30 - Baskara VS Gasta

107 14 2
                                    

Seharian ini Gasta tidak melihat batang hidung Baskara sama sekali. Biasanya, Baskara seliweran di sekitar kantor. Namun siang ini tak tampak sedikitpun. Feliz masih sakit, bahkan lebih parah. Panasnya tinggi sampai mengigau hebat. Gasta tak bisa tidur semalam, menjagai kakaknya di kamar. Tadi pagi saja dia berangkat kesiangan, naik angkot, hingga tiba di sekolah 5 menit sebelum bel berbunyi.

By the way, meski easy-going, Feliz bukan tipikal wanita yang gampang melupakan masalah. Sekali terlibat masalah, susah tidurnya. Gasta jadi kepikiran lagi di sekolah pagi ini. Dan semakin ingin menghabisi Baskara begitu saja.

Maka dari itu, sepulang sekolah ini, begitu dilihatnya Baskara di parkiran motor, Gasta langsung melesat menghampirinya. Tak peduli dia masih baru keluar dari rumah sakit. Karena kali ini adalah masalah yang melibatkan kakaknya. Kakaknya yang jatuh merana akibat disakiti oleh orang yang dilihat Gasta sedang mengutak-atik sesuatu di motornya itu.

"Herr Baskara."
Baskara menoleh. "Gas. Ada apa?"
Gasta terdiam sesaat. Memandang wajah Baskara yang menatapnya berbeda. Tatapan tidak suka, menurut Gasta.
"Aku mau ngomong."
"Ngomong apa? Ngomong aja."
"Sebenernya Herr Bas itu sapanya Kak Feliz sih?" serang Gasta dengan nada tinggi.
Mata Baskara melebar perlahan. "Sapanya?"
"Iya. Aku heran ama Herr Bas." ujar Gasta sambil melipat tangan di depan dada.
"Heran kenapa?"
"Heran aja. Kok bisa ada sih orang sekampret Herr Bas." Gasta mulai meluapkan emosinya.
Baskara tercengang. Bagaimana bisa bocah ingusan ini mengatainya seperti itu?
"Kampret? Sekampret apa emang?" ucapan Baskara mulai bernada menantang.
"Herr Bas itu bukan sapa-sapanya Kakak. Ngapain Herr Bas cemburu kalo Kakak temenan ama Raymond?"
"Hah? Kamu ngomong apa sih Gas?"
"Jangan pura-pura clueless. Aku udah baca semuanya."
"Feliz cerita apa?" suara Baskara sedikit getir.
Gasta tersenyum kecut menatap Baskara yang mulai gemetar. "Kakak nggak cerita. Aku baca ndiri di hapenya. Herr Bas licik banget yah ternyata."
Baskara berdecak. Kali ini dia mulai melipat kedua tangannya di depan dada.
"Licik kenapa sih Gas?"

Gasta geram. Didekatinya guru bahasa Jermannya itu.
"Denger ya Herr, Herr Bas itu bukan sapa-sapanya Kak Feliz. Jadi jangan sok ngerasa jadi pacar Kak Feliz deh. Ngelarang ini itu, cemburu kalo Kak Feliz temenan ama cowok lain. Herr Bas udah ngorbanin apa aja ke Kak Feliz ampe Herr Bas segitunya ama Kakak?" cerocos Gasta penuh amarah. Baskara mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Kakak sekarang sakit gara-gara Herr Bas. Kakak kepikiran karena Herr Bas marahin Kakak karena..."
"Marahin?" sela Baskara. Dia merasa tertangkap basah, tapi tidak terima.
"Herr Bas marahin Kakak kan?" hardik Gasta, menunjuk dada Baskara. "Kalo emang nggak terima, Herr Bas datang dong ke rumah selesein masalahnya baik-baik. Bukan asal nyerocos di chat. Pengecut tau ga!"

Plak.
Pandangan Gasta menggelap seiring pipi kirinya yang memanas.

"Jaga mulut kamu, Gas." tegur Baskara datar.

Gasta masih menunduk sambil memegangi pipinya. Pandangannya mengabur perlahan oleh airmata.

"Pak Baskara!" panggil seseorang dari kejauhan.
Kontan saja Gasta dan Baskara menoleh bersamaan.

Ternyata Pak Damar. Sebutir airmata Gasta menggelinding dan langsung tertangkap oleh Pak Damar. Segera saja didatanginya mereka berdua.

Baskara, bagai maling tertangkap basah, hanya bisa menunduk seperti Gasta tadi. Mata Gasta masih merah. Pak Damar menarik tangannya.

"Ada apa ini? Hah? Kamu kenapa, nak?" Pak Damar mencoba memeriksa Gasta. Gasta menggeleng cepat. Sementara Baskara masih menunduk, tak kuasa menatap Pak Damar yang menangkapnya basah sedemikian rupa.

"Apa-apaan Pak Baskara ini? Kenapa anak ini, Pak?" Pak Damar terus menginterogasi. Baskara terdiam sambil menatap Gasta lurus-lurus.

Pandangan Pak Damar beralih pada Gasta yang kelimpungan mengusap airmatanya. Hidungnya juga sudah memerah menahan tangis.
"Nak, kenapa? Kok kamu nangis?"
Lagi-lagi Gasta menggeleng cepat.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now