45 - Refleksi Perasaan Gasta

161 17 24
                                    

Buat yang nunggu, nikmati ya. Enak enakin. Tiga rebu kata nih. Dua kali lipat porsi biasanya. Hehe. Kane ga tuh.

Ditulis saat sedang dalam kondisi pemulihan badan, monmaap bila kata katanya sungguh random. Cheers!

***

Hari itu, Valdi adalah malaikat. Begitu pula dengan Tofan.

Mereka membantu mengepel darah Gasta yang berceceran di lantai, mencuci taplak meja guru yang kayak habis dipakai mengepel darah korban pembantaian, dan mengantar Gasta pulang. Gasta sempoyongan, padahal cuma mimisan. Jelas sedang ada yang tidak beres dengan dirinya. Maka dari itu Tofan ikut mengantar, memapah Gasta yang lemas total, bonus diantar pulang naik mobil keren Valdi.

"Kok tumbenan Gas?" Valdi bertanya dari kursi depan. Mama Valdi tampak prihatin, apalagi setelah melihat seragam Gasta yang masih ada beberapa percikan darahnya.

"Hah?" sahut Gasta lemas, bersandar di jok tengah. Tofan di sebelahnya.
"Iya. Lo tiba-tiba drop gini."
"Tau nih." timpalnya. Matanya tampak sayu, mengarah keluar jendela. "Tapi udah gapapa kok."
"Gapapa mata lo." sergah Tofan. "Badan lo lemes gini. Disentil juga ambruk. Itu tadi yang keluar dari idung lo darah Gas, bukan ingus apalagi duit." lanjutnya, membuat Valdi menyunggingkan senyum, disusul Gasta.

"Bener, nggak mau ke rumah sakit aja, Gas?" suara Mama Valdi kali ini menimpali. Gasta menggeleng. "Ngga usah, Te. Aku nggak papa kok."

***

"Njir." rutuk Gasta saat melihat mobil sedan papanya terparkir di halaman rumahnya. "Kenapa pas gue gini sih." Gasta memindahkan ranselnya ke dada, agar beberapa percikan darah itu tak terlihat.

Gasta disambut wajah sumringah mamanya dan wajah masam papanya, seperti biasa. Mereka tak menaruh curiga apapun. Cara berjalan Gasta yang pelan-pelan juga tidak menyita perhatian mereka. Gasta sukses masuk kamar tanpa pertanyaan ini itu.

Dibaringkannya tubuhnya ke kasur. Masih lemas, dengan napas yang cukup berat. Dada dan perut Gasta terasa tercampur, seakan tak ada sekat di antara mereka. Gasta sungguh kelelahan.

Tangannya disentuhkan pada dahi. Fix, auto tepar. Auto besok gak masuk, dan auto diomeli Feliz. Bonus omelan ganda papa-mamanya jika mereka juga tahu.

Cklek. Pintu kamar Gasta terbuka, dan Gasta langsung yakin bahwa hari itu Dewi Fortuna sedang tidak berada di pihaknya.

"Kenapa itu seragam kamu?"

Shit, batin Gasta. Merutuki mata Feliz yang begitu jeli dan kok bisa-bisanya langsung auto fokus di bagian itu

Jujur, nggak. Jujur, nggak. Kalo jujur, tar pasti diomelin, kalo nggak, ujung-ujungnya bakal ketahuan dan bakal diomelin juga. Akhirnya Gasta memilih jujur.

"Tadi mimisan di kelas." sahutnya tanpa menatap Feliz. Feliz langsung memburu Gasta, menariknya untuk duduk.

"Eit." Gasta menunjuk wajah Feliz. "Jangan bilang mama papa, awas!" ancamnya serius. Feliz mengembuskan nafas kuat-kuat.

"Kok bisa?"
"Mana Gasta tau."
"Banyak?"
"Mayan."
"Sekarang gimana?" Feliz menyentuh dahi Gasta. "Ya ampun. Tuh, kan. Ya udah istirahat. Ntar Kakak ambilin makan." Feliz menjawab pertanyaannya sendiri setelah merasakan tangannya yang tersengat panas dahi adiknya.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now