32 - Kedatangan Hati yang Lain

104 14 2
                                    

Sudah berakhir.
Kisah indah Gasta bersama Aimee, sudah berakhir.
Perhatian Aimee yang selalu tercurah padanya, sudah berakhir.
Tawa canda yang selalu Aimee bagi dengannya, sudah berakhir.
Semuanya hilang. Berhenti begitu saja.
Dan berganti raut dingin Aimee yang semakin hari semakin memburuk.

Yang tersisa hanyalah kehampaan. Pelajaran yang memuakkan, dan jam dinding yang detaknya terasa lebih lama. Tujuan Gasta pergi sekolah hanya dua: menuruti Feliz dan menanti bel pulang.

Sejak dokter memvonisnya terkena sirosis, jadwal Gasta berubah. Semua ekskul sementara dihentikan atas perintah Feliz. Entah sampai kapan. Gasta rindu basket, rindu ngeband, rindu latihan paskib. Namun di saat perhatiannya harus teralihkan seperti ini, justru malah tidak ada yang bisa mengalihkannya.

Biasanya, dulu, saat Gasta tahu Aimee sedang bersama Deon, atau semacam itu, basket adalah pelariannya. Atau bermain drum di studio band, menggeret Syahrul dan Fico untuk berlatih. Tapi sekarang semuanya berbeda.

Kadang, Gasta mencuri-curi kesempatan bermain basket ketika di sekolah. Namun tetap saja, pasti bakal ketahuan. Feliz ngomel-ngomel. Kondisi liver Gasta tidak sekuat dulu. Kali ini dia harus mengurangi aktivitas beratnya.

Skorsing selesai. Gasta kembali masuk sekolah. Suasana kelas mendadak dingin saat dirinya memasuki kelas. Senyum hangatnya tak nampak. Gasta tertunduk lesu menuju bangkunya.

"Hai, Gas." sapa seseorang.
Lefina.
Gasta menanggapinya dengan senyuman tipis.
"Gue duduk sini ya?"
"Boleh. Tapi tar kalo ada Valdi, lo pindah."
"Tenang. Valdi lagi izin ampe seminggu ini. Dari kemaren. Jadi nih bangku bakal kosong."
"Oh, ya udah kalo gitu."

Lefina pindah ke bangku di sebelah Gasta. Bangku Valdi. Melempar senyum, Lefina mulai mengeluarkan buku-bukunya.

"Terus Keke gimana?" Gasta menanyakan soal teman sebangku Lefina.
"Nggak apa. Gue lagi males ama Keke. Digangguin mulu." dengus Lefina.
"Digangguin gimana? Gue juga suka gangguin loh."
"Ya dikerjain, digodain, gitu deh pokoknya. Makanya gue pindah mumpung ada bangku kosong."
"Haha. Dasar. Cemen lo." Gasta mengacak-acak rambut Lefina.

Deg. Lefina jelas tercekat. Baru kali itu ada cowok yang berani mengacak-acak rambutnya.
Dan ketercekatan Lefina, ditangkap baik oleh Aimee yang sedari tadi memerhatikannya dari bangkunya di ujung kelas.

Di alam bawah sadarnya, hati Aimee diam-diam terkulai.

***

Makin hari, Lefina dan Gasta makin akrab. Dua hari sudah mereka sebangku. Tawa Gasta kini terdengar kembali. Begitu pula dengan senyum cerahnya. Insiden dengan Aimee beberapa waktu lalu sudah dilupakannya. Sikap ignoran Aimee juga sudah terasa biasa. Gasta juga sudah 'biasa' untuk tidak menyapa Aimee di sekolah. Mereka berdua kini seperti orang asing yang pernah terjebak dalam kisah yang sama.

Semua teman sekelasnya mengira bahwa Gasta dan Aimee masing-masing sudah berubah. Aimee yang sudah terlanjur tersakiti oleh Gasta, dan Gasta yang sudah putus asa menghadapi dingin dan angkuhnya sikap Aimee terhadapnya. Sekarang, mereka seperti memiliki dunia sendiri-sendiri. Aimee seakan tidak mengenal Gasta, dan Gasta juga tidak mengenal Aimee.

Namun yang Gasta tidak tahu adalah betapa inginnya Aimee untuk mengulang kembali kehidupan mereka yang dulu. Betapa Aimee merindukan gelak tawa Gasta yang biasa didengarnya setiap hari. Betapa rasa hangat yang mengalir di dadanya masih terasa sama ketika dia menatap Gasta dan senyumnya meski dari kejauhan. Ya, Aimee pun merasa kehilangan. Namun, ya, keangkuhan perasaannya seakan membutakan hatinya dari itu semua.

Siang hari itu, saat jam istirahat selesai, Gasta dan Lefina berjalan ke kelas. Lefina dibelakang Gasta, dengan kedua tangan diletakkan di pundak Gasta, sehingga posisi mereka seperti main kereta-keretaan. Tiba-tiba Gasta berhenti mendadak, sehingga Lefina menabrak punggung Gasta. Bruk!

"Ih! Yang bener dong jalannya!" seru Lefina dengan senyum manja. Gasta memutar badan. Mereka berdua ada di depan papan tulis kelas. "Bawel." ujar Gasta, menarik hidung Lefina. "Iiih! Gasta! Sakit tau!!" Lefina mencubit lengan Gasta. Gasta meringis kesakitan, lalu menarik tangan Lefina. "Mau yang nggak sakit?" tanya Gasta. "Apa?" balas Lefina. Gasta tersenyum jahil. "Nih! Nih! Nih! Hahahaha! Rasain!!!" Gasta mulai menggelitiki Lefina sambil tertawa.

