22 - Bertualangnya Aimee

132 16 2
                                    

Semalam Aimee baru mendapat kabar soal Deon yang masuk rumah sakit lagi. Deon, di tengah kondisinya yang mengkhawatirkan, masih menyempatkan dirinya untuk mengabari Aimee. Aimee jelas gelisah. Sudah lima hari dan Deon baru mengabari? Ini gila sekali.

Deon, di tengah sakitnya, tentu tak kalah gelisah. Dia terus memikirkan Aimee. Yang dia takutkan adalah Aimee yang akan berpaling karena dia tak dapat mencurahkan perhatiannya padanya.

Apalagi Gasta.

Meski masih sakit hati oleh pengkhianatan secara tidak langsung yang dilakukan Aimee padanya, lubuk hati terdalam Gasta masih menggaungkan namanya. Ya, Gasta tak dapat memungkiri bahwa Aimee masih tetap menjadi pemenang di hatinya. Entah sudah berapa hari dia tidak mengontak Aimee. Serba salah memang. Di satu sisi, Gasta tidak mau Aimee menganggapnya 'tidak memberi perhatian padanya'. Namun di sisi lain, Gasta juga tidak mau Aimee tahu bahwa dia sedang sakit parah.

Kembali ke Aimee.
Rasa gelisah Aimee akan Deon membuatnya sejenak lupa pada Gasta yang menghilang berhari-hari. Kini Deon yang seutuhnya di benaknya. Aimee mencari waktu yang pas untuk menengok Deon karena dia butuh tumpangan ke sana.

Mulanya, Aimee ingin mengajak Feliz. Namun dia ingat bahwa Feliz sendiri pasti sibuk merawat Gasta. Diurungkannya niatnya. Dia berencana minta antar orangtuanya. Tapi diurungkannya lagi niatnya itu setelah dia putuskan dia akan menengok Deon sepulang sekolah, di sore hari.

Tak pernah terbersit sedikitpun di benak Aimee bahwa dia sesungguhnya terjebak di dua hati. Deon dan Gasta. Deon, pacarnya yang sesungguhnya, bukanlah sosok yang pandai membuat kekasihnya seakan selalu 'teringat' padanya. Entah karena perangainya yang memang dingin dan tidak penuh kejutan, atau yang lain. Sedangkan Gasta sebaliknya. Dia mampu membuat seseorang merasa diistimewakan, bahkan kadang dia sendiri tidak merasa mengistimewakan; karena rasa empatinya yang tinggi terhadap orang lain.

Maka dari itu, Aimee memutuskan untuk menjenguk Deon sendirian sore itu, setelah sebelumnya meng-SMS bundanya terlebih dahulu.

***

Gemuruh dada Deon mungkin bisa didengar dari ambang pintu ketika Aimee masuk dan menghambur ke pelukan Deon. Aimee terisak; sedih bercampur bahagia. Deon membelai kepala Aimee. Kakak Deon alias Raymond belum pulang. Kalau dia ada di sana, tak mungkin Aimee berani memeluk Deon erat-erat begitu.

"Jangan sedih dong. Smile." pinta Deon, mengusap sebutir airmata di pipi Aimee. Aimee tertawa pelan. "Sorry. Aku kangen. Aku sedih. Tapi aku juga seneng. Ah, nggak tau ah." celoteh Aimee. Deon turut tertawa.
"Kamu sendirian tiap hari?" tanya Aimee.
"Iya lah. Kakak aku pulang baru ada yabg nemenin." sahut Deon.
"Sodara kamu? Nggak ada yang jenguk?"
"Enggak." tukas Deon gusar. "Nggak ada sodara di kota ini juga sih."
"Ortu kamu tau kan kalo kamu sakit?"
"Tau, tapi nggak peduli kayaknya." Deon menjawab sekenanya.

