu."
Aimee tercekat. "Udah ada Deon, Gas."
Gasta memasang senyum kecut. "Deon? Mana? Dia sakit, Mee. Itu yang kamu sebut selalu ada buat kamu?"
Aimee semakin terisak.
"Aku Mee. Aku yang selalu ada buat kamu. Deon enggak!" imbuhnya lagi.

"Kata siapa Gas?" sebuah suara muncul dari arah pintu, di belakang Gasta. Kedua pupil mata Gasta kontan melebar kala menyadari bahwa itu adalah suara Deon.

Gasta mematung, sedingin es. Sementara Aimee tetap meneruskan tangisnya, seakan tahu bahwa Deon memang berada di sana untuk mendengarkan percakapan mereka.

"Lo bilang apa barusan? Gue nggak pernah ada buat Aimee?" ucap Deon tepat di telinga kiri Gasta. Gasta bergeming, tak sedikitpun menoleh pada Deon.
"Lo pikir gue sapanya?" lanjut Deon, dengan nada yang lebih tinggi.
Aimee terhenyak. "Deon, jangan."

Gasta merasa tidak berhak untuk membalas kata-kata pedas Deon. Kelembutan hati Gasta terlalu nyata memang. Yang dia lakukan hanyalah berdiri termenung dengan wajah menghadap lantai.

"Gue sadar gue nggak sesempurna lo. Nggak sepopuler lo. Tapi seenggaknya gue bisa dapetin Aimee. Tanpa berusaha nikung dari yang lain!" Deon menyombongkan diri.

"Terus kalo kamu udah ama Deon aku dilarang sayang, gitu?" Deon menirukan gaya bicara Gasta pada Aimee tadi, tepat di depan wajah Gasta.
"Anjing banget lo Gas!" ucap Deon pelan, rendah namun tajam.

"Gue nggak akan ngerebut Aimee dari lo, Yon." akhirnya Gasta buka suara.
Giliran Deon yang terhenyak.

"Nggak akan?" ulang Deon sarkastik. "Ini yang lo bilang nggak akan?"
Deon mengeluarkan sekumpulan kertas dari dalam sakunya, yang ternyata foto-foto selfie Gasta dan Aimee saat di atas atap rumah Gasta beberapa waktu lalu. Gasta terkesiap. Ditatapnya Aimee. Aimee menangis lirih.

Bagaimana Deon bisa mendapatkan foto-foto itu semua?

Deon mendekatkan kumpulan foto itu ke depan wajah Gasta, lalu menamparkannya ke wajah Gasta, hingga foto-foto tersebut berserakan di lantai. Layaknya di drama-drama.
"Sorry ya Mee. Lain kali, galeri hape itu dipassword." ujar Deon pada Aimee, dingin. Aimee langsung memungutinya tetap sambil terisak.

"Gue nggak ada apa-apa ama Aimee, Yon. Sumpah. Gue suka ama dia, tapi kita cuma temen." bela Gasta pada diri sendiri.

Tiba-tiba muncullah Danes, disusul Uzi, Fais, dan Alam di ruangan itu. Sungguh seperti di film-film. Saat si jagoan sudah terdesak oleh musuh, si musuh malah mendatangkan lebih banyak anak buah untuk mengintimidasinya lebih kejam.

"Yakin lo Gas? Gak inget lo ama Aimee di kelas ngapain aja? Apa perlu gue tunjukin foto-fotonya?" kali ini Danes yang bersuara. Aimee menghela napas berat. Deon merangkul pinggang Aimee, seakan menjauhkannya dari Gasta.
Jadi, selama ini sepasang mata Danes-lah selalu merekam apa yang dilakukan Gasta dan Aimee di dalam kelas.
"Lo ngapain di sini?" tukas Gasta pada Danes ketus.
"Deon temen gue. Kita segeng. Kudu solid. Ada yang nyakitin dia, kita wajib sakitin balik." sahut Danes.
Sejak kapan Deon masuk begundal kelas 8H? Feliz pun tak pernah cerita.
"Ini urusan gue ama Deon ya. Bukan ama lo." timpal Gasta.
"Urusan Deon urusan kita juga, Gas." sahut Uzi.
"Kalian, lagi. Kalian udah nggak betah sekolah di sini?" cecar Gasta.
"Nyolot banget mulut lo. Yang dulu masih kurang ya?" kali ini Fais yang menyahut.