Kontan saja Lefina merasa terbang, sekaligus kegelian. Dia menggeliat kesana kemari namun Gasta masih tetap memegangi tubuhnya sehingga dia tak bisa melarikan diri.
"Gasta!!! Geliiii geblek!!! Hahahaha! Stooop!! Aaaaaah!!" pekik Lefina, berteriak kegelian, dan masih diiringi gelak tawa Gasta.

Aimee, yang daritadi menahan dongkol melihat adegan yang menurutnya mesra namun drama tersebut, mulai emosi. Bangkunya berada di dekat pintu kelas, di ujung, deretan paling depan, membuatnya dapat melihat itu semua dengan jelas. Tanpa tedeng aling-aling, diambilnya tip-X di mejanya dan dilemparkannya kuat-kuat ke arah mereka berdua. Pletak!

"Berisik, tau gak!" bentaknya, lalu pura-pura fokus kembali pada bukunya. Lefina jelas emosi. "Biasa aja keles. Sirik aja lo!" balasnya. Gasta kaget. Kaget dengan perbuatan Aimee barusan. Namun, dia hanya diam saja lalu menggeret Lefina ke bangkunya.

FYI, Lefina adalah cewek yang terkenal genit maksimal di seantero kelas 8A. Dia tidak cantik, tidak terlalu utihh, tidak menarik secara fisik. Tapi, dia aktif di segala hal. Dia sekretaris kelas. Anggota OSIS, volly sekolah, dan termasuk salah satu orang berada di kelas 8A. Gayanya norak, tapi pandai memikat hati lelaki. Entahlah, cewek-cewek di kelas 8A tidak tahu bagaimana bisa para cowok bisa dekat-dekat dengannya, mengingat outlooknya yang memang tidak menarik, pun dengan gayanya. Bahkan ada yang mencibir bahwa Lefina menggunakan ilmu pelet atau semacamnya.

Di esok harinya, lagi-lagi Aimee terpancing emosinya melihat tingkah Lefina dan Gasta. Lefina dan Gasta duduk di bangku paling belakang. Beda sederet dengan Aimee. Kali itu Gasta sedang asyik mengedit video di belakang kelas karena kebetulan sedang jam kosong. Dia membawa laptop dari rumah. Gasta fokus sekali, sehingga obrolan Lefina hanya disahuti seadanya. "Hm?" "Oh ya?" "Ha?" "Oh" dan sebagainya.

Merasa diabaikan, Lefina sedikit keki. Tapi namanya juga Lefina, untuk mendapatkan perhatian lelaki bukanlah perkara yang sulit. Ada saja cara yang digunakannya.

Pertama, dia pura-pura ikut fokus dengan pekerjaan Gasta. Lefina melihat ke arah layar laptop. Lalu mulai memuji, "Duh, keren banget."
Gasta jelas tersanjung. Ditanggapinya pujian Lefina dengan senyum. "Kamu suka ngedit-ngedit video gini sejak kapan?" tanyanya kemudian, sembari merapatkan tubuhnya pada tubuh Gasta.
Gasta terhenyak. Dia jadi ingin membalas Lefina dengan pertanyaan "Lo manggil gue dengan sebutan 'kamu' sejak kapan?" tapi tidak jadi.
"Lupa deh. Kelas 7 kayanya." jawab Gasta sekenanya.
"Oh, gitu. Kalo suka basket, sejak kapan? Aku dulu juga suka loh ama basket, tapi sekarang udah nggak terlalu." kali ini tangannya mulai merangkul pundak Gasta. Gasta risih, tapi diam saja. Masih fokus pada layar laptop.

Mata Aimee tidak lepas dari mereka berdua sejak tadi.

"Dari SD. Tapi sekarang lagi nggak main basket. Lagi vakum. Gara-gara sakit soalnya."
"Yah, sayang dong ya. Padahal kamu kalo main keren loh. Kamu kapten tim sekolah kan?"
Gasta mengangguk. "Ya gimana lagi. Daripada tar sakit lagi gue terus diomelin ama kakak gue."
Lefina tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya di pundak Gasta. What the!
"Ya udah. Yang sabar aja. Besok kalo udah sembuh total juga bakal main basket lagi kan. Moga cepet sembuh ya, Gas." Lefina menempelkan pipinya ke pundak Gasta. Oh my goodness!

"Fin" panggil Aimee dari kejauhan. Ambiens kelas yang cukup gaduh membuat Lefina tak mendengarnya.
"Lefina!"
Lefina malah melanjutkan obrolannya dengan Gasta dengan posisi yang lebih ekstrem: merangkul pinggang Gasta dan menempelkan pipinya di pundak Gasta.
"Lefina! Fin! Woy!"
Aimee tetap tidak terdengar oleh Lefina.
Kesal, Aimee beranjak menghampiri mereka berdua. Dan bluk! Ditutupnya layar laptop Gasta begitu saja. Gasta terperanjat, dan langsung menoleh ke arah Aimee.

"Pa'an sih!!!" bentak Lefina emosi. Sementara Gasta hanya menatapnya sinis.

"Ini kelas. Bukan kamar hotel!" ujar Aimee ketus.
"Ya ngerti. Terus kenapa?" sahut Lefina.
"Jangan mesum di kelas! Norak, tau gak!" timpal Aimee, lalu melenggang pergi.
"Sirik aja sih lo! Cemburu tuh bilang!" cibir Lefina, membuatnya tambah dongkol.
"Segala laptop gue jadi korban." desis Gasta pelan sambil membuka kembali laptopnya.

Yang pasti, hati Aimee kali itu hancur. Sehancur-hancurnya. Gasta yang dingin, Gasta yang cuek. Padahal, Aimee sendiri yang membuatnya seperti itu. Aimeelah yang membuat Gasta cuek dan mengabaikannya.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now