26 - Kebenaran dari dan untuk Deon

117 15 0
                                    

Gasta sore itu memutuskan untuk mengunjungi Deon. Tak peduli bagaimana reaksi Deon nanti. Gasta tau Deon benar-benar membencinya, tapi dia benar-benar merasa bersalah telah membuat Aimee memutuskannya demi dirinya. Meski, jauh di relung hati Gasta, ada kebahagiaan yang tak terkira perihal putusnya hubungan mereka. Namun, kepergian Aimee beberapa waktu lalu tentu masih menyisakan luka di hatinya.

Berbekal petunjuk dari Feliz, Gasta menggerakkan kursi rodanya menuju kamar Deon. Tak peduli ada Raymond atau tidak nanti di situ, dia ingin meluruskan semuanya. Memastikan apakah betul yang dipaparkan Aimee beberapa waktu lalu itu memang nyata. Selang infus masih menancap di punggung tangan kirinya. Feliz bersikukuh mengantar, tapi Gasta menolak. Dia ingin kesana sendiri.

Sampailah dia pada kamar yang dimaksud Feliz. Langsung saja dia nyelonong masuk karena pintunya sedikit terbuka. Tampaklah sosok Deon di sana, dengan tubuh kurus, mata cekung, bibir pucat, serta kepala yang tersandar pada ranjang.

"Deon?" panggil Gasta.
Deon menoleh. Betapa tertegunnya dia. Namun kondisi fisiknya yang lemah membuatnya hanya mampu bersandar lemah di ranjangnya sambil menatap Gasta dengan tatapan nanar.

Deon terdiam beberapa saat. Menggerayangi setiap sudut tubuh Gasta dengan tatapan tak percaya namun dengan sorot mata yang layu.

"Ini gue, Gasta." Gasta mendekatkan dirinya ke ranjang Deon. Deon sudah tau. Tapi dia diam saja karena tubuhnya terlalu lemah.
"Gue juga lagi sakit di sini. Tapi ini udah mo sembuh."
Deon diam saja mendengarnya.
"Ada apa lo kemari?" barulah dia buka suara.
Gasta menunduk sambil menggigit bibir. Tak tau harus mengawalinya darimana.
"Gue pengen ngomong banyak hal ama lo. Terutama soal..."
"Soal Aimee?" potong Deon, sudah bisa menebak. Gasta tercekat, namun dia mengangguk saja.
"Kenapa Aimee?" tanyanya lirih, datar. Sepertinya Deon kehabisan tenaga. Entah mengapa, dia terlihat begitu lemah. Gasta kembali bingung.

"Kemarin dia tiba-tiba masuk ke kamar gue." ungkap Gasta. "Padahal gue nggak ngehubungin dia sama sekali. Dia bahkan nggak tau gue sakit apa dan dimana. Ternyata dia abis nengokin lo. Terus ngikutin Kakak gue diem-diem."

Deon terdiam, tapi tatapannya menyiratkan bahwa dia meminta Gasta untuk melanjutkan ceritanya.
"Gue cuma mau tanya." ujar Gasta. "Apa bener, lo ama Aimee udah... putus?" lanjutnya ragu-ragu.
Pupil mata Deon yang membesar tertangkap oleh Gasta.

Deon hanya membisu sambil terus menatap Gasta dengan tatapan tak percaya. Raut dingin Deon semakin kuat ketika dia sakit. Deon jelas terkesiap setengah mati. Patahlah hatinya kali itu. Tidak ada hujan, tidak ada angin, dan tiba-tiba sosok Gasta datang ke kamarnya mempertanyakan isu yang mencengangkan tersebut. Betapa mengejutkannya hari itu.

"Yon?"
Deon tetap bergeming.
"Bener, lo udah..."
"Kata siapa?" sahut Deon kemudian.
"Kata Aimee lah. Siapa lagi?"
"Ga usah ngada-ngada. Kata siapa?" gertak Deon seakan tak percaya. Masih dengan kondisi lemah bersandar di ranjang.
"Kata Aimee, Yon."
Deon menggigit bibir bawahnya.
"Jangan main-main, Gas."
"Gue nggak main-main!" tukas Gasta sedikit kesal. "Dia sendiri yang ngaku ke gue. Kalo lo ama dia udah putus. Makanya gue mau mastiin ke elo. Iya apa enggak?"
"Kalo iya kenapa? Lo mau ambil dia?" tandas Deon to the point.
Giliran Gasta yang terdiam.

Deon, dalam kondisinya yang sangat rapuh itu, diam-diam menangis dalam hati. Fisiknya sudah lemah, kini jiwanya turut hancur. Di saat dia berharap dan menganggap bahwa Aimee adalah satu-satunya penyemangatnya, dia malah mendengar kabar bahwa si penyemangat itu telah memutuskannya secara sepihak.

"Gue cuma mau minta maaf." suara Gasta berat sekali. "Tapi gue masih penasaran, Yon. Sebenernya kalian udah putus ato..."
"Menurut lo?" sela Deon.
"Gue nggak tau, makanya gue nanya."
"Menurut lo? Kalo respon gue kayak tadi?"

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now