48 - Tidak Ada Aimee di Sini

91 11 4
                                    

"Gas, ada Raymond tuh. Kakak ke bawah dulu ya? Kamu tar nyusulin."

Ucapan Feliz kali itu memaksa mata Gasta agar terbuka. Hari apa ini? Sabtu? Feliz kok tidak ke sekolah?

"Kakak hari ini libur, soalnya kelas yang kakak ajar lagi pada ke Balai Kota buat pawai atau apalah, tau." tukas Feliz seakan tahu Gasta hendak menanyakan hal itu.

Gasta terduduk. Tubuhnya masih terbungkus jaket hoodie hitamnya. Nafsu makannya masih hilang entah kemana.

Raymond? ulang Gasta dalam hati. Merutuki dirinya yang terlalu lemot.

Positif dekat.
Gasta membuat kesimpulan sendiri perihal hubungan Feliz dan Raymond.
Bagus, sih. Setidaknya bukan Baskara.

***

Melihat Gasta tidak lekas turun, Feliz mulai gusar. Diliriknya Raymond. Raymond mengangguk mantap seakan tahu.

Gasta masih di atas ranjang. Badannya masih lemas tapi sebenarnya sudah cukup kuat. Tapi dimanjakannya saja tubuhnya itu. Matanya terpejam, membiarkan fantasinya meliar kemana-mana.

"Hai Gas."

Sosok lelaki kurus tinggi masuk ke kamarnya. Feliz mengekor dari belakang. Apa-apaan ini? Lancang sekali, batin Gasta.

Gasta menatap lelaki yang barusan menyapanya itu lekat-lekat. Tiba-tiba sekelebat bayangan masa lalu muncul.

Deon.

Wajah itu, mirip sekali dengannya.

Gasta menunduk. Perasaannya jadi sentimentil sejak sirosis mengancam hidupnya.

"Ini Raymond, Gas. Temen kakak. Kakaknya... Deon." suara Feliz memecah lamunan Gasta. "Show some respect dong." imbuhnya.

Gasta meraih tangan Raymond lalu menciumnya. Tanpa berani menatap matanya yang persis sekali seperti mata Deon. Yang datar, dingin, dan seakan sedang menyusun rencana buruk. Tapi ada secercah kehangatan di sana ketika seutas senyum Raymond mulai terurai.

Raymond duduk di ranjang Gasta tiba-tiba, seakan sudah kenal lama sekali. Padahal ini adalah kali pertama mereka berjumpa.

"Maen pabji ga?"

Sontak Gasta mendongak.

"Ha?" hanya seutas kata yang sebenarnya bukan kata itulah yang terlontar dari bibir Gasta. Dateng-dateng ngomongin pabji, sekalian aja ngomong kalo mau ngelamar Kak Feliz, batin Gasta.

"Pabji." sahut Raymond. Gasta mengangguk.
"Main yuk?"
"Ng..." gumam Gasta.
"Kenapa?"
"Udah lama ngga main sih."
"Tapi masih punya appnya?"
"Ada."
"Ya udah ayo."

Feliz menyipitkan mata. Apa-apaan? Ekspektasi Feliz, Raymond bakal membujuk Gasta dengan kata-kata yang bisa menghipnotisnya agar dia menurut pada kakaknya. Agar tidak "rewel" lagi. Agar kembali seperti biasa.
Tapi kali itu, adakah yang lebih awkward dari perjumpaan pertama yang langsung dimulai dengan sebuah misi sedangkal winner winner chicken dinner?

"Eh, Ray..."
"Ssst. Kakak keluar deh. Ini urusan laki-laki." tukas Gasta sambil sibuk berkutat dengan ponselnya. Raymond tertawa lepas. Alis Feliz terangkat sebelah.

"Iya Fel. Kita butuh waktu buat berdua. Boleh?" imbuh Raymond dengan senyumnya yang masih merekah. Feliz memutar bola matanya ke atas, namun bibirnya menyunggingkan senyum. "Whatever." celetuknya, lalu melenggang keluar kamar.

***

Dua jam sudah Gasta dan Raymond berada di dalam kamar itu. Feliz hendak menegur mereka, namun ternyata pintu kamar terbuka duluan dari dalam.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now