19 - Diagnosa yang Mematahkan

215 15 4
                                    


Udara pagi menyerbu Feliz yang membiarkan jendelanya sedikit terbuka sejak semalam.

Setelah menggeliat dan meregangkan tubuhnya setelah tidur semalam, Feliz menuju kamar Gasta, untuk membangunkannya. Karena tidak terdengar sama sekali musik EDM yang biasa disetel Gasta pagi-pagi sambil mandi.

Feliz masuk ke kamar Gasta. Kamar tersebut tidak dikunci. Feliz kaget saat melihat kamar adiknya itu kosong.
"Gas?" panggil Feliz. Tidak ada jawaban.

Feliz membuka kamar mandi adiknya. Tidak dikunci. Feliz tercengang dengan jantung yang terasa melompat sampai ke kerongkongan.

"Gasta! Astagaaaaa...!" Feliz menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Di depannya, tepatnya di kamar mandi Gasta, nampak adiknya itu sedang terduduk di depan kloset yang terbuka. Yang penuh darah berceceran di mana-mana. Seperti habis ada pembantaian di sana. Hidung, mulut, dagu, dan leher Gasta basah dan merah. Gasta tak menggubris kedatangan kakaknya itu. Dia seperti setengah sadar.

"Kamu kenapa?" pekik Feliz dengan mata mulai berkaca-kaca. Khawatir, bingung, takut melihat keadaan Gasta seperti itu.
Gasta menggeleng lemah. "Aku nggak apa-apa, Kak." jawabnya lirih dan serak.

"Nggak apa-apa gimana sih? Hah? Kenapa? Kamu cerita sama Kakak! Hey!" Feliz meraih kedua pipi Gasta. Gasta mencoba tersenyum. Bibirnya merah belepotan darah segar. "Nggak apa Kak. Aku nggak apa." ujarnya sambil terbatuk-batuk sedikit.

"Kakak telepon Mama nih! Kakak nggak ngerti lagi kalo kayak gini." ancam Feliz di tengah paniknya. Langsung saja Gasta melarang. Pergelangan kaki Feliz dipeganginya. Kakinya jadi ternoda darah. "Jangan, Kak. Nggak usah." ujar Gasta memohon. Wajahnya berubah panik.
"Nggak. Kakak nggak bisa kalo kamu kayak gini. Kita ke rumah sakit ato telpon Mama!" Feliz serius mengancam.
"Gasta nggak apa, Kak. Serius. Plis. Nggak usah ke rumah sakit. Nggak usah telepon Mama." pinta Gasta.
"Gasta." Feliz meraih kedua pipi Gasta sekali lagi. Mata Gasta berkaca-kaca.
"Rumah sakit." Feliz berhenti sejenak. "Atau Mama?"
Gasta menatap Feliz lemas. Dia lalu menyandarkan dirinya di tembok. Feliz menahan tangis melihat Gasta yang sama sekali kehilangan tenaga karena mengalami pendarahan hebat di hidungnya. Dengan sisa kekuatan yang ada, Gasta berusaha bicara.
"Aku nggak apa Kak... Kakak... Kakak jangan khawatir..." ujarnya, lirih sekali. Feliz datang menghampirinya, dan duduk di sebelahnya. Gasta hanya menatapnya sambil menahan tangis.
Feliz ketakutan setengah mati. Apalagi Gasta. Belum pernah dia mengalami pendarahan seperti itu. Belum lagi perut kanannya yang nyerinya tak tertahankan. Feliz memencet tombol flush toilet. "Kita pergi ya Gas." ujarnya kemudian.
Feliz menuju ke kamarnya mengambil tisu untuk mengelap darah yang berlumuran di sekitar mulut Gasta. Setelah selesai, Gasta masih terkulai tak berdaya di sebelah kloset, dan bersandar di tembok. Kedua matanya sayu. Binar matanya sirna. Kerah kaosnya juga sudah kuyup oleh darah. Feliz berusaha membopong Gasta ke kamar, tapi Gasta terlalu tinggi dan lemas untuk dibopong.

"Telepon Baskara!" Feliz menatap jam dinding. Masih pukul setengah enam. Jelas Baskara belum berangkat. Diraihnya ponselnya dan mulailah dia menelpon Baskara.

"Bas, boleh minta tolong? Gasta abis mimisan parah. Perlu dibawa ke rumah sakit sekarang. Mobil kamu ada kan?"
Gasta masih terengah-engah namun diam-diam menajamkan pendengarannya.

"Oke. Sip. Thanks banget ya Bas. Aku tunggu."

Feliz menghampiri Gasta.
"Kakak gantiin baju ya. Kita berangkat."

Gasta tak dapat melawan.

***

5 menit lebih sedikit, Baskara datang. Tergopoh-gopoh dia memasuki rumah Feliz dan menaiki anak tangga menuju kamar Gasta. Feliz sudah berpakaian rapi dan tengah memasangkan jaket Gasta ketika Baskara tiba di sana.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now