40 - Tergerusnya Kepercayaan

120 12 9
                                    


Feliz kaget saat Gasta sudah ada di atas motornya. Namun jelas, wajah marahnya masih ada. Gasta yang menyadari itu jelas mengimbanginya. Dia ikutan diam dan memasang wajah marah, namun dipasangnya juga wajah 'turut menyesal'.

Sekitar 100 meter sebelum tiba di rumah, Gasta mulai buka suara.
"Kakak masih marah?"
Feliz tidak menjawab.
"Bukan aku Kak, yang ngelakuin."
Feliz tetap bergeming. Gasta bertekad membela dirinya. Dia akan terus meyakinkan kakaknya bahwa dia tidak bersalah karena memang itu kenyataannya.
"Demi Allah, Kak. Masa aku ngelakuin hal yang kaya gitu, sih? Ke Aimee, lagi. Kakak kan tau aku ama Aimee kaya gimana?"
Feliz hanya melirik Gasta dari spion motornya.
"Kakak percaya aku dong. Kakak kenapa ngga ngebelain aku sih tadi?" dengus Gasta seperti kesal pada Feliz.

Tibalah mereka di rumah. Feliz memarkir motornya, lalu melenggang masuk seakan-akan tidak ada Gasta di sana. Gasta semakin kesal.
"Aaah, Kakak! Dengerin!" Gasta mengejar Feliz yang mendahuluinya.

Sret. Gasta menarik satu tangan Feliz.
"Asal Kakak tau ya. Kalo aku emang mau ngelakuin hal yang kaya gitu ke Aimee, gak bakal juga aku ngelakuinnya di sekolah!"
Plak!
Rasa panas terasa di pipi kiri Gasta, membuatnya terpejam kuat-kuat.

Pertama kali.
Ini pertama kalinya Feliz mendaratkan tamparannya di pipi Gasta.
Tamparan penuh kebencian, penuh kekesalan.
Dan mungkin, ini pertama kalinya Feliz mendaratkan tamparannya di pipi orang lain.
Tangan Feliz gemetar setelahnya. Dia tetap bergeming menatap Gasta yang kini menunduk dalam diam. Nafas Feliz pun turut bergetar. Teriakannya sudah ada di ujung lidah, namun ditahannya kuat-kuat.

Gasta mendongak. Bulir airmata mulai menggenang di pelupuk matanya. Alisnya menukik tajam, seakan bersiap menyumpah-serapah kakak semata wayangnya itu. Feliz menatapnya lekat-lekat dengan wajah angkuhnya.
"Brengsek!" bentak Gasta, lirih namun kasar, dan langsung berlari ke kamarnya.

Feliz terpaku di sana, membiarkan Gasta berlari meninggalkannya dalam ketermanguan. Rasa bencinya tak terbendung sudah. Telapak kanannya masih panas bekas menampar Gasta tadi. Feliz mulai mengatur emosinya. Dia tidak mau meledak di situ, berteriak-teriak kesetanan hanya karena perbuatan adiknya. Meski, perbuatan adiknya kali itu sudah tidak bisa ditolerir lagi.

Brak!
Suara bantingan pintu kamar Gasta membuyarkan lamunan Feliz. Feliz menatap telapak tangannya. Masih terasa panas. Apalagi pipi Gasta? batinnya pedih. Dia mulai merasa bersalah. Airmatanya mulai berjatuhan. Tak disangka dia bisa sejahat itu pada adiknya.

Feliz berjalan ke arah kamar Gasta. Diketuknya pintu kamar itu beberapa kali.
"Gas? Buka pintunya, Gas. Kakak mau ngomong."
Tidak ada jawaban.
"Gasta? Iya Kakak yang salah Gas. Maafin Kakak ya? Buka pintunya dong. Gas? Gasta?"

Sementara itu, di balik pintu yang sedang diketuk Feliz berulang kali tersebut, Gasta menangis sejadi-jadinya. Di atas kasur, Gasta menenggelamkan kepalanya di kedua lututnya yg ditekuk, dengan kedua tangan memeluk lututnya. Gasta menangis tanpa suara. Rasa kecewa Gasta sudah pada puncaknya.

Gasta kecewa karena kakaknya telah berperilaku kasar padanya. Kecewa karena kakaknya lebih percaya pada kebohongan yang Aimee ciptakan. Kecewa karena Aimee, yang ingin ditolongnya, malah berbalik menjatuhkannya.

Skorsing seminggu bukan apa-apa bagi Gasta. Sepertinya dia sudah mulai terbiasa dengan skorsingan salah sasaran seperti ini. Dia hanya kecewa, karena dihukum atas perbuatan salah yang bahkan tidak dilakukannya. Dihukum atas fitnah yang dijatuhkan padanya.

Gasta lelah. Hatinya, maupun tubuhnya. Gasta melirik jam. Kelasnya selesai pukul tiga sore. Rencananya dia mau kabur ke rumah Valdi. Dia tidak tahan, ingin menjauhkan diri dari kakaknya, karena rasa kecewanya yang begitu besar sehingga menimbulkan rasa sakit yang menyiksa batinnya.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now