Aimee menarik napas panjang. Dia tiba-tiba merasa beruntung masih dikaruniai kedua orangtua lengkap.
"Kesepian dong?"
"Banget lah." dengus Deon. "Temennya cuma TV ama hape."
Aimee jadi merasa bersalah telah menanyakan hal tersebut.
"Kalo aku ke sini tiap hari, ampe kamu sembuh, boleh nggak?"
Mata Deon berbinar. "Serius?" tanyanya datar, tak percaya. Aimee mengangguk dan tersenyum.
"Boleh lah." seru Deon gembira. "Boleh banget." lanjutnya sambil mengacak-acak poni Aimee. Aimee turut tertawa senang. Digenggamnya kedua tangan Deon erat-erat.

Aimee merupakan sosok yang cekatan sebenarnya. Dia bisa merawat Deon. Menemaninya ngobrol, bersenda gurau, dan menyuapinya makan. Deon tampak lebih bersemangat. Saking ramainya, dia terkejut saat tiba-tiba Raymond sudah berada di ambang pintu.

"Ehm." Raymond berdeham. Aimee terperanjat, begitu pula dengan Deon.
"Eh, Kak Raymond." cetusnya keki.
Raymond tersenyum, lalu memandang Aimee. Aimee jadi grogi.
"Deon." panggil Raymond. "Who's your little friend?" tanyanya, menunjuk Aimee.
Merasa dirinya dipertanyakan, Aimee menghampiri Raymond. Diciumnya tangan Raymond sambil tersenyum hormat.
"Aimee, Kak." ucapnya lembut.
"Temen sekolahnya Deon?" tanya Raymond. Aimee mengangguk.
"Temen apa temen?" goda Raymond, dengan wajah jahil. Kontan Aimee tertawa.
"Temen hidup, Kak!" timpal Deon dari atas ranjangnya. Aimee kaget. Raymond hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.

"Oke, Aimee." Raymond menatap jam tangannya. "Deonnya udah nggak sendirian lagi nih. Aimee nggak dicariin ibunya?"
Jelas Aimee keki setengah mati. Pengusiran secara halus nih, batinnya.

"Iya, Kak. Saya juga mau pulang kok ini. Udah jam setengah 5." jawab Aimee diliputi rasa malu dan grogi.
"Baiklah kalo begitu." sahut Raymond, melipat kedua tangannya di depan dada. Deon tercengang lalu memandang Raymond tak senang. Menurutnya, perilaku kakaknya ini terlalu kaku untuk memberikan kesan pertama pada Aimee. Tapi dia tak bisa berkata apa-apa. Dia biarkan saja Aimee pulang.

"Saya pulang dulu Kak." ujar Aimee pada Raymond. Dia mencium tangannya. Dan Raymond hanya mengangguk samar dengan senyum seadanya.
"Balik dulu ya Yon?" pamit Aimee sambil melambaikan tangannya.
Deon mengangguk. "Ati-ati." pesannya.

Dan, melangkahlah Aimee meninggalkan kamar Deon dengan segenap perasaan yang bahkan Aimee tidak tahu harus diterjemahkannya sebagai apa.

"Pinter juga kamu cari cewek." tandas Raymond. Wajah Deon masih kesal. "Iya lah. Emang kakak, jomblo!" dengus Deon.
"Cantik gitu ya. Sainganmu banyak dong."
"Banyak sih, tapi yang berat cuma satu." timpal Deon, mulai memainkan ponselnya untuk meminta maaf pada Aimee atas tindakan kakaknya yang kurang menyenangkan.
"Siapa?"
"Kepo banget sih." sambar Deon.
"Heh, dengerin Kakak." Raymond duduk di sebelah Deon, di dekat bantalnya. "Jangan kebanyakan berduaan. Otak kamu nggak beres ntar isinya cewek mulu."
Deon melengos ke arah lain. "Pantesan jomblo. Kaku banget sih!" sindirnya keras.
"Yeee! Kakak tuh bukan kaku. Tapi selektif! Kalo nggak selektif bisa-bisa dapet yang bisanya nyakitin doang!" paparnya, lalu diam sejenak. Baru sadar bahwa dia berhadapan dengan anak yang baru mengerti asmara. Merasa bersalah dia telah membicarakan hal tersebut dengan adiknya.
"Ah basi! Terlalu selektif juga gak bakal laku-laku Kak!" protes adiknya. Raymond mendiamkannya saja.