Gasta menoleh ke arah Aimee. Aimee berada dalam dekapan Deon, seakan berusaha melepaskan diri.
"Jangan dikira gue nggak tau kelakuan lo ama Aimee selama ini ya. Terlalu banyak informan, Gas." ujar Deon setelah terdiam lama.

Gasta menatap sekeliling. Ingin sekali dia lari dari situ, namun itu bukanlah hal yang jantan. Dia ingin menyelesaikan semua ini, dengan Deon terutama. Namun sepertinya akan sia-sia. Menyebalkan sekali.

"Gue nggak ngapa-ngapain ama Aimee, Yon. Sebatas temen sekelas. Kita lumayan akrab karena dia juga akrab ama kakak gue." sahut Gasta, masih berusaha membela diri.

"Surat lo?" timpal Deon. "Kan buat Aimee."
Gasta tercekat. Kebodohan itu dibahas lagi.
"Aimee nginep di rumah lo. Pasti lo yang nyuruh kan?" lanjutnya.
Aimee tidak terima. "Jangan sok tau. Aku sendiri yang mau kesana."
Gasta terus bergeming.
Deon melanjutkan cercaannya.
"Kalo Rinka gak masuk, lo dudukin kursinya. Kalo kelompokan di kelas, lo tarik Aimee ke kelompok lo. Pulang sekolah naik angkot berdua. Itu yang lo bilang nggak akan ngerebut dia dari gue?"

Airmata Gasta seakan sudah menggunung di balik pelupuk matanya. Tenggorokannya nyeri menahan tangis. Bukan karena takut akan amarah Deon, namun karena pengkhianatan Aimee secara tidak langsung.

"Berapa kali lo beliin Aimee es krim di depan temen-temen lain, Gas?" Deon kembali mendekati wajah Gasta. “Dan aksi lo yang sok-sokan minjemin Aimee hoodie basket lo. Biar apa? Biar relationship goals, gitu?” imbuh Deon keras-keras.

"Bahkan Herr Baskara ampe ngira Aimee itu cewe lo. Luar biasa Gas! Keren banget!" kedua tangan Deon mengudara.

"Lo mungkin ngira nggak akan ada yang ngamatin tingkah lo ke Aimee. Tapi gue punya CCTV hidup, Gas. Gak kaya CCTV sekolah yang diem aja, yang lo pake buat ngejatohin dia." sindir Deon, sambil menunjuk Danes.

Gasta menatap marah pada Danes. Wajahnya berubah sangat sinis. Seakan dendam Gasta pada semua hal di dunia ini terkumpul dan terpancar lewat sorot matanya kali itu. Danes, teman sekelasnya itu, tak disangkanya akan menjadi sedendam itu padanya, hanya karena insiden tikus yang tak disengajanya beberapa waktu yang lalu.

Jelas Danes-lah yang menguak semua tingkah Gasta pada Aimee di kelas. Siapa lagi? Danes satu-satunya siswa 8A yang punya kenalan akrab di 8H. Danes yang berdiri di sebelah Aimee, kini mengangkat ujung bibir kanannya, tersenyum jahat.

"Dan, gue harus apa biar lo bener-bener maafin gue?" akhirnya Gasta buka suara lagi.

"Serahlah. Mau kalian ancurin dia kaya waktu itu juga boleh. Yang penting, jangan sampe dia deketin Aimee lagi. Kita pergi, Mee." pungkas Deon.
Aimee jelas memberontak. "Nggak!"
Deon geram. Ditariknya tangan Aimee keluar kelas, cepat sekali. Aimee sempat menoleh ke arah Gasta.
"Sorry ya Gas. Sorry banget." sesalnya, seiring dia dan Deon meninggalkan kelas itu. Mata Gasta berkaca-kaca, namun dia tak merespon apa-apa selain dengan tatapan sakit hati pada Aimee.

