34 - Di Balik Sikap Aimee

118 13 2
                                    

Aimee memutar tubuh, lalu berlari meninggalkan kelas. Gasta spontan mengejarnya. Aimee berlari lebih kencang. Namun kejaran Gasta masih mampu meraihnya, hingga akhirnya lengan Aimee ada dalam genggaman Gasta.

"Lepas ga!" ronta Aimee, menghentakkan tangannya.
"Mee, dengerin dulu. Gue bisa jelasin." cegah Gasta.
"Ngga perlu. Ngga penting!"
"Penting, lah! Gue ngga mau lo salah paham. Ngerti?"
Aimee terisak. Gasta menyeretnya ke bawah tangga. Di situ, tidak akan ada siapapun yang akan berlalu lalang.

Gasta perlu menunggu beberapa detik hingga Aimee merasa tenang.
"Yang lo denger itu, iya... Yang gue bilang ke Lefina itu..." ujar Gasta terbata-bata.
"Bo'ong?" tukas Aimee.
Gasta menggeleng. "Beneran."
Aimee terpana. Matanya menyipit terarah pada raut Gasta.
"Ngga mungkin."
"Serius, Mee." Gasta masih menggenggam pergelangan Aimee.
"Lo cuma jadiin gue alesan karena lo ngga suka ama Lefina, kan?"
Gasta menggeleng cepat.
"Jangan bo'ong, Gas."
"Serah!" sahut Gasta. "Denger ya Mee. Lo harus tau ini."
Aimee menggigit bibir, menatap lantai.
"Gue... Ga pernah ga sayang ama lo."

Betapa terperangahnya Aimee. Jika divisualisasikan, latar belakang tempat Gasta berdiri sekarang, menjadi pecah berkeping-keping. Aimee tidak tau harus senang atau bagaimana. Yang pasti, hatinya seakan runtuh mendengar Gasta berkata demikian.

"Ga mungkin." ucap Aimee lirih.
"Ga peduli betapa jahatnya lo ke gue sekarang, betapa lo berusaha buat push away gue dari kehidupan lo, betapa kita sekarang dengan sinisnya manggil 'lo-gue' bukan 'aku-kamu' kaya dulu satu sama lain..."
Hening sebentar. Gasta menatap Aimee lurus-lurus, sedangkan yang ditatap kini kembali menghadap lantai.
"Dan betapa gue berusaha buat cuek, dingin, ato sinis ke lo..."
"Gue tetep sayang ama lo, Mee."

Pergelangan Aimee masih dalam genggaman Gasta.

"Bo'ong. Lepas gak!" Aimee kembali meronta setelah ada hening sebentar.
"Gak. Gue cuma mau lo jawab gue." ucap Gasta lirih. Aimee memalingkan wajahnya. Airmatanya ditahannya kuat-kuat. "Gak. Gue mo ke kelas." sekali lagi Aimee meronta kuat-kuat.
"Aimee!" bentak Gasta.
"Jawab." lanjutnya. "Lo kenapa sekarang bisa seangkuh ini?"
"Bukan urusan lo."
"Urusan gue!" pekik Gasta sambil menguatkan cengkraman tangannya di pergelangan Aimee.
"Lepas gak?!"
"Gak. Jawab dulu."
"Gasta!"
"Jawab!"
"Semua ini salah lo, ngerti?!"

Gasta dilanda kebisuan.

"Salah gue darimananya hah?" tukas Gasta, tidak terima.
"Dari ketertutupan lo dulu. Lo yang nggak mau jujur. Lo yang nyimpen semuanya sendiri. Terutama, dari gue..." Aimee terisak lagi.
Gasta masih menggenggam pergelangan Aimee dalam keterpanaannya.
"Lo tuh brengsek, Gas. Lo nggak nganggep gue. Lo nggak nyadar kalo gue dulu..." sedu Aimee terbata-bata.
"Lo kenapa?"
"Selalu khawatir ama keadaan lo."
Gasta kembali merasa bersalah, untuk yang kesekian kali.
"Jangan cari Aimee yang dulu, Gas. Aimee yang dulu udah gue kubur ama harapan gue yang hancur." sambungnya, lalu menghentakkan tangannya keras-keras, lantas berlari meninggalkan Gasta yang kini termangu dalam diam.

Gasta tiba-tiba tersentak. "Mee! Tunggu!" Gasta mengejarnya. Aimee berlari ke kelas. Gasta tak menyangka Aimee bakal semenghindar itu darinya. Sungguh drama. Namun itu semua sungguh terjadi.

Sesampainya di kelas, Aimee nampak tergesa memasukkan buku-bukunya. Nampak pula Lefina masih di sana, duduk sendiri dengan mata yang mengikuti gerak-gerik Gasta. Batin Gasta berkecamuk ingin menahan Aimee dan menjelaskan semuanya. Kelas masih terbilang kosong. Hanya ada Lefina dan Aimee serta dirinya di situ. Gasta menghampiri Aimee.

