37 - Malaikat Tak Pernah Dusta

140 12 1
                                    

Ulangan harian.

Suatu kegiatan yang menurut beberapa orang adalah hal yang sakral. Tapi Gasta tidak termasuk. Kalau nggak mood, ya nggak belajar. Tapi semalam mood Gasta lagi baik-baiknya sehingga dia belajar sampai pukul 10 malam.

Pagi itu, kertas soal ulangan mulai dibagikan. Matematika. Salah satu momok terbesar Gasta. Jujur saja, Gasta paling lemah dalam matematika. Apalagi, gurunya adalah Bu Yuni. Guru yang terkenal killer di sekolah. Baru saja kertas ulangan dibagikan, mata Bu Yuni sudah memindai seluruh gerak-gerik siswa kelas 8A kali itu.

"Ya, itu, yang di belakang. Kacamata coklat! Menghadap ke depan!" Bu Yuni menunjuk Azhar, yang kali itu sebangku dengan Arsyil. Padahal, Azhar hanya menekuk sedikit dagunya ke bawah.

Tapi Gasta santai saja. Gasta bukan tipikal cowok pencontek, tapi bukan berarti dia tidak pernah mencontek. Kalau benar-benar kepepet, really clueless, baru Gasta akan mencontek. Itupun mencontek teman, bukan mencontek catatan.

Kondisi Gasta belum fit 100%. Dadanya masih sering sakit, begitu juga dengan perut bagian kanannya. Masih sering nyeri yang muncul tiba-tiba. Tapi dikuat-kuatkannya kali itu. Lo strong kok, begitu ujarnya pada diri sendiri.

Ulangan sudah berjalan 30 menit. Gasta masih ada dua soal yang belum selesai. Otak encer Gasta mempermudah semuanya. Tapi untuk masalah matematika, sebenarnya otak Danes lebih encer. Mengingat dia diikutkan olimpiade matematika oleh sekolah. Gasta melirik Danes yang berada di depan bangku sebelah kiri Gasta.

Gasta sebangku dengan Sammy. Di depannya, ada Marco yang duduk dengan Valdi. Di bangku sebelah kiri Marco, ada Danes, yang sebangku dengan Tofan. Mata Gasta mulai menelisik gerak-gerik Marco yang mencurigakan. Rupanya Marco mulai berbincang dengan bahasa isyarat ala anak contekan dengan Danes. Everyone knows bahwa Danes dapat diandalkan saat ulangan matematika. Meski sombong, Danes tidak pelit contekan. Mungkin, itu taktiknya untuk menunjukkan bahwa dirinya bisa.
Marco menggerak-gerakkan jemarinya, sementara Danes sedari tadi menatapnya dari sudut mata. Danes mengacungkan jempol. Lalu disobeknya sebuah kertas kecil bekas tempat menghitungnya, dan mulai menuliskan sesuatu.

Tak disangka, Bu Yuni berjalan dari belakang kelas, melewati Gasta dan Danes. Gasta terlalu fokus pada Marco, hingga tidak menyadari bahwa Bu Yuni daritadi mengawasi dari belakang.

"Apa ini?" ujarnya sambil mencabut kertas yang sedang ditulisi oleh Danes. Kontan semua mata di kelas itu mengarah padanya.
Gasta tercekat. Marco tampak keki, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Kamu nyontek?" tuduh Bu Yuni pada Danes. Jelas Danes mengelak. "Bu.. bukan Bu, bukan!"
"Terus apa ini?"
"Ituuuu..." Danes gugup sekali.
"Kamu mau sok jadi pahlawan, bagi-bagi ilmu?"
Danes terdiam, kepalanya menunduk dalam-dalam.
"Awas aja ya kalo ada yang begini lagi. Sini, ulangan kamu!" Bu Yuni mencabut lembaran kertas jawaban dan soal Danes. Danes jelas belingsatan minta maaf, memohon-mohon agar kertasnya dikembalikan.
"Masih kurang tiga Bu... Uraian semua... Plis..."
Bu Yuni tak memberi ampun.
"Berdiri." suruhnya, dingin. Danes menurut, namun wajahnya sudah seperti mau menangis.
"Di depan kelas!" Bu Yuni menunjuk papan tulis. Danes membelalak. "Jangan, Bu. Jangan." tolaknya takut-takut.
"Di depan kelas atau ibu sobek ulangan kamu!"
Danes tak dapat melawan.

Kelas berubah sehening kuburan. Atmosfernya terasa dingin. Gasta terpaku di bangkunya. Apalagi Marco. Dia sudah berkeringat dingin, merasa bersalah pada Danes karena membuat Danes dihukum. Danes mulai menjalani hukumannya dengan mata masih mengawasi Marco. Dendamnya mulai membara.

Gasta tau Danes sebenarnya tidak bersalah. Dia hanya kurang berhati-hati dan kurang beruntung. Gasta menatap Danes iba. Danes di depan kelas, menunduk, menahan malu dan sedih karena ulangannya harus diambil sebelum dia selesai.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now