Aimee dan Deon meninggalkan mereka berlima. Gasta hendak mengejarnya, namun Danes dan yang lain menahannya agar tetap di situ.
"Apa? Gue ga ada urusan ama kalian." tandasnya getir.
"Urusan ama Deon berarti urusan ama kita!" tukas Alam.
"Dan, udahlah. Gue ngaku salah. Dulu lo udah nyuruh mereka bertiga kan buat mukulin gue? Belum puas liat gue sakit waktu olahraga itu?"
Mata Danes terbelalak.
"Jadi selama ini lo anggep itu ide gue? Brengsek! Itu suruhan Deon, goblok!" timpalnya geram sambil mendorong dada Gasta ke belakang.
"Dan sekarang karena lo masih aja kaya gitu, kita tetep ga bisa terima." kali ini suara Alam.

Tanpa aba-aba, Danes dengan gesit menarik kedua tangan Gasta ke belakang dan memeganginya erat. Selanjutnya, Gasta tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata lagi. Gasta dihajar habis-habisan. Teriakan Gasta minta tolong tidak ada yang menggubris, lantaran letak kelas itu benar-benar terpencil. Di sudut sekolah, di balik tangga. Pintu kelas tertutup rapat. Berkali-kali Danes mengancam dengan tonjokannya agar Gasta diam. Peristiwa penggebukan itu terjadi sekitar satu menit, namun wajah Gasta sudah bersimbah darah.

Sepeninggal mereka, Gasta mengerang kesakitan. Dia menangis lirih. Airmatanya bercampur darah membasahi wajahnya. Sekali lagi, bukannya dia takut pada Danes dan kawan-kawannya, tapi dia takut Feliz marah dan khawatir melihatnya. Takut jika Feliz tau bahwa keempat orang itulah yang menghancurkannya seperti ini.

Anehnya, Maruli dkk. tidak panik mencarinya. Tidak ada panggilan/chat satupun dari mereka. Gasta dilanda keresahan. Bingung mau meminta pertolongan pada siapa. Tidak mungkin pada Maruli maupun teman band lainnya karena dia kelas 8H dan berteman baik dengan Uzi dkk.

Tiba-tiba terbersit sebuah nama: Azhar.

Gasta tau Azhar masih di sekolah karena ada kerja kelompok pelajaran, sama seperti kelompok Aimee. Tak kuasa dia merogoh saku untuk mengambil ponselnya. Untung saja ponselnya tidak rusak.

"Zhar, sini. Ke kelas kosong pojokan. Penting." Gasta mengirim voicenote ke Azhar. Suara Gasta hampir habis, lirih, dan tak bertenaga.

Azhar yang menerima voicenote itu jelas kaget, namun tidak membocorkannya pada siapapun. Dia lalu ijin ke toilet pada teman-temannya.

"Astaga, Gas! Lo kenapa? Ya ampun... Babak belur gini!" pekik Azhar panik ketika melihat Gasta masih tersungkur di lantai kelas kosong itu dengan wajah berdarah-darah.

"Tolong gue Zhar... Beliin kapas ama plester... Tar gue jelasin semuanya... Jangan bilang sapa-sapa dulu, oke..." pinta Gasta pelan.

Langsung saja Azhar dengan sigap berlari menuju toko kelontong di seberang sekolah. Sekembalinya dari sana, Gasta sudah duduk bersandar di tembok, di balik pintu agar tidak ada yang melihat. Gasta membersihkan lukanya dibantu oleh Azhar.

"Danes Zhar." bisik Gasta lirih. "Jangan kasitau sapa-sapa ya. Apalagi kakak gue. Gue bisa nyelesein ini semua ndiri."
Azhar geleng-geleng tak percaya saat Gasta menjelaskan detail kejadian tadi. Gasta menceritakan semuanya, kecuali adegan pengakuan sayangnya pada Aimee.

"Janji ya Zhar."
Azhar mengangguk. "Pasti."
"Gue cuma ga mau ini semua tambah panjang."
Azhar menghela napas.
"Sekarang gue tinggal cari alesan ke kakak gue buat jelasin luka-luka ini."
Azhar terdiam.
"Bilang aja kecelakaan, Gas."
"Gue udah pernah kecelakaan. Pasti kakak gue ga percaya."
Azhar nampak berpikir panjang lagi.
"Tawuran Gas. Anak SMK."
Kali ini Gasta yang nampak berpikir.
"Good idea."

Gasta meminta tolong pada Azhar untuk mengambilkan tasnya di ruang band. Tidak mungkin Gasta masuk ke sana dengan kondisi seperti itu. Bisa-bisa namanya langsung masuk mading mingguan sekolah.