"Lo bilang apa tadi? Harapan?" sergah Gasta. Lefina mendengar.
"Nggak usah dibahas."
"Lo pernah berharap ama gue, Mee?"
Pupil mata Lefina membesar. Aimee tak menggubrisnya.
"Lo berharap gue bisa ama lo, gitu? Jadian, gitu maksudnya?"
"Lo diem bisa gak sih?" teriak Aimee keras-keras. Gasta terperangah.
"Jawab, Mee." timpalnya.
Aimee menghela napas panjang hingga terdengar bahwa masih sisa airmata di hidungnya. "Lo ngerasa, lo pernah berharap ke gue?"

"Itu semua gara-gara lo. Dan gara-gara lo juga, gue harus terpaksa ngubur harapan itu dalam-dalam." desis Aimee lirih. Lefina tidak kedengaran. Dia berpura-pura sibuk menulis sesuatu di bukunya, namun telinganya dipasang rapat-rapat untuk menguping obrolan mereka.

"Gue kenapa, Mee?" kilah Gasta.
"Ck. Nyadar dong. Lo nggak nganggep gue penting. Gue masih inget pas di rumah sakit waktu itu. "Aku siapamu, ya kan?" Lo gak inget lo bilang gitu ke gue? Setelah gue setengah mati ngawatirin elo, lo gak ada kabar, dihubungin gak bisa, terus lo bilang kaya gitu. Bayangin, Gas. Sakit ati gak lo kalo lo ada di posisi gue waktu itu?"
Gasta merasa bersalah, namun masih tidak mau kalah.
"Mee, kan gue udah bilang. Bukannya gue gak mau ngabarin. Gue cuman gak mau lo khawatir. Itu aja. Lo ngertiin gue dong."
"Serah!" sahut Aimee. "Intinya, gue terlanjur sakit hati. Minggir. Gue mau pulang." pungkasnya, mendorong badan Gasta ke samping.

Gasta hanya menanggapinya dengan keheningan. Sementara Lefina, semakin remuk hatinya setelah mendengar bahwa Aimee juga diam-diam pernah mengharapkan Gasta, dan Gasta sebegitunya tidak mau mengkhawatirkan Aimee. Lefina hancur perlahan. Ternggorokannya sakit menahan tangis, sesakit hatinya. Apa daya dirinya yang baru beberapa waktu lalu akrab dengan Gasta, dan ternyata Gasta tak sedikitpun menaruh hati padanya?

Lefina hanya bisa diam seribu bahasa.

Gasta apalagi.
Gasta tak menyangka rasa kecewa Aimee padanya begitu besar, dan membekas amat dalam di hatinya. Aimee sungguh marah pada Gasta. Sungguh dendam, hanya karena keegoisan Gasta kali itu. Tapi Gasta tak bisa juga sepenuhnya menyalahkan Aimee. Rasa sesal di dasar hati tentunya selalu ada. Gasta menyesal telah egois pada Aimee. Dan Aimee selalu mengungkit itu. Aimee seakan selalu menggunakan kesalahan Gasta yang itu sebagai tameng perlindungan agar Gasta tak merecoki kehidupannya lagi.

Gasta mengerling ke arah Lefina setelah menatap kepergian Aimee.

"Fin." panggilnya lirih.
"Apa?" sahut Lefina, dingin dan ketus.
"Lupain kejadian ini."
"Yang mana?"
"Semua. Dari awal lo datengin gue ampe Aimee pergi tadi."
Lefina menghela napas, lalu mengembuskannya kuat-kuat. Ternyata dia sudah memanggul tasnya. Lalu berdiri, bersiap meninggalkan kelas.
"Lo pikir gampang?" ujarnya, saat berjalan melewati Gasta, tanpa menatapnya. Dia memanggil Gasta dengan 'lo', bukan dengan 'kamu' sebagaimana sebelumnya.
"Lo mo kemana?"
"Pulang. Rusak mood gue buat kerja kelompok gara-gara lo." Lefina menjawab tanpa menoleh sama sekali. Lalu dia menghilang dari pandangan Gasta seiring dia berjalan meninggalkan kelas.

Lefina terbakar api cemburu yang maha dahsyat. Sedangkan Gasta, hanya bisa mematung dengan pikiran kalutnya.

"Kenape sih tuh si Lefina?" suara Valdi menghentikan lamunan Gasta. Ternyata dia berpapasan dengan Lefina dan muka betenya barusan.
"Auk. PMS kali." sahut Gasta sekenanya.
"Jadi kan, ngerjain tugasnya?"
"Jadi, lah. Yuk."
"Di rumah gue aja gimana? Mendadak nggak mood kalo di sini." tawar Valdi.
"Ya udah, deh. Naik angkot berarti?"
"Yeeey, enak aja. Emangnya elo. Dijemput ama nyokap gue. ACnya baru diganti, enak adem." cericip Valdi, membuat Gasta mengulum senyum geli.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now