42 - Tersuratkan

122 11 7
                                    

Aimee bukanlah Aimee sejak Gasta menjauhinya. Mungkin, sejak Deon pergi.

Tapi Aimee tak bisa memungkiri bahwa di hari-harinya, sosok Gasta kerap muncul di benaknya tiba-tiba. Dia merindukan tawa yang dulu biasa mereka bagi bersama, bahkan meski saat Deon masih ada.

Tiba-tiba Aimee merasa bersalah setengah mati ketika teringat insiden di tangga itu. Gasta yang difitnahnya. Gasta yang tatapan matanya tidak pernah sekecewa itu. Dan Gasta yang harus menanggung akibatnya.

Aimee tidak seratus persen sadar apa tujuan dirinya memfitnah Gasta seperti itu. Yang terpikirkan saat itu adalah, Aimee tidak ingin Gasta ikut campur dengan urusannya lagi, sekalipun dia sedang terpojok oleh dua begundal populer sekolah itu. Aimee tidak mau Gasta merecoki kehidupannya lagi. Aimee ingin melihat Gasta jera menolongnya, setidaknya pada saat itu.

Sejak insiden itu, pamor Gasta di kelas jadi turun. Tidak semua percaya dengan kesaksian Aimee, namun yang percaya lebih banyak sehingga Gasta kalah. Gasta sebenarnya beban mental juga, tapi dikuatkannya hatinya; "Aku gak salah, kenapa aku harus ngerasa bersalah?"

Kembali ke Aimee.

Pagi itu dia nekat menemui Feliz di kantor untuk mengungkap semuanya. Tak peduli betapa bencinya Feliz padanya nanti, yang penting dia sudah jujur dan membuat hatinya lega.

Aimee tiba di kantor, sudah di depan meja Feliz. Keduanya saling berhadapan. Feliz menatap Aimee, sedangkan Aimee menunduk dalam-dalam.

Sret. Diserahkannya sebuah amplop pada Feliz. "Titip buat Gasta, Miss."

"Waduh. Buat Gasta?" ulang Feliz, terkejut. Aimee mengangguk. Feliz menimang-nimang surat itu. Dia tau betul, Gasta dan Aimee tidak seperti dulu lagi. Dan di benaknya masih ada satu kenyataan: Gasta pernah berniat macam-macam pada Aimee.

"Kenapa nggak bilang sendiri?"
"Nggak deh, Miss. Gasta sekarang berubah."
"Jadi?"
"Lebih judes. Ketus. Cuek. Senyumnya hilang."

Feliz tersenyum. Disentuhnya punggung tangan Aimee.
"Betul, Mee. Miss Feliz juga ngerasa gitu."

Lalu diceritakannya semua insiden sejak kejadian di tangga itu pada Aimee. Gasta yang kabur, bawa motor, kepergok papanya... Dan hal itu membuat Aimee semakin gundah gulana.

"Miss... Saya mau ngaku sesuatu." ucap Aimee tiba-tiba. Feliz mengerling ke arahnya.
"Ngaku apa, Mee?"
"Gasta nggak salah, Miss." cetus Aimee, diiringi sebutir airmata yang jatuh.
"Nggak salah apanya?"
"Yang kejadian di tangga." Aimee mulai terisak. "Semua itu karangan saya. Gasta nggak salah. Uzi ama Fais yang mau goda saya. Gasta mau nolong. Tapi..."

"Jangan becanda, Mee." tegur Feliz tidak percaya.
"Saya serius, Miss. Gasta mau nolong. Tapi saya nggak mau Gasta ikut campur urusan saya. Sok sokan ngelindungin saya. Entah, saya juga gak tau, like, saya kesel Miss ama Gasta waktu itu. Kenapa sih dia selalu pingin masuk ke kehidupan saya?" cericip Aimee panjang lebar.

Feliz tak menatap Aimee. Dia tenggelam dalam rasa bersalah. Tamparan itu, sosok Gasta yang dihajar papanya di lapangan... Semua terputar di benak Feliz begitu saja.

Feliz tentulah marah. Ingin rasanya dia menampar Aimee kali itu. Harga diri adiknya dipermainkan seperti itu. Dan bodohnya, dia lebih percaya dengan kebohongan yang Aimee ciptakan.

Aimee turut tertunduk. Dia tahu Feliz marah. Tapi dia tidak ingin hal itu terjadi.

"Saya cuma bisa minta maaf, Miss. Maaf banget. Aimee yang salah. Aimee yang ngerusak semuanya." airmata Aimee mulai deras berjatuhan.

"Saya tau, Gasta pasti benci sama saya. Bahkan mungkin Miss Feliz. Tapi saya mohon, maafin saya Miss." ujar Aimee tersedu-sedu.

Feliz jadi iba. Diusapnya pipi Aimee yang basah akan airmata itu. Senyumnya dilengkungkan, meski hatinya sebenarnya sakit.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now