Ketika Azhar ditanya oleh Fico, Sandra, dan Maruli mengenai dimana Gasta, otaknya langsung berputar cepat.
"Dia diare. Ijin pulang duluan, makanya nyuruh gue yang ambilin tas. Soalnya dia masih sibuk di toilet."
Dan membahanalah raungan-raungan jijik dari mereka bertiga di dalam studio.

***

Gasta tertatih meninggalkan sekolah. Lukanya masih perlu perawatan intensif. Dia merasa harus ke rumah sakit. Beruntung ada rumah sakit swasta yang hanya berjarak 100 meter dari sekolahnya. Gasta memutuskan untuk berjalan saja karena kakinya tidak apa-apa.

Di jalan, Gasta mengechat Feliz.
"Kak, aku otw RS. Aku luka kena tawuran. Ga usah khawatir."

Tak ayal, beberapa menit kemudian ponsel Gasta berbunyi nyaring pertanda ada telepon masuk. Jelas dari Feliz. Gasta mengabaikannya, malah menyetelnya jadi mode sunyi. Nanti kalau sudah di rumah sakit, baru Gasta akan menelpon.

Gasta masuk ke IGD. Lukanya dirawat. Ada lebam di matanya, hidungnya juga nyeri berwarna kebiruan di pangkalnya. Ujung bibirnya sedikit robek, dan rongga mulut bagian belakang pipinya juga terasa asin, pertanda berdarah.

Gasta baru selesai diobati ketika Feliz menelpon lagi.

"Dek, kamu gak papa? Hah? Kok bisa sih ikut tawuran? Hei? Jawab dek!" serbu Feliz luar biasa panik.
"Aku nggak papa Kak. Aku di IGD Centra Medika ini. Cepet sini. Ga ada yang bayar hehe." Gasta malah cengengesan. Padahal di dompetnya ada kartu debit maupun kredit dari mamanya.
"Malah bercanda. Ya udah. Kakak kesana. Kamu beneran ga papa?"
"Kalo aku kenapa-kenapa yang nelpon pasti susternya, Kak." Gasta berusaha menenangkan Feliz.
"Oke. Kakak kesana sekarang."

Gasta lega. Setidaknya, untuk saat itu. Semoga kakaknya tidak curiga.

***

Sementara itu, di tempat lain...
Aimee duduk di samping Deon, di suatu tempat nongkrong. Wajah Aimee muram. Begitu juga dengan wajah Deon.

Pikiran Aimee hanya satu: Gasta. Apa yang ditakutkan Aimee adalah jika dia kenapa-kenapa. Padahal memang itulah yang terjadi. Aroma cappucino Deon menyita perhatiannya.

"Yon."
"Hm?"
"Kamu kapan treatment lagi?" tanya Aimee. Mata Deon menyipit.
"Biar kamu bisa berduaan ama Gasta, gitu?"
Aimee jelas mendengus kesal.
"Becandaaa. Minggu depan. Cuma terapi kok."
Aimee terenyuh, tenggelam dalam diam.
"Kamu kenapa gak pernah cerita sih soal kanker kamu?" tanya Aimee lagi.
Pandangan Deon menatap lurus ke depan.

"Aku nggak mau kamu kepikiran." jawabnya.
Ck. Aimee berdecak. "Klise banget. Nggak ada alasan lain?"
"Biar kamu nganggepnya aku selalu ada buat kamu." tambah Deon.
Deon mencecap sedikit cappucinonya.
"Gantian aku dong yang nanya."
"Go ahead."
Badan Deon menghadap ke Aimee.
"Apa yang aku nggak punya tapi Gasta punya?"

Pertanyaan Deon lumayan berat.

Di saat yang sama, masuklah sebuah pesan di BBM Aimee.
Dari Gasta.
"Mee, janji jangan pernah bilang siapapun tentang kejadian di kelas kosong tadi. Siapapun. Apalagi kakakku. Janji ya. Cukup aku, kamu, dan mereka berlima aja yang tau. Aku nggak mau ngelibatin banyak orang. Ini masalahku, jadi aku harus nyelesein ndiri."

Dan ternyata, jawabannya ada di dalam pesan BBM itu.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now