"Siapa tadi namanya? Aini?"
"Aimee!" tukas Deon masih kesal. "Nginget nama doang gak becus."
"Primadona sekolah ya?"
"Gitu deh."
"Keliatan dari wajah ama tingkahnya."
"Gimana?"
"Cantik, halus gitu."
"Awas naksir."
"Yeee, emangnya kakak pedopil?"
Deon menoleh. "Pedopil apaan Kak?"
Glek. Raymond lagi-lagi menelan ludah. Di hadapannya ini cuma anak yang baru ngerti cewek kemarin sore. Kenapa dia tidak berpikir jernih, sih?
"Google sana." kilah Raymond. "Satu sekolah berapa anak yang naksir dia?"
Mata Deon menyipit ke arah Raymond. "Mana aku tau, Kak. Masa iya mau ngedata?" ujarnya penuh kegusaran.
Raymond tertawa tertahan. "Kali aja, ya kan. Yang saingan berat kamu itu, temen sekolahmu juga?"
"Iya. Temen sekelasnya dia malah. Parah dia Kak. Jago banget teknik nikungnya. Untung masih aku jagain si Aimee. Jadi dia nggak jadi ketikung deh." jelas Deon berapi-api.
"Jago mana ama Marquez? Ato Rossi?" Raymond menggoda lagi.
"Basi ah Kak." tepis Deon. Raymond jadi cegek. "Dia populer Kak. Idola sekolah. Hampir sempurna lah pokoknya. Punya kakak yang ngajar di sekolah juga."
"Eh?" Raymond terusik pernyataan Deon.
"Iya. Itu loh, Miss Feliz. Yang dulu pernah nganter aku ke sini. Yang temenan ama Kakak dulu."
"Adiknya Feliz?"
"Iya. Namanya Gasta. Duh, empet banget kalo denger namanya. Tengil, sok gaya, mentang-mentang atlet, jago..."
"Tunggu tunggu tunggu." sela Raymond.
"Kenapa Kak?"
"Kakak kemaren ketemu Feliz di sini..."
Deon memiringkan kepalanya, menatap Raymond dengan alis yang bertaut.

***

Sementara itu, Aimee berjalan sendirian menyusuri lorong rumah sakit. Terkesiaplah dia ketika melihat ada tanda 'rusak' dipasang di pintu elevator. Padahal tadi belum ada. Terpaksa dia mengambil tangga. Dia belok ke arah kanan.

Sret. Aimee menghentikan langkahnya tiba-tiba.

Dia menangkap sosok Feliz berjalan dari arah lorong Deon, menuju lorong di seberangnya. Sebenarnya ingin dia menyapa, tapi dibatalkannya karena dia ingin mengikutinya diam-diam. Feliz terus berjalan tanpa menyadari bahwa sepasang mata Aimee menguntitnya.

Feliz berhenti di suatu ruangan, lalu membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Dan untungnya, pintu itu dibiarkan terbuka.

Aimee berjalan cepat untuk mengejarnya. Aimee tidak berpikir panjang siapa yang ada di situ yang penting yang dia tahu di situ ada Feliz dan bakal disapanya nanti.

Masuklah Aimee ke ruangan itu. Tampak sosok Feliz membelakangi pintu, dan satu sosok laki-laki berbaring di ranjang, bersandar lemah yang tak lain adalah...

"Gasta?" panggil Aimee pelan, namun masih terdengar jelas.

Dunia seakan berhenti berputar.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now