60 - Semudah Membalik Telapak Tangan

107 12 7
                                    

Tau ga, kenapa agak lama?
Karena aku soksokan ngebut yg part 61 dulu. Hahahaha
Abisnya ada ide ngalir kek iler bayi, kan rugi tuh kalo ga langsung eksekusi.
Untung aja yg ini kelar juga.
Enjoy!

***

Kembali ke masalah yel-yel.
Bagaimana bisa, 8A dan 8H dipertemukan dalam 1 pertandingan?

Gasta tiba-tiba mendapat inspirasi. Jam istirahat, melesatlah dia menuju ruang OSIS. Setibanya di sana, ada Jenny, Alvian, dan Sheka. Kebetulan ketiganya siswa 8H dan anggota OSIS, dan menatap Gasta heran saat Gasta muncul di ruangan yang bukan ranahnya itu.

"Cari sapa, Gas?" tegur Alvian.

Gasta menegakkan punggungnya. "Lo bertiga panitia POR kan?"
Mereka menjawabnya dengan anggukan.

"Sapa yang nyusun jadwal pertandingan?" tanya Gasta lagi.
"Emangnya kenapa?" kali ini Jenny yang menyahut. Cecan hits itu menatap Gasta dengan tatapan penuh curiga.
"Mmm... gue agak lupa, besok voli kelas gue lawan kelas sapa ya?" Gasta pura-pura tanya.
"Bentar, gue cek." Alvian membuka jurnalnya. "Kelas 8F musuh lo besok."
"Jadi yang nyusun lo, Al?"
"Iya."
"Kalo yang basket kemaren?"
"Iya. Gue juga."
"Lo yang ngundi?"
"Iya. Tapi..." Alvian menatap Jenny dan Sheka. Bodohnya, mereka memberi isyarat seperti melarang Alvian berkata apa-apa.

Gasta memicingkan matanya.

"Apaan sih?" cetus Gasta sinis pada mereka.
Alvian menghela napas. Dia menaikkan kacamatanya yang sedikit turun, lalu memasang tampang kikuk.

"Tapi kemarin itu, buat yang basket, kelas gue request buat lawan kelas lo. Karena, kelas lo tuh rival yang paling tangguh dibanding kelas lain. Kelas lo ada lo ama Valdi yang emang bintangnya basket. Ada Altof atlit voli juga." tutur Alvian panjang lebar.
Alis Gasta bertaut mendengar penjelasan Alvian. Kolusi kampret!

"Emang siapa yang request kaya gitu?" Gasta tak dapat menahan rasa penasarannya.
"Pentolan-pentolan kelas gue, kayak... Alam, Fais, Uzi, Septi, Zifar, Kafka..."

Ujung bibir Gasta terangkat setelah Alvian menyelesaikan kalimatnya.
"Oke. Thanks infonya ya, Al." Gasta menepuk pundak Alvian, lalu melesat menghilang dari ruangan itu.

Semua sudah jelas.

***

Emosi Gasta sudah menggunung seharian ini. Sebagian besar teman-temannya masih bersikap oposisi padanya. Masih menganggapnya pengkhianat. Danes juga. Makin menjadi-jadi. Dirangkulnya Aimee di depan Gasta, seakan-akan menunjukkan bahwa Aimee sudah jatuh di pelukannya.

Maka dari itu, saat bel pulang dan Danes meninggalkan kelas, Gasta mengejarnya.

"Kalo lo jantan," tantang Gasta, "lo jawab pertanyaan gue dengan jujur. Berani ga lo?"
Danes memasang tampang masam. Koridor sekolah sudah sepi. Hanya ada mereka berdua di situ dan beberapa anak tak dikenal.

"Bacot lo anjing." umpat Danes, lalu melenggang.
Gasta mencegatnya lagi. "Berani ga lo? Bawa Aimee kabur malem-malem doang beraninya, giliran ginian ciut." mulut Gasta mulai tidak terkendali. Sungguh, penyakit itu membuat jiwanya juga berubah.

"Mau lo apa sih, hah?" Danes mulai terpancing.
"Ikut gue!" ajak Gasta, menyeret Danes ke kelas di pojokan, tempat Deon dan gengnya menyiksanya dulu.

"Paan sih!" Danes menghentakkan tangannya. Gasta keburu menutup pintu kelas itu.

"Gue ga bakal ngapa-ngapain lo. Gue ga kaya lo." ujar Gasta. "Gue cuma mau lo jujur."
"Apa sih? To the point aja lah Gas, ga usah bertele-tele gini." Danes makin gusar.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now