28 - Sebuah Akhir yang Mengawali

141 15 3
                                    


Gasta akhirnya masuk sekolah lagi untuk pertama kalinya, setelah sekian lama tidak ke sekolah.

Semuanya menyambut dengan riuhnya, kecuali dua orang; tentu saja, Aimee dan Danes. Gasta masih ringkih. Wajahnya yang pucat membuat teman-teman lainnya sedikit canggung untuk bisa bercanda tawa sebebas biasanya. Baru dua hari memang Gasta keluar dari rumah sakit, namun semangatnya untuk bertemu teman-teman di sekolahnya sungguh besar.

Rentetan pertanyaan terlontar bergantian dari bibir teman-teman Gasta. Sakit apa, dirawat dimana, dan yang lainnya.

"Hati gue kena radang." jawabnya, saat ada yang bertanya tentang penyakit apa yang dia derita. Aimee nyeri mendengarnya. Merasa iba pada Gasta yang tetap berusaha ceria meski terlihat masih menahan sakit.
"Ciye, kebanyakan patah hati sih lo! Makanya hatinya ngeradang." celetuk salah seorang teman. Tawa terdengar di kelas 8A.

"Di rawat lah, di rumah sakit. Tapi rahasia di rumah sakit mana. Ntar kalian jenguk dong." jawab Gasta lagi, saat ada yang nanya dirawat dimana. Kontan sekelas mencibir riuh. "Kepedean lo!" seru Arsyil tertawa.
Atmosfer kelas yang positif membuat semangat Gasta bangkit lagi. Terlebih, setelah dia menatap Aimee.
Aimee, yang kali itu duduk sendiri di pojokan kelas, seakan Gasta tidak seperti baru saja masuk setelah absen sekian lama. Sikap ignoran Aimee perlahan merisaukannya. Gasta jadi kalut. Khawatir jika Aimee sungguh marah padanya.

Bel masuk berbunyi. Saatnya pelajaran dimulai.
Gasta duduk sebangku dengan Valdi. Azhar kini gilirannya sebangku dengan yang lain. Biasa, digilir. Sudah jadi peraturan tetap.

"Gila, gue udah ketinggalan jauh nih." keluh Gasta saat menatap angka-angka dan rumus yang dituliskan oleh Bu Lisa, guru fisika.
"Sante aja. Gue masuk terus tapi juga gak bisa-bisa." timpal Valdi, lebih pesimis. Gasta tertawa pelan.
"Ajarin dong, Di." pinta Gasta, dibalas dengan tatapan tak percaya dari Valdi.
"Kan elo yang masuk lima besar di kelas, coy. Aturan elo yang ajarin gue."
"Gue kan nggak masuk lama, Di. Makanya clueless gini."
"Minta ajarin yang lain, deh."
"Sapa?"
"Sapa, kek. Aimee." jawab Valdi santai. Gasta terhenyak. Kegelisahan kembali meliputinya. Rautnya berubah drastis mendengar nama itu.

"Gas? Kok diem?" tegur Valdi heran.
"Oh, eh... Nggak. Nggak apa."
"Jadi lo beneran ada apa-apa..."
"Pa'an sih." potong Gasta, mendengus kesal. "Udah tuh, dengerin Bu Ufa tuh."
"Kok Bu Ufa sih Gas? Bu Lisa maksudnya? Lo nape sih?" Valdi tampak merasa aneh dengan Gasta.
"Iya, itu maksud gue. Ssstt." Gasta menyudahi.
"Lo masih sakit kali. Sakit jiwa."
"Kampret."

Mereka berdua tergelak pelan, lalu mendadak diam ketika Bu Lisa tiba-tiba menoleh ke arah mereka.

***

Pukul setengah 9 pagi. Feliz baru saja selesai jam ke 1-2. Jam ke 3-4 ini dia kosong. Melangkah santai menuju kantor guru, Feliz dikagetkan oleh sebuah dering ponselnya. Sebuah chat Whatsapp masuk.
Dari Raymond.

"Ya Tuhan..." desis Feliz, menutup mulutnya dengan satu tangan.
Dengan punggung gemetar, Feliz bergegas menuju kantor guru. Kedua kakinya lemas, bahkan seperti mati rasa. Beruntung dia masih kuat berjalan. Napasnya memburu. Seperti mimpi, itulah yang dirasakan Feliz kali itu. Panik, resah, setengah sadar. Setibanya di depan kantor, Feliz memburu pintunya hingga terdengar suara keras akibat hentakan pintu tersebut.

"Weits, weits, weits... Bu Feliz. Masih pagi Bu. Buru-buru sekali ada apa?" tegur Pak Sudi yang kebetulan sedang di kantor. Beberapa guru di situ juga tercengang menatap Feliz yang gugup sekali.
"Bu Resti! Mana Bu Resti?" suara Feliz terdengar panik seakan sedang terjadi bencana alam di sana.
"Hoi, saya di sini, Miss. Ada apa?" Bu Resti melambaikan tangannya pada Feliz. Feliz secepat kilat berlari menghampiri wanita paruh baya itu.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now